KBQT

Oleh Bahruddin, pendiri atau inisiator Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) Kalibening Salatiga, yang juga merupakan penggerak Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT).

Sebagai putri dari ulama besar ahli Al-Qur'an Kiai Haji (K.H.) Hisyam Abdul Djalil yang juga guru dari ulama' Al0Qur'an kharismatik K.H. Arwani Kudus, emakku, Nafijatul Miskiyah di usia remaja sempat gundah.

Dia "menuntut" untuk tahu arti dari ayat-ayat Al-Qur'an yang berbahasa Arab itu, iri dengan kakaknya K.H. Mahasin (alias Mahasinul Ahlaq) yang jadi ahli (ulama) tafsir.

Pakdhe Mahasin yang juga ayahanda dari Aswab Mahasin (redaktur jurnal legendaris Prisma) itu seangkatan dengan K.H. Munawir Sadzali. Keduanya kondang di pesantren sebagai "sejoli": yang satu jadi ahli tafsir, yang satunya jadi ahli fiqh dan menjadi menteri agama.

Emak juga iri dengan suaminya yang kebetulan mantan santri abahnya yang ketika seumuran SMP, bacaannya sudah kitab-kitab besar yang harganya setara puluhan sampai ratusan gram emas seperti Ittihafus Sadah Al-Muttaqin Syarah Ihya’ Ulumuddin.

Juga yang sempat ditulis di halaman mukanya adalah kitab Khasiyah Bajuriy Syarah Fathul Qorib yang ketika itu (1933) dibeli dengan harga 15 Gulden. Saya coba tanyakan ke ChatGPT, ternyata setara dengan harga emas 11,5 gram.

Bayangkan saja, masih umur 14 tahun (seumuran kelas satu SMP) bacaannya sudah Khasiyah Bajuriy yang ketika tahun 1966 kebetulan kakak sulung saya jadi ro'is kajian kitab di pesantren Lirboyo.

Diketahui, dari 3.000-an santri Lirboyo konon tidak ada yang punya kitab itu, apalagi di tahun 1933.

Syukur alhamdulillah keresahan emak disambut oleh kakak keponakannya K.H. Musyafa' dengan membuka pengajian tafsir Al-Ibriz dengan bahasa Jawa aksara Arab pegon karya K.H. Bisri Mustofa, ayahanda Gus Mus (Mustofa Bisri).

Pengajian Tafsir Al-Ibriz Meluber

Nafijatul Miskiyah Yang menarik, pengajian yang diselenggarakan setiap Minggu pagi di Masjid Kalioso Salatiga ini diikuti oleh banyak sekali jamaah sampai "meluber" di rumah-rumah penduduk sekitar masjid dengan alat bantu TOA.

Semua rumah sekitar masjid termasuk rumah-rumah warga Nasrani pun disediakan bagi para jamaah pengajian tafsir Al-Ibriz. Emak mengikuti pengajian ini selama puluhan tahun dari pertama dibuka hingga berakhir karena Pakdhe Musyafa' sudah uzur.

Secara simultan emak mengajarkan hal serupa pada perempuan se-kampung Kalibening dengan materi ajar standar: murottal Qur’an sampai khatam 30 juz, Tafsir Al-Ibriz, dan kitab Mar’atus Sholihah (seperti pendidikan pranikah).

Saking intensif dan lamanya emak mengajari sorogan perempuan se-kampung, emak praktis hafal tafsir Al-Ibris itu bahkan mengajar hingga usia lanjut, sembari tiduran.

Yang sangat membanggakan, dan jarang dijumpai di kampung-kampung lain di negeri ini, rerata perempuan kampung Kalibening ini khatam murottal Qur’an 30 juz bahkan tafsir Al-Ibris.

Sebagaimana WAG "Khazanah Islam" postingan Gus Yusuf Suharto, persis seperti R.A. Kartini.

Ketika Kartini mengikuti pengajian yang diberikan oleh Kyai Sholeh Darat di pendopo rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat yang juga merupakan pamannya, Kartini yang mempunyai pembawaan kritis menyampaikan kegundahannya.

Kepada Kyai Sholeh Darat, Kartini berkata bahwa selama ini dirinya dan masyarakat Jawa pada umumnya belajar mengaji hanya membaca dan menghafalkan Al-Quran tanpa mengetahui maknanya.

Kegundahan Historis Kartini

Kiai Sholeh Darat

Kegundahan Kartini menggugah kesadaran Kyai Sholeh Darat Semarang yang juga guru dari K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan untuk melakukan pekerjaan besar: menerjemahkan Al-Quran ke dalam Bahasa Jawa.

Kiai Sholeh Darat pun memutuskan untuk melanggar aturan Belanda saat itu yang tidak mengizinkan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa.

Supaya tidak mencolok, kyai Sholeh Darat menyamarkan terjemahan Al-Quran dalam bahasa Jawa tersebut dengan menuliskannya menggunakan aksara Arab pegon yang sangat membantu orang jawa pada waktu itu dalam memahami Al-Quran.

Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an ini diberi nama "Kitab Faidhur-Rohman" yang merupakan tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab tersebut dihadiahkan kepada R.A. Kartini sebagai hadiah perkawinan.

Sebagaimana guru saya yang juga "Mustasyar" Qaryah Thayyibah Opung Raymond Toruan yang Katholik itu--tapi dalam berbagai kesempatan selalu mengulang ayat 282 surat 2 Al-Baqarah ketika mengingatkan betapa pentingnya akuntabilitas--melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah R.A. Kartini menemukan salah satu tafsir ayat yang menggugah hatinya.

Hal itu senantiasa diulang-ulangnya dalam berbagai suratnya kepada sahabat penanya di Belanda, yaitu surat Al-Baqarah ayat 257. “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).”

Kalimat مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ (minazhzhulumaati ilannuur) dalam ayat tersebut dalam bahasa Belanda adalah “Door Duisternis Toot Licht.”

Baca juga: Ilmu, Iman dan Perjuangan; Spiritualitas Hidup Mustafa Chamran

Ketika itu saya cek ke Roel warga Belanda yang sedang magang di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT), berarti "dari kegelapan menuju cahaya."

Oleh Armijn Pane ungkapan ini keliru diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyurat R.A. Kartini, meskipun esensi maknanya masih sama.

Selamat Hari Kartini, aku merindukan emakku, aku merindukan dongengnya menjelang tidurku kisah heroik "Ahmad ya Muhammad" Sang Pembebas ibundanya dan rakyat tertindas.***

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.