Jakarta, TheStance – Setelah lebih dari 20 tahun menjadi wacana dan janji politik, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tak kunjung disahkan. Tahun ini, para wakil rakyat bertekad mengegolkannya.
Tanpa pernah mengakui kegagalan perumusan aturan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berlindung di balik alasan teknis seperti "miss" dalam proses carry over dan perdebatan tak berujung soal definisi.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Ledia Hanifa menyebutkan pembahasan yang dimulai sejak periode 2009–2014 harus diulang dari awal karena pergantian periode dan agenda legislatif lainnya.
Ledia merinci kontroversi yang dianggapnya krusial, seperti definisi PRT, yang kini diperumit dengan adanya pekerja paruh waktu via aplikasi digital, meski faktanya perlindungan dasar bagi pekerja domestik konvensional pun belum juga terwujud.
Ia juga menyoroti peran problematis perusahaan penyalur atau Perusahaan Penempatan Pekerja Rumah Tangga (P3RT), yang solusinya lebih berpihak pada pemberi kerja.
“Penyalur P3RT itu juga termasuk yang harus kita pertimbangkan karena kasus-kasusnya belum tentu langsung antara pemberi kerja dengan PRT-nya bisa jadi antara pemberi kerja dengan P3RT atau PRT dengan P3RT,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ‘UU PPRT Menjadi Landasan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga’, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Pernyataan ini menyoroti sebuah ironi, yakni di saat jutaan PRT bekerja tanpa jaminan hukum sama sekali, kekhawatiran utama yang diartikulasikan justru “kerugian" pemberi kerja. Sementara itu, janji manis terus dilontarkan tanpa tenggat waktu yang jelas.
Hal ini mengonfirmasi dugaan tarik-menarik kepentingan antara PRT, pemberi kerja, dan penyalur yang menyebabkan penundaan pembahasan aturan tersebut.
Komitmen Masih Dijaga, Meski 20 Tahun Berlalu
Ledia mengakui pembahasan RUU PPRT memang panjang, tapi pihaknya berkomitmen menghadirkan regulasi yang adil dan jelas, sehingga PRT mendapat perlindungan yang layak sekaligus memberikan kepastian bagi pemberi kerja.
“Kami sedang mencoba juga memikirkan terkait dengan jaminan sosialnya. Gimana jaminan sosialnya kalau yang bersangkutan bekerja dengan kita tahunan mungkin itu akan lebih mudah, tapi kan ada yang pindah-pindah gitu,” sambungnya.
Pihaknya masih memikirkan formula yang tepat terkait aturan jaminan sosial bagi P3RT, termasuk juga implikasinya bagi badan yang menjadi penyelenggara jaminan sosial bagi PRT. "Nah yang begini-begini ini yang masih terus di diskusikan."
Sementara itu Wakil Ketua Komisi XIII DPR Sugiat Santoso menyebut mandeknya RUU ini sebagai bentuk kelalaian negara karena selama 20 tahun membiarkan PRT bekerja tanpa perlindungan hukum.
Padahal, jumlah mereka bisa mencapai 8 juta-10 juta orang, sebagian besar menjadi tulang punggung keluarga. “Katakanlah 24 jam dan mungkin dia adalah tulang punggung negara tapi enggak ada perlindungan hukum terhadap dia itu PR kita bersama.”
Ia juga memaparkan realitas brutal di lapangan, seperti gaji jauh di bawah upah minimum, jam kerja tanpa batas, dan posisi tawar yang nol.
Bahkan UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 secara sengaja mengabaikan PRT dari definisi pekerja formal, sehingga memasukkan mereka dalam zona eksploitasi legal. Baginya, dalih kesempurnaan regulasi adalah kemewahan yang tak lagi bisa ditolerir.
“UU 13/2003 itu malah lebih apa lebih lebih kaku menjelaskan bahwa PR-nya bukan bagian dari pekerja formal, kan tidak masuk dalam UU 13/2003,” sambung dia.
Baca Juga: Jaminan Hidup Layak: Asa & Penantian Panjang Pekerja Rumah Tangga
Sugiat juga mengakui bahwa peraturan regulasi terkait dengan pekerja paruh waktu belum ada untuk melindungi PRT. Ketika ada persoalan sengketa dengan majikan, PRT selalu di posisi yang kalah hingga rawan dipecat majikannya.
