Jakarta, TheStance – Puluhan grup musik memutuskan membatalkan manggung pada hari kedua, Sabtu (6/9/2025) dan hari ketiga, Minggu (7/9/2025) Pestapora 2025 setelah isu PT Freeport Indonesia menjadi sponsor acara tersebut.
Salah satu grup musik yang menyatakan batal manggung di Pestapora tahun ini adalah Sukatani.
Grup musik punk asal Purbalingga, Jawa Tengah tersebut mengumumkannya lewat unggahan foto pembatalan jadwal mereka di akun Instagram resminya, @sukatani.band pada Sabtu dinihari (6/9/2025) atau beberapa jam sebelum mereka manggung.
“Kami memutuskan untuk tidak jadi pentas di Pestapora 2025. Sampai jumpa di kesempatan lain. Terimakasih,” tulis Sukatani.
Sebelumnya, Sukatani dijadwalkan tampil di hari kedua Pestapora 2025 pada Sabtu pagi pukul 09.45-10.30 Waktu Indonesia bagian Barat (WIB).
Freeport Jadi Sponsor, Alasan Utama Banyak Penampil Mundur
Selain Sukatani, Grup folk Banda Neira juga termasuk salah satu band yang memutuskan untuk membatalkan penampilan mereka di hari kedua Pestapora 2025.
Selain menyampaikan permintaan maaf pada para penggemarnya karena tak jadi tampil. Lewat akun Instagram pribadinya, sang vokalis, Ananda Badudu menjelaskan alasan kenapa mereka batal manggung di acara itu.
"Kami membatalkan keikutsertaan kami di Pestapora hari ke-dua karena persoalan sponsor PT Freeport Indonesia", ujar Ananda mewakili Banda Neira di postingan tersebut, Sabtu (6/9/2025).
Menurut Nanda, pihaknya baru mengetahui PT Freeport terlibat menjadi sponsor pada jumat tengah malam, beberapa jam setelah mereka tampil di hari pertama.
Nanda menjelaskan, alasan mereka memutuskan batal manggung sebagai bentuk komitmen mereka dengan nilai-nilai yang selama ini mereka anut dan suarakan dalam bermusik, yakni selalu memikirkan mereka yang tersisih dan terpinggirkan.
"Afiliasi secara langsung maupun tak langsung dengan PT Freeport Indonesia tak sejalan dengan nilai-nilai yang kami percayai, oleh sebab itu kami memutuskan mundur," tegas Banda Neira dalam unggahannya.
Merespon banyaknya penampil yang mundur, panitia PestaPora 2025 pun kemudian mengumumkan pemutusan kerja sama dengan PT Freeport Indonesia per 6 September 2025.
Lewat unggahan Instagram-nya, @pestapora, Pestapora memastikan mereka sudah tidak terikat kerja sama dengan PT Freeport Indonesia.
"Pestapora memastikan untuk penyelenggaraan di hari kedua, 6 September 2025, dan hari ketiga, 7 September 2025, kami sudah tidak terikat dan terafiliasi dengan PT Freeport Indonesia,” tulis akun Pestapora pada Sabtu dini hari (6/9/2025).
Banyaknya penampil yang memutuskan mundur di Pestapora 2025 menimbulkan pertanyaan publik akan kiprah PT Freeport, yang mengelola salah satu tambang emas terbesar di dunia yang keberadaannya cukup kontroversial di bumi Papua, Indonesia.
Sepak Terjang Freeport di Indonesia
Freeport masuk ke Indonesia bermula dari adanya UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal yang dikeluarkan oleh Presiden RI ke-dua Soeharto.
Pada April 1967, berbekal UU yang baru disahkan, perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu masuk ke Indonesia setelah ditolak Soekarno.
Penandatanganan kontrak karya selama 30 tahun antara pemerintah Indonesia dan Freeport menjadi awal dari sejarah panjang Freeport di Indonesia.
