Ilmu, Iman dan Perjuangan; Spiritualitas Hidup Mustafa Chamran
Chamran mengajarkan bahwa ilmu, iman, dan perjuangan adalah tiga pilar yang saling melengkapi.

TheStanceID - Tanpa tokoh Syiah ini, Lebanon mungkin tidak akan mencuri perhatian dunia seperti sekarang. Bukan Imam Khomeini, atau Hassan Nasrallah. Dia adalah pemikir, akademisi, dan pejuang perang gerilya, Dr. Mustafa Chamran.
Bagi masyarakat Indonesia, nama Mustafa Chamran tentunya asing dan kalah tenar dibandingkan dengan nama-sama besar tokoh Revolusi Islam Iran seperti Ayatullah Khomeini, Ayatullah Muthahari atau Ali Syariati.
Hal ini dapat dimaklumi karena Chamran lebih memilih berjuang di medan pertempuran atau gerakan bawah tanah.
Namun, kehidupannya mengajarkan semua orang bahwa cahaya kebenaran, sekecil apa pun, akan selalu memiliki kekuatan untuk menginspirasi, selama dipadukan dengan ilmu dan direalisasikan dalam perjuangan.
Mustafa lahir pada Oktober 1932 di salah satu distrik Teheran. Setelah lulus SMA, ia meraih peringkat 15 dalam ujian masuk universitas dan diterima di Universitas Teheran bidang Teknik Elektromekanik.
Lima tahun kemudian, ia mendapat beasiswa pemerintah untuk melanjutkan studi di Texas A&M University, hingga akhirnya meraih gelar PhD bidang Elektronika dan Fisika Plasma dari Universitas California, Berkeley, dengan predikat cum laude.
Meski berkesempatan menikmati kehidupan yang mapan, Chamran memilih berjuang demi nilai-nilai dan prinsip yang diyakininya. Selama di AS, dia aktif dalam kegiatan politik dan mendirikan Asosiasi Mahasiswa Muslim di universitasnya.
Kegiatan politiknya membuat beasiswanya dicabut rezim Shah Iran yang otoriter saat itu. Namun, hal ini tidak menghentikannya. Ia juga menjadi salah satu pendiri Asosiasi Mahasiswa Iran di California.
Lalu dia direkrut National Aeronautics and Space Administration (NASA), dengan tawaran gaji tinggi. Namun, lagi-lagi dia menampik privilese itu dan memilih untuk meninggalkan AS demi perjuangan yang lebih besar.
Penulis dan Pejuang Gerilya
Chamran dikenal sebagai penulis yang baik. Banyak naskahnya yang diterbitkan dalam beberapa volume. Dalam salah satu doanya, ia memohon kepada Tuhan untuk menjadi yang terbaik dalam ilmu pengetahuan agar bisa membungkam musuhnya.
Ia percaya bahwa perjuangan dan pengorbanan adalah cara untuk mencapai tujuannya. Hal ini terlihat ketika ia melakukan aksi duduk di markas Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) selama seminggu, yang berakhir dengan penangkapan paksa oleh aparat.
Setelah meninggalkan AS, Mustafa pergi ke Kuba lalu Mesir, untuk mempelajari strategi perang gerilya. Selama 2 tahun di Mesir, ia menjalani pelatihan militer ketat tanpa diketahui oleh dinas intelijen mana pun.
Setelah kembali ke AS, ia merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk pergi ke Lebanon untuk mendukung perjuangan warga Syiah melawan Israel. Di sana, ia bekerja sama dengan Imam Musa Sadr untuk melatih pemuda di perbatasan Lebanon-Israel.
Selama 7 tahun di Lebanon, ia membantu membentuk Dewan Syiah Tertinggi dan organisasi militer "Amal." Kini, organisasi Amal menjadi organisasi syiah dengan perwakilan politik terbanyak di Lebanon, yakni 14 orang, diikuti Hizbullah (13 orang).
Setelah kemenangan Revolusi Islam Iran pada 1979, Mustafa kembali ke Iran setelah #kaburajadulu selama 23 tahun. Ia ingin mengabdikan pengalaman dan pengetahuannya untuk membangun negara.
Namun, setelah Imam Musa Sadr diculik, ia bermaksud kembali ke Lebanon dan meminta izin dari Imam Khomeini untuk terus berjuang di Lebanon.
Imam Khomeini menolak dan memintanya tetap di Iran dengan alasan bahwa jika situasi Iran membaik, seluruh wilayah, termasuk Lebanon, akan ikut membaik.
Sami'na waatho'na (menyimak dan patuh), Chamran pun tetap di Iran. Dan benar adanya. Kestabilan Iran sama artinya kestabilan poros perlawanan melawan Israel, sampai dengan detik ini.
Warisan Spiritual
Chamran merupakan sosok yang rendah hati meski memiliki prestasi yang luar biasa. Ia lebih memilih hidup sederhana dan berjuang demi nilai-nilai yang diyakininya daripada mengejar kesejahteraan pribadi.
Perjalanan hidupnya mencerminkan dedikasi yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, perjuangan, dan pengabdian kepada agama serta tanah airnya. Dia menggabungkan ilmu, iman, dan perjuangan dalam satu kesatuan hidup yang harmonis.
Tak hanya memegang teguh keyakinan perjuangan itu, Chamran menuangkan nilai itu dalam berbagai tulisan. Darinya, publik belajar bagaimana menyatukan ilmu pengetahuan, keyakinan religius, dan pengorbanan untuk mengubah keadaan lebih baik.
“Aku mungkin tidak mampu melenyapkan kegelapan ini, tetapi aku akan menunjukkan perbedaan antara gelap dan terang, antara kebenaran dan kejahatan dengan sinar kecil ini. Bagi mereka yang mencari cahaya, sekecil apa pun sinar ini, ia akan menjadi besar di dalam hatinya”
Kutipan itu mencerminkan keyakinan Chamran bahwa setiap individu, meski dengan kemampuan terbatas, dapat menjadi pembawa cahaya kebenaran.
Bagi Chamran, ilmu bukan sekadar alat mencapai kesuksesan duniawi, melainkan sarana untuk mencerahkan hati dan pikiran manusia. Ia percaya bahwa ilmu yang disinari iman akan menjadi kekuatan untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan.
Meski brilian, Chamran tidak pernah membiarkan pencapaian akademis melenakannya akan tanggung jawab sebagai seorang Muslim. Baginya, ilmu pengetahuan adalah anugerah Tuhan yang harus digunakan untuk kebaikan umat manusia.
Ia menolak tawaran hidup nyaman di Amerika dan memilih berjuang di Lebanon demi nilai-nilai yang diyakininya. Ini menunjukkan bahwa iman adalah fondasi yang mengarahkan penggunaan ilmu pengetahuan ke arah yang benar.
Perjuangan Sempurnakan Ilmu & Iman
Selain ilmu dan iman, Chamran juga menekankan pentingnya perjuangan. Dalam perjalanan hidupnya, ia tidak pernah takut untuk mengambil risiko demi membela kebenaran.
Mulai dari aksi duduk di markas PBB, pelatihan militer di Mesir, hingga perjuangan di Lebanon bersama Imam Musa Sadr, Chamran menunjukkan bahwa perjuangan adalah bagian tak terpisahkan dari spiritualitas hidupnya.
Ia tidak hanya berbicara tentang kebenaran, tetapi juga berani bertindak untuk mewujudkannya.
“Aku mencari dalam diriku sendiri agar aku dapat menemukan satu titik yang dapat membuatku memahami keberadaanku. Namun, yang kutemukan hanyalah sebuah hati yang terbakar, dari mana api berkobar. Kadang-kadang, ia menerangi keberadaanku, tetapi di lain waktu aku terkubur di bawah abunya.”
Ungkapan Chamran di atas menunjukkan bahwa spiritualitasnya dibangun di atas pergulatan batin yang intens.
Ia tidak mencari kemewahan atau pengakuan duniawi, melainkan makna sejati dari keberadaannya. Hati yang terbakar itu adalah simbol dari semangat juangnya yang tak pernah padam, meski terkadang ia harus menghadapi kegelapan dan kesulitan.
Chamran mengajarkan bahwa ilmu, iman, dan perjuangan adalah tiga pilar yang saling melengkapi.
Ilmu tanpa iman bisa menjadi alat yang merusak, sementara iman tanpa ilmu bisa menjadi kaku dan tidak relevan. Ketika keduanya dipadukan dengan perjuangan, maka terjadilah perubahan di dunia.
Chamran membuktikan hal ini melalui hidupnya. Ia menggunakan ilmunya untuk melayani umat, memperkuat imannya melalui pengorbanan, dan mengobarkan semangat perjuangan demi kebenaran.
Pergulatan batin Chamran mencapai puncaknya pada medan Perang Iran-Iraq (1980-1988), saat dia memimpin unit militer di Khuzestan. Ia bertemu atas segala jawaban dalam pergulatan batinnya melalui pintu kesyahidan pada 21 Juni 1981.
Melalui ilmu, iman, dan perjuangannya, Chamran meninggalkan warisan abadi yang terus menyinari jalan bagi mereka yang mencari makna sejati dalam hidup. (mfp)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.