Rekonstruksi Lamban, Warga Gaza Berisiko Mati Pelan-Pelan

PR ini harus segera diselesaikan, jika kita tak ingin melihat warga Gaza terbunuh, meski tanpa perang.

By
in Now You Know on
Rekonstruksi Lamban, Warga Gaza Berisiko Mati Pelan-Pelan
Gambaran kerusakan dan reruntuhan di Gaza, Palestina, akibat perang brutal yang dilancarkan Israel sejak 8 Oktober 2023. (Sumber: https://palestine.un.org/)

TheStanceID - Gencatan senjata di Gaza, Palestina, antara pejuang Hamas dan Israel tak lantas berarti kedamaian. Rekonstruksi pasca-perang menyisakan beberapa pertanyaan pelik, yang jika tak segera terjawab bisa berdampak mematikan.

Gencatan senjata antara Israel dan Hamas resmi berlaku sejak Ahad 19 Januari lalu, setelah berbulan-bulan negosiasi dibantu Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat (AS). Perdamaian ini menghentikan perang genosida selama 15 bulan sejak 7 Oktober 2023.

Tahap ketiga perjanjian gencatan senjata adalah rekonstruksi Gaza di bawah pengawasan negara mediator (Qatar, Mesir, AS) dan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Nilainya diprediksi tembus US$50 miliar atau setara Rp775 triliun (kurs US$15.500).

Dalam skenario optimistis, rekonstruksi Gaza memerlukan waktu 1 dekade, sedangkan skenario terburuknya bisa mencapai ratusan tahun, menurut dokumen PBB berjudul “Economic Costs of the Israeli Occupation for the Palestinian People.”

Dirilis pada September 2024, dokumen itu mengungkap bahwa perlu 350 tahun untuk mengembalikan level Produk Domestik Bruto (PDB) Gaza kembali ke angka rekor 2022 yang tembus US$19,17 miliar (Rp297 triliun).

“Rekonstruksi Gaza secara keseluruhan, menurut perkiraan kami, akan menelan biaya US$40 miliar-50 miliar,” kata Abdallah Al Dardari, Direktur Biro Regional untuk Negara-Negara Arab di United Nations Development Programme (UNDP), seperti dilansir kantor berita AS VOA.

Wilayah Kecil, Kerusakan Besar

Jalur Gaza adalah satu dari dua wilayah Palestina selain Tepi Barat (West Bank) yang kini dipisah oleh zionis Israel. Luasnya hanya 365 km2 atau setara gabungan wilayah Jakarta Timur (188 km2) dengan Jakarta Barat (130 km2) dan Jakarta Pusat (48 km2).

Meski wilayahnya kecil, tingkat kerusakan akibat gempuran Israel sangat lah besar. Per 1 Desember 2024, 69% bangunan di Gaza rusak akibat bom dan serangan Israel. Sebanyak 90% warganya kehilangan rumah yang layak.

Menurut sensus UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East), Gaza menjadi salah satu wilayah pemukiman terpadat di dunia, dihuni 2,2 juta jiwa per 2023.

Para penduduk tersebar ke dalam lima kegubernuran yakni Gaza Utara, Gaza pusat, Deir al-Balah, Khan Yunis, dan Rafah.

Seperti dilansir Reuters, Israel mengeklaim serangan Hamas sejak Oktober menewaskan 1.200 warganya, sedangkan Kementerian Kesehatan Gaza mencatat bom Israel menewaskan 46.700 lebih warga Palestina.

Kerusakan Jalur Gaza dinilai lebih buruk dibandingkan dengan pengeboman Dresden di Jerman pada Perang Dunia II atau pengeboman nuklir di kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang oleh Amerika.

Infrastruktur Rusak Total

Mengutip data Pusat Satelit PBB (United Nations Satellite Centre/UNOSAT) per 1 Desember 2024, sebanyak 170.812 bangunan di Gaza rusak. Angka tersebut per 11 Januari 2024 diprediksi menembus 172.015, setara dengan 72% bangunan yang ada.

PBB, masih dalam dokumen “Economic Costs of the Israeli Occupation for the Palestinian People”, mengestimasi nilai kerusakan infrastruktur Gaza sejak awal perang hingga akhir Januari 2024 mencapai US$18,5 miliar (setara Rp287 triliun).

Sebagian besar kerusakan terjadi pada infrastruktur hunian, industri, areal komersial, dan layanan. Fasilitas penunjang kebutuhan publik seperti listrik, pembuangan limbah, air, dan komunikasi juga tidak berfungsi.

Rumah sakit yang berfungsi per Januari 2025 hanya 17 unit, dari 36 rumah sakit yang ada. Selain itu, lebih dari 200 fasilitas pemerintah, 136 sekolah dan universitas, 823 masjid, dan tiga gereja rusak.

Nilai kerugian infrastruktur ini melonjak signifikan dibandingkan dengan nilai kerusakan di Gaza pada tahun 2024 sebesar US$1,38 miliar atau Rp21,39 triliun dan tahun 2021 sebesar US$338 juta atau Rp5,24 triliun.

Dari sisi pertanian, temuan lain UNOSAT yang bekerja sama dengan Badan Pangan Dunia (FAO), menemukan bahwa 68% ladang di Jalur Gaza mengalami penurunan kesuburan yang signifikan per September 2024.

Tak hanya itu, sebanyak 80-96% aset pertanian di sana pun hancur, termasuk sistem irigasi, peternakan, kebun buah, mesin, dan fasilitasnya.

Tahun lalu, FAO sempat mengungkapkan sebanyak 15.000 sapi atau lebih dari 95% dari populasi sapi mati sejak konflik dan hampir 50% domba sudah terbunuh.

