Warisan Paus Fransiskus: Ketulusan, Kesederhanaan & Seruan Perdamaian
Kepergian Paus Fransiskus bukan hanya meninggalkan duka bagi umat Katolik, tetapi juga menyisakan jejak kemanusiaan.

Jakarta, TheStanceID - Paus Fransiskus tidak hanya mencetak sejarah karena menjadi Paus pertama dari Amerika Latin, tetapi juga keberaniannya mengarahkan Gereja Katolik menjadi lebih inklusif dan berpihak pada kaum terpinggirkan.
Duka mendalam menyelimuti dunia khususnya para umat Katolik, pemilik nama asli Jorge Mario Bergoglio itu meninggal dunia di usia 88 tahun, pada Senin (21/4/2025). Kabar kematiannya disampaikan oleh Kardinal Kevin Farrel pada pagi waktu setempat.
“Saudara-saudari terkasih, dengan kesedihan yang mendalam saya harus mengumumkan kematian Bapa Suci kita Fransiskus. Pukul 07.35 pagi ini, Uskup Roma, Fransiskus, kembali ke rumah Bapa,” ujar Kardinal Kevin Farrel.
Paus dilaporkan mengidap pneumonia ganda, infeksi serius yang menyerang kedua paru-paru secara bersamaan, yang memperburuk kesehatannya.
Kondisi tersebut diakibatkan peradangan kantung udara dalam paru-paru. Alhasil, penderita sulit bernafas, mengalami rasa nyeri pada dada, batuk berdahak, demam menggigil, detak jantung yang cepat, kelelahan yang parah, hingga mual dan muntah.
Penyakit ini biasa diidap pasien lanjut usia. Namun juga bisa disebabkan penyakit kronis bawaan seperti diabetes, penyakit jantung dan paru-paru. Termasuk juga karena merokok atau terpapar asap rokok, serta kekebalan tubuh yang melemah.
Dalam pesan terakhirnya, Paus menyerukan agar Israel melakukan gencatan senjata terhadap Palestina, sebuah penegasan terakhir dari komitmennya terhadap perdamaian global.
Dikutip dari Vatican News, Kardinal Farrel menuturkan bahwa Paus Fransiskus mendedikasikan hidupnya untuk melayani Tuhan dan gereja. Dia sekuat tenaga mengajarkan untuk fokus menghayati nilai Injil dengan kesetiaan, keberanian, dan kasih universal.
“Dengan rasa syukur yang besar atas teladannya sebagai murid sejati Tuhan Yesus, kami menyerahkan jiwa Paus Fransiskus kepada kasih yang tak terbatas dan penuh belas kasihan dari Tuhan Yang Maha Esa dan Tritunggal,” ucap Kardinal Farrel.
Memikirkan Rakyat Gaza
Sehari sebelumnya, Minggu (20/4/2025) Paus sempat hadir dalam waktu singkat di Lapangan Santo Petrus untuk merayakan Paskah. Meski hadir, Paskah dipimpin seorang Kardinal Angelo Comastri, sebab Paus masih dalam masa pemulihan.
Saat itu Paus muncul di balkon Basilika Santo Petrus untuk memberkati seluruh jemaat Katolik yang hadir berkerumunan dan mengucapkan “Selamat Paskah”, jemaat seketika menyambut dengan sorakan dan tepuk tangan yang meriah.
Datang di misa Paskah tatkala kondisi kesehatannya belum pulih, Paus memberikan pesan yang dibacakan ajudannya, ia berkata bahwa dia sangat memikirkan rakyat Gaza.
“Aku memikirkan orang-orang di Gaza, khususnya komunitas Kristiani di sana, di mana konflik mengerikan terus menimbulkan kematian dan kehancuran,” tegasnya.
Untuk diketahui bahwa pesan tersebut adalah Urbi et Orbi, yang berartikan berkat khususnya untuk kota dan dunia dari Paus dalam momen Paskah. Naskah pesan tersebut telah diterbitkan dalam laman resmi Vatikan.
Di sana, Paus menilai bahwa konflik Gaza telah menyebabkan situasi yang memprihatinkan dan dia menegaskan agar pihak-pihak yang berkonflik segera berhenti melakukan serangan dan pertikaian.
“Saya mengimbau kepada pihak-pihak yang bertikai: Segeralah untuk gencatan senjata membebaskan para sandera, tolonglah rakyat yang sedang kelaparan yang menginginkan masa depan penuh damai!” tutur Paus Fransiskus.
Baca juga: Rekonstruksi Lamban, Warga Gaza Berisiko Mati Pelan-Pelan
Paus menuturkan bahwa ia sangat merasakan penderitaan warga Palestina dan Israel di tengah meningginya sentimen anti-Yahudi di seluruh dunia. Di saat yang sama, Paus mengaku sangat memikirkan penderitaan rakyat Gaza yang tak juga berakhir.
Paus juga menyoroti konflik-konflik lain, seperti perang Ukraina, krisis kemanusiaan di Yaman, hingga konflik bersenjata di Myanmar.
Paus di Mata Kardinal Indonesia
Dalam Gereja Katolik Roma, terdapat gelar rohani, yakni kardinal. Kardinal dipilih secara langsung oleh Paus melalui hak prerogatifnya. Salah satu kardinal yang ditunjuk Paus Fransiskus adalah Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo.
Uskup Agung Jakarta ini mengenang sosok Paus Fransiskus yang sangat menjunjung tinggi kesederhanaan. Tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, melainkan juga kepada umat Katolik di seluruh dunia.
Kesederhanaan itu tampak dalam pilihan-pilihan hidupnya, Paus tidak tinggal di Istana Kepausan melainkan di rumah singgah Casa Santa Marta di dalam kota Vatikan tinggal bersama-sama dengan pelayan-pelayan Vatikan.
“Beliau ingin mengubah wajah gereja yang monarkis, menjadi gereja yang melayani dan itulah yang sungguh-sungguh menarik karena di zaman sekarang ketika orang berlomba-lomba bersaing untuk mencari kekuasaan, beliau justru sebaliknya,” tuturnya.
Kesederhanaan Paus Fransiskus begitu melekat. Ketika ia berkunjung ke Indonesia untuk melaksanakan sinode para uskup sedunia yang digelar tiga tahun sekali, Kardinal Suharyo mengenang kesederhanaan Paus Fransiskus.
Dulu ketika Paus Yohanes Paulus Benediktus berkunjung ke Indonesia, semua peserta sinode sudah duduk di ruangan untuk menunggu, dan lantas berdiri menyambut kedatangan Paus.
“Paus Fransiskus sejak awal tidak seperti itu, ia mengubah kebiasaan bukannya kami yang harus datang dulu para peserta rapat itu, tetapi Paus datang lebih awal berdiri di pintu masuk, satu persatu disalami. Ini sesuatu yang sudah sangat istimewa,” ujarnya.
Bahkan ketika istirahat dan minum biasanya disediakan satu aula besar Paus, namun Paus lebih memilih bergabung dengan uskup-uskup lain dan turut bercanda gurau layaknya teman.
Menghindari Barang Mewah
Kardinal ketiga asal Indonesia dalam sejarah Gereja Katolik Roma ini mengatakan Paus Fransiskus sangat menghindari barang mewah. Dia lebih memilih menjual hadiah barang mewah yang diterima, agar uangnya bisa dibagikan kepada warga tak mampu.
“Pernah saya lihat sendiri di depan mata saya kendaraan yang beliau pakai itu Ford kecil dari tahun 2004, ini kepala negara. Ini Paus, pilihannya seperti itu, sesederhana itu,” kenang Kardinal Suharyo.
Dalam kunjungannya ke Indonesia, Paus Fransiskus bercerita senang sekali berada di Indonesia lantaran masyarakatnya yang ramah senyuman. Kardinal Suharyo menemani Paus Fransiskus selama dalam perjalanan mobil.
“Senang sekali karena apa beliau selalu mengatakan ‘Saya selalu melihat wajah-wajah dengan senyum tidak ada wajah-wajah sangar yang marah, selalu dengan senyum’. Bahkan dengan sopirnya saja seperti temannya sendiri,” sambung Kardinal Suharyo.
Beberapa kali Paus juga kerap meminta berhenti ketika melihat anak kecil dan langsung memberi permen. Anak-anak tersebut kemudian senang, bahkan mungkin tidak dimakan hanya disimpan sebagai kenang-kenangan.
“Mobil juga tidak tertutup. Mesti mobil yang bisa dibuka jendelanya dibuka sempurna, sehingga tidak ada yang menghalang-halangi. Kesederhanaan seperti itu sungguh-sungguh menarik perhatian bukan mengajar, tetapi memberi teladan,” ujarnya.
Ia juga sangat mengenang sekali saat Paus berkunjung ke Masjid Istiqlal. Kala itu Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar mencium kening Paus Fransiskus, yang kemudian dibalas dengan mencium tangan Nasarudin.
“Sama sekali di luar bayangan Imam Besar Nasaruddin Umar bisa mencium kepalanya Paus dan kemudian Paus spontan mencium tangannya Imam Besar Nasaruddin Umar. Ini kalau tidak terjadi di antara dua pribadi yang tulus, nggak mungkin terjadi,” paparnya.
Perayaan Jubileum 2025
Paus Fransiskus sempat menyatakan bahwa Tahun Jubelium 2025 bertemakan “Peziarah Harapan” atau Pilgrims of Hope. Tahun Jubelium 2025 dimulai pada Selasa (24/12/2024) atau malam Natal dan berakhir pada Selasa tahun depan (6/1/2026).
Jubileum adalah tradisi Gereja Katolik yang berlangsung sejak tahun 1300. Tradisi ini dijalankan sebagai bentuk pengampunan dosa, pertaubatan, rekonsiliasi, penghapusan hukuman dosa, hingga ziarah ke tempat-tempat suci, khususnya Roma.
Dalam Jubileum tahun ini, Kardinal Suharyo mengutip pesan Paus Fransiskus di mana umat Katolik diserukan untuk menguatkan iman meski dalam keadaan gelap seperti apapun.
“Kita tidak boleh berputus asa kita mesti menjadi penabur-penabur pengharapan dengan hal-hal yang kecil dengan hal-hal yang sederhana yang bisa kita lakukan,” paparnya.
Kepergian Paus Fransiskus bukan hanya meninggalkan duka bagi umat Katolik, tetapi juga menyisakan jejak kemanusiaan yang tak akan lekang oleh waktu.
Di tengah konflik dan ketimpangan, ia hadir sebagai cahaya yang menunjukkan bahwa kekudusan tak harus lantang, melainkan bisa berupa kesederhanaan, keberpihakan pada kaum lemah, dan cinta yang melampaui sekat agama, bangsa, dan budaya.
Warisannya kini menjadi undangan bagi siapapun, bukan hanya untuk mengenangnya, tetapi untuk melanjutkan jejaknya sebagai penabur harapan dalam dunia yang haus akan kedamaian. (par)
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.