Dalam kontrak tersebut, Freeport mendapatkan keistimewaan bebas pajak selama tiga tahun, pemotongan pajak sebesar 35 persen untuk 7 tahun setelahnya, dan bebas dari pajak atau royalti selain 5 persen pajak penjualan.
Ketika Freeport menemukan cadangan baru di pegunungan Grasberg, Freeport mengupayakan untuk membuat kontrak baru dengan istilah Kontrak Karya II.
Di tahun 1991, Freeport dan Pemerintah Indonesia menandatangani Kontrak Karya II. Kontrak ini berlaku hingga tahun 2021, memberikan hak penambangan di wilayah seluas 2,6 juta hektar, yang sebelumnya hanya seluas 10.908 hektar.
Bagi sebagian rakyat Papua, kontrak karya Freeport adalah perjanjian illegal untuk merampas kekayaan alam Papua. Sebab, Papua Barat kala itu baru resmi menjadi bagian dari Indonesia pada 1969 melalui Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat.
Selain itu, proses referendum tersebut dinilai manipulatif dikarenakan orang-orang yang memberikan suara ketika itu adalah kelompok yang sudah dikondisikan untuk berpihak kepada Indonesia.
Saat ini, PT Freeport Indonesia dimiliki oleh pemerintah Indonesia bersama dengan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat.
Mayoritas saham PT Freeport dipegang pemerintah Indonesia melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sejak 2018, pemerintah mengakuisisi 51,23% saham Freeport dengan nilai transaksi mencapai US$3,85 miliar atau setara Rp62,8 triliun.
Pemerintah Indonesia dikabarkan tengah menargetkan tambahan akuisisi sebesar 10%. Jika berhasil, maka porsi kepemilikan Indonesia akan meningkat menjadi 61,23%.
Meski kini mayoritas saham Freeport telah dikuasai pemerintah, keberadaan perusahaan tambang emas terbesar itu masih memicu perdebatan, mulai dari isu kerusakan lingkungan, pelanggaran hak-hak pekerja hingga kehidupan rakyat Papua yang masih hidup dalam kemiskinan ekstrim di tengah Freeport mengeruk kekayaan alam mereka.
Merusak Lingkungan sekitar Area Penambangan
Selain permasalahan kontrak karya, PT Freeport Indonesia diketahui telah melakukan pelanggaran hukum dengan merusak lingkungan di sekitar tambang Grasberg.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menemukan setidaknya 47 pelanggaran. Ekosistem mulai dari sungai, kawasan hutan mangrove, hingga lautan terkena dampak limbah penambangan.
Pencemaran ini berasal dari kolam penampungan limbah pasir sisa tambang atau yang sering dikenal dengan istilah Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA). Metode ini dianggap buruk karena tidak ramah lingkungan.
Limbah yang ditumpahkan Freeport berupa pembuangan tailing limbah bahan beracun berbahaya (B3) telah mencapai pesisir laut Arafura.
Tailing yang dibuang tersebut melampaui baku mutu total suspended solid (TSS) yang diperbolehkan menurut hukum Indonesia. Sejumlah spesies akuatik sensitif di Sungai Ajkwa telah punah akibat tailing dan batuan limbah Freeport.
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Papua mengonfirmasi bahwa selama lebih dari 50 tahun beroperasi PT Freeport telah merusak lingkungan di sekitar lokasi penambangan tanoa tindakan pemulihan lingkungan.
Salah satunya yang terdampak adalah masyarakat adat Suku Kamoro, Pasir Hitam yang sebelumnya tidak pernah mengalami gangguan dalam menangkap ikan di wilayah perairan tersebut sebelum Freeport mengeruk kekayaan alam di Papua.
Pelanggaran HAM Buruh Freeport
Selain lingkungan, pelanggaran lain yang dilakukan oleh Freeport Indonesia adalah dengan melakukan pelanggaran HAM terhadap buruh Freeport.
Mulai dari upah yang sangat kecil, tidak adanya uang pensiun, tidak adanya perlindungan dalam bekerja sehingga banyak menyebabkan kecelakaan kerja yang sampai menewaskan banyak buruh.
Selain itu, aparat polisi dan militer melakukan tindakan brutal terhadap buruh PT Freeport yang protes. Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang paling terkenal di Freeport adalah ketika terowongan Big Gossan runtuh pada tahun 2013.
Kecelakaan tambang yang menewaskan 28 pekerja Freeport ini dianggap sebagai tindakan pelanggaran HAM karena Freeport tidak memerhatikan kondisi tempat kerja, sebagai bagian dari hak hidup pekerja.
Pelanggaran hak buruh lainnya adalah gaji buruh Freeport yang hanya Rp3 juta dan mentok sampai Rp5 juta per bulan. Padahal, gaji petinggi Freeport dan pemilik alat produksi sangat tinggi, yakni sebesar Rp8,1 milliar per bulan.
Bahkan, tercatat pada periode Juli 2009-November 2011, sedikitnya 11 karyawan Freeport dan kontraktor tewas menjadi korban penembakan gelap.
Nasib buruk para buruh PT Freeport ini kemudian didokumentasikan lewat film berjudul “Alkinemokiye” karya WatchdocID pada tahun 2012.
Meski mendapat banyak pelarangan di sejumlah negara dan forum diskusi, film dokumenter ini menunjukkan watak kapitalis AS dalam mengakumulasi modal secara brutal.
Jutaan Dolar untuk Biaya Keamanan Freeport
Salah satu yang disorot dari keberadaan PT Freeport Indonesia adalah faktor keamanan di wilayah lokasi operasional mereka di Timika Papua.
Dokumen berjudul “Paying for Protection” yang diterbitkan LSM Global Witness pada 2005 menyebutkan adanya rincian aliran dana keamanan dari Freeport Indonesia untuk tentara dan polisi Indonesia.
Berdasarkan laporan Freeport-McMoRan kepada otoritas bursa AS, diketahui bahwa Freeport telah membayar US$4,7 juta pada 2001 untuk “jasa keamanan pemerintah.” Pada 2002, Freeport juga mengucurkan US$5,6 juta untuk keperluan yang sama.
Uang itu dipakai buat ongkos infrastruktur dan pengeluaran lain seperti logistik dan ruang makan, perumahan, bahan bakar, perjalanan, perbaikan kendaraan, ongkos tambahan, serta program bantuan masyarakat yang dilakukan oleh tentara atau polisi.
Global Witness dan The New York Times juga menelaah bahwa aliran dana Freeport tak hanya mengucur ke kantong pribadi, melainkan juga diterima oleh institusi.
Dokumen “Paying for Protection” menyebut antara April 1999 dan Desember 2002, Freeport Indonesia membayar US$342.000 kepada TNI untuk membiayai program kemasyarakatan.
Sementara itu, pada September 1999, Freeport menggelontorkan US$45.725 untuk menyewa sebuah pesawat dari perusahaan transportasi udara guna mengangkut polisi Brimob.
Baca Juga: Geneva Auction & The New Order Foundation (1): Refleksi Jelang HUT Kemerdekaan RI
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan fakta bahwa selama kurun waktu 2001-2010, PT Freeport Indonesia telah menyalurkan US$79,1 juta ke Kepolisian Indonesia.
Pembayaran dana keamanan oleh perusahaan kepada individu maupun institusi Kepolisian dan TNI ini tidak dibenarkan, sebab mereka sudah digaji oleh negara.
"Pasalnya, tugas ketertiban dan keamanan adalah tugas polisi," tulis ICW dalam keterangan rilisnya, Selasa (1/11/2011).
Serikat Pekerja Tambang (United Steelworkers) di Amerika menuding dana itu tak lebih sebagai upaya Freeport McMoRan menyuap petugas keamanan di Indonesia untuk menjaga keamanan di kawasan tambang emas di Tembaga Pura, Papua. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.