Selasa, 05 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Kepedulian dalam Bingkai Kesederhanaan ala Paus Fransiskus

Di balik kesederhanaan itu, ada luka besar yang pernah ia bawa dalam hidupnya. Disertasinya tidak selesai. Studinya gagal.

By
in Soul Nutrient on
Kepedulian dalam Bingkai Kesederhanaan ala Paus Fransiskus
Seorang perempuan Katolik memberikan penghormatan kepada mendiang Paus Fransiskus. (Sumber: https://www.ctpublic.org/)

TheStanceID - Bagi sebagian orang, kekuasaan dan jabatan mungkin sinonim dengan kemewahan dan kekayaan yang sama-sama dianggap sebagai bentuk pencapaian. Namun hal ini berbeda dari sosok Paus Fransiskus

Kepergiannya beberapa waktu lalu menaburkan rasa duka, tidak hanya bagi umat Katolik tetapi juga bagi seluruh umat manusia di dunia. Masyarakat internasional kehilangan sosok panutan yang mengajarkan nilai-nilai kepedulian dan kesederhanaan.

Di era ketika kepedulian tereduksi menjadi slogan dan citra, kita butuh teladan yang membumi—dan Paus Fransiskus menjawab kebutuhan itu dengan caranya yang sederhana.

Ia tidak sekadar berbicara tentang kasih, ia hidup di dalamnya: dalam gestur kecil, pilihan hidup yang merendah, dan keberanian menempatkan manusia lebih tinggi dari kekuasaan.

Paus Fransiskus seolah mengajak kita merenung: mungkinkah kepedulian sejati hanya dapat tumbuh subur dalam tanah kesederhanaan?

Di era media sosial yang penuh dengan flexing, pamer, gaya hidup sederhana terasa seperti barang antik yang hampir punah. Namun Paus Fransiskus justru membuktikan bahwa kesederhanaan bukanlah tanda kekurangan, melainkan kekuatan batin.

Ia memilih naik kendaraan umum, tinggal di penginapan biasa, menolak kemewahan yang lazim melekat pada simbol status.

Baca juga: Warisan Paus Fransiskus: Ketulusan, Kesederhanaan & Seruan Perdamaian

Hidup sederhana baginya bukan soal mengorbankan kenyamanan, melainkan keputusan sadar: untuk tak dikendalikan ego dan pencitraan. Simpel, tetapi penuh daya.

Kesederhanaannya tak hanya tampak dalam tindakan, tetapi juga dalam kata-kata dan sikap. Pesannya jujur, sederhana, dan menyentuh akar kemanusiaan: hubungan antarmanusia, perhatian pada bumi, keberpihakan pada yang lemah dan tak berdaya.

Menembus Batas Keumatan

Paus Fransiskus

Semua ensiklik yang dia tulis dari Vatikan mudah dimengerti—bukan hanya oleh umat Katolik, tapi juga oleh siapa saja yang beriman atau bahkan tidak beriman.

Tidak ada sekat. Tidak ada jargon berlebihan. Hanya kata-kata yang memanggil kita kembali kepada kejujuran nurani: untuk hidup lebih bersih, lebih adil, lebih manusiawi.

Tiga hal: kata, laku, dan sikap, berkelindan erat. Tidak neko-neko. Tidak bertopeng. Lihatlah fotonya di mana-mana: Paus Fransiskus tersenyum, bukan hanya kepada yang setuju, tetapi juga kepada yang berbeda, bahkan yang menentangnya.

Ia mengajarkan bahwa senyum tidak harus dikalkulasi; ia lahir dari keyakinan bahwa setiap manusia—siapa pun dia—adalah saudara. Dan semua itu, bukan muncul sekongong-konyong ketika dia memegang posisi sebagai Sri Paus.

Sejak masih menjadi Kardinal Jorge Mario Bergoglio di Argentina, ia sudah terbiasa bergelantungan di bus umum. Bahkan saat menjadi Paus dan berkunjung ke Indonesia, permintaan kendaraan dinasnya pun sederhana: cukup Toyota Avanza.

Tapi ketika kenyamanan dan keamanan juga diperhitungkan, akhirnya dipilihlah Toyota Zenix—mobil hybrid, hemat bahan bakar, ramah lingkungan. Semua itu bukan soal mobilnya, melainkan sikap batinnya: memihak bumi, memilih hidup bersahaja.

Tetapi di balik semua kesederhanaan itu, ada luka besar yang pernah ia bawa dalam hidupnya. Disertasinya tidak selesai. Studinya gagal. Ia terpuruk dalam tekanan berat.

Dalam saat-saat gelap itu, Maria che scioglie i nodi—Maria yang mengurai simpul—tampak di hadapannya, bukan hanya sebagai karya seni, melainkan simbol iman.

Devosi kepada Bunda Maria

Patung Maria

Maria hadir dengan tangan lembut seorang ibu, mengurai kekusutan hidupnya. Bagi Paus Fransiskus, Maria adalah manifestasi tangan Allah: tangan yang sabar, mengurai satu per satu simpul kehidupan manusia yang kusut.

Dari pengalaman inilah tumbuh devosinya yang mendalam kepada Maria, sang pengurai simpul kehidupan.

Semangat Maria che scioglie i nodi itu terus hidup dalam cara Paus Fransiskus memimpin Gereja. Ia tak lelah merawat luka-luka dunia: kemiskinan, perang, perdagangan manusia, eksploitasi perempuan dan anak, kerusakan lingkungan, dan korupsi politik.

Dalam Evangelii Gaudium ia menulis, “Agama sejati tidak terasing dari penderitaan manusia; sebaliknya, ia hadir di dalamnya untuk menyembuhkan”.

Bagi Paus, gereja bukanlah museum orang suci, melainkan rumah sakit bagi siapa saja yang terluka. Gereja harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa pun yang mencari harapan, betapapun kusut kisah hidupnya.

Lebih lanjut, tokoh utama umat Katolik dunia ini selalu menunjukkan kepeduliannya kepada mereka yang malang dan marjinal.

Misal ketika pecah perang dahsyat di Gaza beberapa waktu yang lalu, beredar video yang dirinya menelepon para pastor di Jalur Gaza. Paus juga selalu menyerukan gencatan senjata dan diakhirinya peperangan.

Sikapnya yang berani ini belakangan berujung pada penarikan ucapan bela sungkawa pemerintah Israel, menandakan bahwa kebencian dan kegelapan negara apartheid tersebut tidak memiliki ruang dispensasi.

Menyaudarai Umat Beragama Lain

Al-Azhar

Saat bersama Imam Besar Al-Azhar, Paus Fransiskus mengajarkan bahwa iman memanggil kita untuk melihat yang lain sebagai saudara.

Ini bukan sekadar diplomasi antaragama, melainkan seruan spiritual: bahwa suara agama-agama membawa kerinduan terdalam umat manusia akan makna dan damai.

Semangat ini sejalan dengan roh Nostra Aetate—dokumen Konsili Vatikan II tentang hubungan dengan agama-agama non-Kristiani—yang menegaskan bahwa Gereja menghormati apa pun yang benar dan suci dalam agama-agama lain.

Paus Fransiskus tidak hanya mengafirmasi semangat itu; ia menghidupinya dalam ziarah lintas iman, dalam penghargaan terhadap kearifan lokal, dalam dialog spiritual yang setara.

Karena itu, Paus Fransiskus menjauh dari sikap memonopoli kebenaran. Ia bersaksi bahwa kasih Allah lebih luas daripada sekat-sekat agama, lebih besar daripada dogma manusia. Kasih yang sabar, yang merangkul, yang mengurai simpul-simpul hidup kita.

Kini, Paus Fransiskus telah pergi. Tetapi warisannya tetap hidup: dalam cara kita berdialog dengan yang berbeda, dalam cara kita menjaga dunia sebagai rumah bersama.

Seperti ditulisnya dalam Fratelli Tutti, “Setiap agama yang otentik mengajarkan agar kita mencintai, menghormati, dan membantu sesama manusia, tanpa membedakan”.

Paus Fransiskus mengajar bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan hidupnya sendiri. Ia menjadi saksi, bukan sekadar pewarta, menjawab kerinduan zaman ini akan perwujudan kasih yang tak berbatas. (mfp)***

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\