Rekonstruksi Penuh Tantangan

Para ahli memperingatkan rekonstruksi Gaza ini bakal dipenuhi tantangan mulai dari beban keuangan yang sangat besar, sumber dana yang terbatas, blokade Israel, pembersihan puing, hingga penanggung jawab.

Fase pemulihan awal (atas layanan dan infrastruktur dasar) saja diperkirakan menelan biaya US$2 miliar-US$3 miliar dengan waktu 5 tahun.

Pakar PBB Balakrishnan Rajagopal, dikutip Anadolu, memperkirakan rekonstruksi Gaza bakal memakan waktu hingga 80 tahun karena terkendala pendudukan Israel dan blokade yang belum dicabut.

Bahkan dalam skenario optimistis, saat Israel mengizinkan bahan bangunan masuk ke Gaza hingga lima kali lipat dari sebelumnya, UNDP (UN Trade and Development) memperkirakan rekonstruksi hunian saja akan butuh waktu 15 tahun.

Prediksi ini belum memasukkan pembangunan rumah sakit, sekolah, pembangkit listrik, dan sistem air.

Jutaan Ton Puing Berbahaya

Reuters melaporkan estimasi kerusakan Gaza yang dirilis PBB menunjukkan bahwa ada 42 juta-50 juta ton puing yang harus dibersihkan, selama 21 tahun dan membutuhkan anggaran US$1,2 miliar atau Rp18,6 triliun.

Puing-puing itu diyakini terkontaminasi asbes, kemungkinan berisi jasad manusia, mengingat Kementerian Kesehatan Palestina memperkirakan masih ada 10.000 jenazah yang hilang dan belum teridentifikasi di bawah reruntuhan.

Selain itu, Badan Aksi Ranjau PBB (UN Mine Action Service/UNMAS) memperkirakan masih ada 7.500 ton bom dan amunisi yang belum meledak di Gaza. Pembersihannya dapat memakan waktu hingga 14 tahun.

"Perlu ada prioritas untuk menilai mana bangunan aman, dan memberi tahu penduduk yang kembali ke rumah mereka tentang potensi risiko ini,” kata Shaina Low, penasehat komunikasi Norwegian Refugee Council (NRC) di Palestina, kepada Anadolu.

Siapa Penanggungjawabnya?

Shaina Low, juru bicara Norwegian Refugee Council (NRC) menegaskan bahwa proses rekonstruksi Gaza haruslah dipimpin dan dikendalikan oleh warga Palestina. "Proses rekonstruksi juga perlu memastikan bahwa hak asasi manusia dan hukum humaniter dihormati dan dipatuhi," katanya.

Saat ini ada dua poros kekuatan politik di Palestina, yakni Hamas dan Otoritas Palestina (PA) yang didominasi faksi Fatah. Ketika terjadi perang dengan Israel, beberapa pemimpin Hamas gugur, salah satunya Yahya Sinwar pada 16 Oktober 2024.

Di tengah proses gencatan senjata, Hamas menjalankan otoritasnya yakni berkoordinasi dengan badan-badan PBB dan organisasi bantuan kemanusiaan untuk memastikan masuknya 600 truk bantuan per hari ke Gaza.

Di sisi lain, Otoritas Palestina (PA) mengklaim sebagai satu-satunya badan yang secara legal berhak memerintah Gaza pasca-perang. Namun sayangnya, mereka tak punya perwakilan dan simpati dari rakyat Gaza.

Israel juga ogah membiarkan Gaza berkembang memiliki masa depan, selama Hamas masih mengontrol wilayah tersebut.

“Tidak ada masa depan yang damai, stabil, dan aman bagi kedua belah pihak jika Hamas tetap berkuasa di Jalur Gaza,” kata Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar, dikutip Reuters (23/1/2025).

Penyandang Dana Belum Pasti

Menurut Somdeep Sen, profesor di Universitas Roskilde Denmark, Mesir atau Yordania kemungkinan akan mengelola rekonstruksi Gaza karena lokasinya yang berbatasan langsung dengan lokasi konflik. Namun, keduanya tak punya sumber daya atau kemauan politik.

Sebaliknya, negara-negara Teluk yang kaya seperti Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA) harusnya turun tangan. "Tanpa sekelompok besar donor yang berkomitmen untuk pemulihan jangka panjang Gaza, untuk mencapai angka [US$50 miliar] rasanya sulit," kata Sen, dilansir NPR.

Sementara itu Shelly Culbertson, peneliti senior di lembaga think-tank, RAND, yang banyak melakukan penelitian di Tepi Barat dan Gaza, mengatakan AS dan Uni Eropa juga berpotensi menyediakan dana.

Presiden AS Donald Trump baru-baru ini menyatakan siap membantu merekonstruksi Gaza, tetapi mengajukan syarat bahwa jutaan warga Gaza harus direlokasi dulu ke Mesir dan Yordania.

Usulan ini ditolak mentah-mentah oleh semua pihak yang dia sebut di rencana tersebut.

Para diplomat pun masih mencari model solutif atas rekonstruksi Gaza, dengan melibatkan UEA, AS, dan negara lain, yang akan mengawasi pemerintahan Gaza untuk sementara waktu.

Skema lain, yang didukung Mesir, ialah model ini akan melibatkan komite gabungan yang terdiri dari Fatah dan Hamas yang menjalankan Gaza di bawah pengawasan PA. Namun usulan itu juga belum diterima secara mufakat.

Pekerjaan rumah inilah yang menunggu untuk segera dipecahkan. Jika tidak, Gaza akan menjadi area tak layak huni yang membunuh warganya pelan-pelan akibat infeksi, sisa bom, dan puing. (mts)


 Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\