“Enggak sampai setahun, mungkin like or dislike ya, dialihkan ke kampungnya kan tidak ada jaminan apapun. Saya pikir banyak sekali yang bisa kita masukkan dalam konteks penegakan hajat manusia,” tuturnya.
Posisi Tawar PRT Sangat Lemah
Wakil Ketua Komnas Hak Azasi Manusia (HAM) Putu Elvina menilai kebuntuan pembahasan RUU PPRT selama 2 dekade adalah bukti nyata pengabaian negara terhadap HAM. Ia menyoroti fakta mengerikan yang seringkali luput dari diskusi teknis di DPR.
“Dua dasawarsa lebih ini ternyata RUU ini terkatung-katung dengan berbagai dinamikanya. Bagi Komnas HAM tentu saja kita harus menggarisbawahi bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” ujarnya.
Putu melukiskan gambaran suram tentang dehumanisasi yang dialami PRT, di mana mereka tidak lagi dipandang sebagai pekerja dengan hak, melainkan properti. Perlindungan hukum sangat diperlukan di sini.
Ia juga menelanjangi peran biro penyalur yang tidak hanya memotong upah, tetapi juga menjadi fasilitator perdagangan orang. Dalam kondisi terdesak, prioritas korban bukanlah lagi hak ekonomi, melainkan keselamatan jiwa.
“Tentu kita mendorong ini agar ada perlindungan hukum bagi kelompok rentan warga negara kita, artinya banyak kasus-kasus di mana PRT kita yang menjadi pekerja migran itu keluar tinggalnya tinggal apa mayatnya,” ujarnya.
Komnas HAM juga menekankan RUU PPRT ini ke depannya ini bukanlah sekadar produk hukum, melainkan tes moral bagi negara. Penundaan lebih lanjut bukan lagi soal teknis, melainkan pilihan negara membiarkan jutaan warganya dalam kerentanan.
“Setidaknya mereka mengatakan yang penting nyawa kami aman yang penting kehormatan kami aman dulu, masalah upah dan lain sebagainya itu urusan belakang nah sampai segitunya mereka, jadi tentu saja kami berharap ini menjadi hadiah terbaik ya di tahun 2025 terkait disahkannya RUU itu menjadi undang-undang,” tandasnya.
Hadiah Bersejarah Era Presiden Prabowo
Dikutip dari laman resmi DPR, RUU PPRT diusulkan sejak memasuki era reformasi, dan kali ini masuk dalam Prolegnas Prioritas. DPR bertekad menjadikannya sebagai hadiah bersejarah bagi PRT yang selama ini luput dari perlindungan hukum.
“Mudah-mudahan di masa persidangan ini bisa menjadi hadiah untuk masyarakat, khususnya pekerja rumah tangga,” ujar Anggota Baleg DPR, Selly Andriany Gantina dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Senin (8/9/2025) lalu.
Selain fokus pada substansi RUU, lanjut dia, DPR akan membuka akses informasi terkait proses legislasi, sejalan dengan komitmen transformasi DPR menuju lembaga yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
“Bentuk keterbukaan ini penting, agar masyarakat bisa mengakses produk legislasi dengan mudah. Adanya meaningful participation dan pernyataan-pernyataan dari anggota maupun pimpinan DPR adalah wujud akses keterbukaan itu,” tegasnya.
Dalam hal ini, masyarakat sipil, akademisi, dan kelompok pekerja disebutnya dapat turut memberikan masukan dalam setiap tahapan pembahasan undang-undang, agar RUU PPRT lebih komprehensif menjawab kebutuhan nyata pekerja rumah tangga.
Mandeknya pembahasan RUU PPRT selama lebih dari dua dekade pada akhirnya memperlihatkan bahwa negara ternyata kesulitan menempatkan PRT sebagai warga negara yang berhak atas perlindungan setara dengan pekerja lain.
Alasan teknis maupun prosedural tidak lagi relevan ketika jutaan PRT terus bekerja tanpa jaminan hukum, rentan dieksploitasi, dan diperlakukan layaknya “bayangan” dalam sistem ketenagakerjaan.
RUU PPRT bukan sekadar produk legislasi, melainkan penentu arah moral bangsa: apakah negara memilih berdiri di sisi kemanusiaan, atau terus membiarkan kelompok rentan ini terjebak dalam lingkaran pengabaian yang tak kunjung berakhir. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance