Kompromi Danantara dan Revisi UU BUMN yang Terkesan Diam-Diam

Danantara ketinggalan 51 tahun jika dibandingkan dengan Temasek-nya Singapura.

By
in Social Podium on
Kompromi Danantara dan Revisi UU BUMN yang Terkesan Diam-Diam
Sumber: istimewa

oleh Nur Iswan, mantan jurnalis yang menggeluti dunia riset bidang kebijakan publik sebagai Senior Advisor IndoPolicy & Business Review (IPBR). Wirausahawan yang juga pemerhati dunia agroindustri tersebut kini aktif menyampaikan ide dan gagasannya melalui kanal Youtube, Nur Iswan Channel.


Jika tak ada aral melintang lagi, Danantara akan diluncurkan pada 24 Februari 2025, setelah sebelumnya sempat tersendat-sendat.

Keterlambatan ini sebenarnya sudah bisa diprediksi dan agak bisa dimaklumi. Karena, memang perlu waktu, barang sebentar. Meski alasan ini tak bisa sepenuhnya dibenarkan juga. Dan tidak harus sepanjang ini tertundanya.

Kenapa?

Pertama, problem regulasi terkait "payung" hukum. Kan, sudah terlanjur ada belasan aturan yang menjadi cantolan BUMN. Terutama dan di antaranya, UU Nomor 19/2003 tentang BUMN dan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Kedua, persiapannya jadi terkesan kurang matang dan tak komprehensif.

Terbukti: kadung diumumkan Kepala dan Wakil Kepala Badan-nya. Lantas, berkali-kali diumumkan akan diluncurkan. Eh, mundur lagi. Kalau memang belum siap, mbok ya jangan "rame-rame" dulu.

Ujungnya, tak bisa disalahkan jika jadi spekulasi dan bola liar. Dan bahkan membuka celah bahwa ada upaya kompromi Danantara. Sehingga, agak belok dari rencana dan cita-cita awal Prabowo: seperti Temasek-nya Singapura atau setidaknya Khazanah Bhd-nya Malaysia.

Akhirnya, benar saja. Peluncuran Danantara agak mundur. Maka dikebutlah revisi atau amandemen UU BUMN oleh DPR. Tapi anehnya, RUU-nya tidak mudah diperoleh. Liputan media sulit. Jadi, terkesan agak "diam-diam" dan kurang transparan.

Prabowo Agak Mengalah

Hingga ketika tulisan ini dibuat, draf lengkap UU BUMN yang diubah dan disahkan belum ter-publish. Tapi, kuat dugaan, Prabowo realistis dan agak mengalah. Kompromi.

Mungkin dalam benak Prabowo, "yang penting, jadi dululah. Kalau kurang sempurna, nanti diperbaiki lagi!"

Buktinya? Kementerian BUMN tetap ada. Menteri BUMN--konon--menjadi Ketua Dewan Pengawas (Dewas)-nya. Pemilihan dan penempatan orang harus sepersetujuan Menteri BUMN. Dan beberapa pasal lain nanti saya kupas, setelah UU BUMN terdaftar di Lembaran Negara.

Hal yang penting, setelah regulasi selesai adalah penempatan orang-nya. Jangan sampai sekedar jadi program akomodasi politik. Pilih profesional yang ambisi politiknya nihil.

Supaya apa? Terhindar dari intervensi politik maupun dimanfaatkan jadi "kendaraan politik" lagi. Khusus Danantara, biarkan mandiri. Beroperasi atas pakem aksi-aksi korporasi dan bisnis murni. Bahasa resminya, base on the real business and strategic judgment.

Mantan-mantan Presiden atau Wapres cukup mengawasi dari luar saja. Dewas dan eksekutor pelaksana, sejak awal pastikan tidak berambisi Nyapres, Nyawapres atau Nyaleg. Boleh punya ambisi politik, tapi mundur dari Danantara.

Tertinggal Puluhan Tahun

Nah, apa itu Danantara? Kependekan dari Daya Anagata Nusantara. Sebuah nama lumayan manis untuk disematkan pada Badan Pengelola Investasi (Sovereign Wealth Fund) di Tanah Air.

Badan ini, diharapkan menjadi super-holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perannya adalah mengelola dan mengoptimalkan kekayaan negara dengan cara investasi strategis.

Sesuai dengan makna filosofis namanya. Daya berarti energi. Anagata adalah masa depan. Nusantara adalah tanah dan air Indonesia. Jika dirangkai lengkap maka bermakna: kekuatan ekonomi yang menjadi energi masa depan Indonesia.

Dahsyat, bukan?

Tetapi, kehadiran Danantara sesungguhnya agak terlambat jika dibandingkan dengan super-holding sejenis di dua negeri tetangga yakni Singapura dan Malaysia.

Danantara ketinggalan 51 tahun, jika dibandingkan dengan Temasek-nya Singapura. Karena Temasek sudah didirikan sejak tahun 1974. Tak heran jika sekarang total asetnya lebih dari US$291,8 miliar atau setara Rp4.610-an triliun.

Sementara dengan Khazanah National Bhd Malaysia, Danantara ketinggalan 31 tahun. Sekarang ini, Khazanah Bhd memiliki total aset 165,84 miliar ringgit sepanjang 2023 atau sekitar Rp596,24 triliun (kurs Rp3.595 per ringgit).

Namun demikian, it is better late than never. Lebih baik terlambat, daripada gak jadi-jadi. Lebih baik cepat, daripada diundur-undur lagi. Kalau kata anak sekarang: "Ubur-ubur ikan lele. Akhirnya Danantara jadi juga, leeeee!"

Bukan Upaya yang Pertama

Nah, pendirian Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara sendiri sesungguhnya merupakan upaya kesekian kali pemerintah untuk me-leverage kekuatan BUMN agar lebih profesional.

Terkonsolidasi. Mandiri. Dan berkinerja baik. Sehingga menambah kekuatan ekonomj nasional.

Jika merunut sejarah, "pengasuh" BUMN ini berubah-berubah. Tidak pernah ajeg. Makanya, tidak fokus dan konsisten.

Pada awalnya, pengasuhan BUMN ada di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan kementerian teknis. Tapi berubah menjadi Kementerian BUMN tersendiri. Harapannya, fokus dan tidak banyak intervensi.

Meski sudah sedemikian rupa, toh kinerja sebagian besar BUMN masih memble. Banyak yang rugi. Meski ada juga yang untung dan cemerlang. Tapi, jumlah ini sedikit sekali.

Yang memprihatinkan, BUMN beberapa kali "menyetor" direksi ke penjara. Alih-alih memberi kontribusi malah membebani negara. Tak hanya itu, beberapa BUMN, kerap merengek PMN (Penyertaan Modal Negara). Bahasa terang-halusnya: "Please, tolong disuntik dana, dong!"

Situasi ini, tak boleh terus dibiarkan. Momen Danantara, jadikan tonggak kebangkitan BUMN.

Yang gak penting dan strategis: tutup atau merger saja. BUMN yang baik, menggendong dan mentransformasi yang masih jelek.

Elit juga kudu bersepakat, tak akan terlalu "cawe-cawe" ke Danantara. Siapapun pengawas dan pelaksana, beri waktu dan ruang bekerja profesional saja. Toh, nanti tinggal kita evaluasi kinerja keuangannya.

Masa terus menerus kalah sama Temasek dan Khazanah. Malu dong. Bukan, begitu?***


Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\