Jaminan Hidup Layak: Asa & Penantian Panjang Pekerja Rumah Tangga
Kekerasan, upah murah, dan jam kerja panjang terasa lekat, tapi negara terasa jauh. PRT berulang-kali mendapat janji gombal politisi terkait RUU PRT.

TheStanceID - Perjalanan panjang untuk memperoleh perlindungan telah dilakoni Nur Khasanah dan teman-temannya sebagai pekerja rumah tangga. Kekerasan, upah murah, dan jam kerja panjang begitu lekat, tapi negara terasa jauh.
Perempuan yang tergabung dalam Serikat Pekerja Rumah Tangga Merdeka itu pun lantang menuntut hak-hak para pekerja rumah tangga yang selama ini terabaikan.
Dalam peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2025 di Semarang, Nur memanfaatkannya untuk menyuarakan tuntutan perbaikan nasib pekerja, salah satunya pekerja rumah tangga (PRT) yang masih rentan.
“Kita mengharapkan bahwa PRT ini pekerja, bukan pembantu. Kalau kita pekerja rumah tangga kita punya hak dasarnya sebagai pekerja,” jelas Nur.
Pelabelan “pembantu” yang melekat pada PRT, membentuk stigma bahwa PRT merupakan pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan, sehingga dianggap wajar ketika mendapat bayaran murah, perlindungan minim, dengan beban kerja tinggi.
Menurut catatan Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), ada 3.308 kasus kekerasan terhadap PRT dalam kurun waktu 2021-2024.
Bentuk eksploitasi PRT juga terlihat dari upah yang didapat oleh para PRT. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022, rata-rata upah PRT di Indonesia hanya Rp437.000 per bulan.
Angka ini jauh dari standar upah layak mengingat beban kerja dan risiko yang dialami PRT setiap harinya.
Berharap pada RUU PRT
Hadirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) PRT seharusnya dapat mengurai polemik seperti ini. Sayangnya, setiap RUU PRT masuk dalam meja pembahasan selalu ditunda seakan ada yang alergi dengan UU itu untuk disahkan.
Harapan yang sudah dekat digantungkan begitu saja. Nur menceritakan bahwa sebenarnya RUU PRT sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas) bahkan selangkah lagi bisa disahkan, tapi Ketua DPR Puan Maharani belum juga mengetok palu.
“Hingga sekarang nyatanya RUU PRT ini selalu dipinggirkan. Ternyata pemerintah kita masih menganggap bahwa rakyat ini nomor dua,” tutur Nur.
Upaya audiensi sudah dilakukan, RUU PRT masuk dalam Prolegnas yang merupakan prioritas tahunan, tapi nyatanya Nur dan teman-temannya yang sudah menunggu 20 tahun tak kunjung mendapatkan perlindungan hukum.
Hak atas perlindungan yang dinantikan selalu terhenti di meja parlemen seakan hak para PRT merupakan prioritas terakhir, kalah oleh RUU Mineral Batu Bara (Minerba), RUU Ibu Kota Negara (IKN), dan RUU Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dalam momentum peringatan Hari Buruh kemarin, Nur dan PRT se-Indonesia kembali mendapatkan angin surga, setelah selama 20 tahun menunggu realisasi UU PRT.
Pada peringatan Hari Buruh Internasional di Monumen Nasional (Monas) pada Kamis, 1 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto menyinggung RUU PRT, menjawab tuntutan utama yang dilayangkan kelompok pekerja rumah tangga.
Dalam pidatonya, ia mengatakan bahwa RUU yang menjadi payung hukum bagi PRT akan segera dibahas bahkan dalam perhitungannya, UU tersebut ditargetkan segera disahkan dalam waktu tiga bulan.
“Kami akan segera membahas RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Saya telah mendapat laporan dari Pak Sufmi Dasco, minggu depan RUU ini mulai dibahas,” tutur Prabowo.
Hadiah bagi Kaum Pekerja
Ketika dikonfirmasi terpisah, Wakil Ketua DPR RI sekaligus orang terdekat Prabowo, Sufmi Dasco Ahmad, membeberkan bahwa DPR memang akan membahas RUU PPRT.
Dasco mengeklaim bahwa RUU ini sudah mendapatkan persetujuan dari para pimpinan DPR RI, termasuk Puan Maharani selaku Ketua DPR RI.
“Hadiah dari DPR untuk kaum pekerja,” tutur Dasco usai acara silaturahmi dengan serikat pekerja pada Rabu, 30 Mei 2025.
Wacana mendorong pengesahan RUU PRT disambut baik oleh Jumisih, anggota Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT).
“Kami berharap komitmen tersebut benar-benar direalisasikan segera,” kata Jumisih seperti dikutip Tempo.
Dia menekankan perlu adanya perjanjian kerja tertulis antara pekerja rumah tangga dengan pemberi kerja. Perjanjian tersebut mencakup upah, jaminan sosial, cuti, libur, jam kerja, dan pilihan jenis pekerjaan.
Selain itu, kebebasan berserikat dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan di dunia kerja juga harus diatur di RUU tersebut.
Mengutip Hukum Online terdapat lima substansi utama dalam RUU PRT yang disampaikan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan.
Pertama mengutamakan perlindungan dan membenahi draf RUU sebelumnya untuk disesuaikan dengan perkembangan terkini. PRT diposisikan setara dengan pekerja pada profesi lainnya baik dalam hal pengawasan dan perlindungan.
Kedua, pengesahan RUU ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan internasional mengenai regulasi perlindungan PRT di Indonesia.
Ketiga, PRT mendapatkan jaminan keamanan (sosial) dan hak kerja di dalam negeri. Keempat, nilai tambah PRT migran di luar negeri bahwa indonesia telah memiliki regulasi yang menjamin perlindungan PRT.
Kelima, melalui UU PPRT Indonesia bisa meminta negara lain untuk melindungi pekerja migran Indonesia sebagaimana asas resiprositas.
Baca juga: Jawa Timur Hapus Syarat Usia dalam Lowongan Kerja, Pembatasan Usia Dinilai Diskriminatif
Nur dan jutaan PRT di seluruh Indonesia tentu menyambut baik komitmen Prabowo mendorong pengesahan RUU PPRT. Namun, demi melihat rekam jejak sebelumnya, RUU ini juga berpeluang terlantar menjadi sekadar janji politik untuk meraup dukungan.
Maklum saja, menurut catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, saat ini jumlah PRT di Indonesia mencapai 10,7 juta orang atau setara 5% dari jumlah pemilih (voter).
Oleh karena itu, perjuangan Nur masih panjang demi mendapatkan jaminan perlindungan negara atas hak mereka, sesuatu yang mendasar, tetapi oleh Sufmi dianggap sebagai "hadiah" DPR bagi pekerja. (mhf)
Simak info kebijakan publik & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.