Jakarta, TheStance – Pemerintah sedang mengkaji perubahan skema dana bagi hasil pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21). Pungutan yang mulanya berbasis lokasi perusahaan pemotong, diusulkan berubah menjadi berbasis domisili karyawan.
Alasannya, skema baru pembagian hasil PPh 21 ini bertujuan untuk menghadirkan keadilan bagi daerah.
Lebih Adil dan Menjawab Aspirasi Daerah
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan bahwa saat ini mekanisme bagi hasil PPh 21 masih mengacu pada lokasi pemotong pajak, bukan domisili karyawan.
“Untuk PPh karyawan atau PPh 21 yang dipotong dan dibagihasilkan ke daerah, selama ini memang mendasarkan diri kepada pemotongnya. Nah kami sekarang saat ini sedang melakukan exercise untuk melakukan bagi hasil berdasarkan domisili dari karyawan bersangkutan,” ujarnya dalam rapat kerja dengan DPD secara virtual, dikutip, Rabu (3/9/2025).
Anggito mengeklaim bahwa skema berbasis domisili diyakini akan lebih adil serta menjawab aspirasi daerah yang selama ini meminta keadilan pembagian pajak.
Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah, terutama yang memiliki banyak pekerja tetapi tidak menjadi pusat pemotongan pajak.
Meski begitu, Anggito memastikan untuk PPh Badan tidak akan mengikuti skema baru ini.
“Untuk PPh badan tidak dibagihasilkan, jadi pemungut di manapun saja itu tidak memengaruhi aspek bagi hasil pajaknya,” jelasnya.
Ketentuan Dana Bagi Hasil PPh
Untuk diketahui, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan yang diterima orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Pajak ini dipotong oleh pemberi kerja atau pihak lain yang wajib memotong, kemudian disetorkan ke kas negara melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Meski demikian, PPh Pasal 21 yang terkumpul tersebut tidak sepenuhnya dipergunakan pemerintah pusat. Sebab, sebagian di antaranya dialokasikan ke pemerintah daerah melalui skema Dana Bagi Hasil (DBH).
Sebetulnya, bukan hanya PPh Pasal 21 saja yang akan dialokasikan sebagian ke pemerintah daerah. Pemerintah juga mengalokasikan DBH atas penerimaan PPh Pasal 25 dan PPh pasal 29.
Penting untuk dipahami, bahwa DBH merupakan perangkat penting dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Fungsi DBH adalah untuk membagikan sebagian pendapatan negara dari sektor pajak dan sumber daya alam kepada daerah. Sehingga, pemerintah daerah memiliki tambahan kapasitas fiskal yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan di wilayahnya.
Adapun ketentuan mengenai pengelolaan DBH diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67 Tahun 2024.
Semua jenis PPh termasuk Pasal 21, PPh Pasal 25 dan PPh pasal 29 yang dikumpulkan DJP setiap tahunnya akan dialokasikan ke pemerintah daerah oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPB) pada Kementerian Keuangan.
Pemerintah daerah yang dimaksud meliputi Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota. Jumlah alokasi yang ditetapkan adalah sebesar 20% dari jumlah PPh yang terkumpul.
PPh yang akan dibagikan tersebut dihitung berdasarkan jumlah PPh yang berhasil dikumpulkan pemerintah pusat pada tahun pajak sebelumnya, dengan perincian :
1. Untuk pemerintah Provinsi sebesar 7,5%
2. Untuk Pemerintah Kabupaten/Kota Penghasil 8,9%, dan
3. Untuk Pemerintah kabupaten/Kota lainnya 3,6%
Namun, dalam realisasinya, DBH yang dibayarkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah bisa lebih rendah dari alokasi awalnya. Pasalnya, ada komponen lain yang dipertimbangkan selain persentase bagi hasil, yaitu kinerja pemerintah daerah dan kepatuhan dalam menyampaikan Berita Acara Rekonsiliasi (BAR).
Dengan kata lain, daerah yang lebih disiplin dan optimal dalam mengelola penerimaan pajak akan mendapatkan manfaat lebih besar.
Distribusi Hasil Pajak Lebih Merata
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia, Prianto Budi Saptono menilai wacana skema baru bagi hasil PPh 21 ini dimaksudkan untuk memastikan distribusi hasil pajak lebih merata.
“Keadilan distributif itu mengatur bagaimana barang, kekayaan, hak, dan beban didistribusikan secara adil di antara anggota masyarakat. Tujuan adalah untuk menyeimbangkan kesenjangan. Jadi, asas ini berfokus pada hasil distribusi, misalnya kekayaan, dan bukan pada proses,” ujar Prianto dalam keterangannya, Minggu (7/9/2025).
Dia menjelaskan, PPh 21 yang dipotong dari penghasilan pekerja dan dibagihasilkan ke pemerintah daerah sesuai domisili pekerja memungkinkan distribusi dana pajak ke daerah. Hal ini membuat dana pajak tidak lagi terpusat di kota-kota besar.
Prianto mencontohkan, jika sebuah perusahaan di Jakarta memiliki 1.000 pekerja yang domisilinya tersebar di 20 kabupaten/kota di luar Jakarta, maka dana bagi hasil PPh 21 akan mengalir ke 20 daerah tersebut.
“Kondisi demikian akan lebih memeratakan dana bagi hasil dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten/kota di luar Jakarta,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute ini juga menilai cara ini efektif bisa membantu mengurangi kesenjangan fiskal antarwilayah. Apalagi, selama ini, perusahaan besar umumnya berlokasi di Jakarta atau kota besar lain sehingga penerimaan dana bagi hasil PPh 21 lebih banyak dinikmati daerah tersebut.
Berpotensi Diskriminasi dan Missmatch Fasilitas
Pendapat berbeda disampaikan pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analisys atau CITA, Fajry Akbar, yang menilai skema dana bagi hasil pajak penghasilan alias PPh 21 berdasarkan wilayah domisili karyawan tidaklah tepat.
Menurut Fajry, idealnya daerah yang memberikan fasilitas atau subsidi adalah daerah yang mendapatkan dana bagi hasil atas PPh 21, yakni daerah yang menjadi wilayah atau lokasi dari tempat kerja atau pemberi kerja.
"Kalau berdasarkan domisili, pasti akan ada spillover effect dari kebijakan tersebut. Salah satunya, missmatch antara kebutuhan dengan penyediaan fasilitas umum," kata Fajry, Kamis (4/9/2025).
Menurut Fajry, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan diskriminasi perekrutan tenaga kerja karena dapat mendorong perusahaan hanya merekrut buruh yang sesuai dengan domisili tertentu.
“Perusahaan selama ini juga mendapatkan manfaat secara tidak langsung dari fasilitas umum yang diberikan pemerintah daerah,” jelasnya.
Dia memberi catatan bahwa perubahan skema dana bagi hasil tidak otomatis menyelesaikan persoalan penurunan anggaran transfer ke daerah (TKD) seperti yang tercantum dalam RAPBN 2026.
Meski demikian, dia mengakui ada potensi tambahan penerimaan bagi daerah di luar kota-kota besar/industri. Hanya saja, manfaat wacana skema baru itu diyakini hanya akan banyak dirasakan oleh daerah penyangga kota besar.
"Saya menduga dampaknya akan terbatas, hanya antarwilayah di Pulau Jawa saja, tidak menyentuh masalah ketimpangan sebenarnya yakni antara Pulau Jawa dengan lainnya atau wilayah Barat dengan Timur,” tegasnya.
Desak PTKP Dinaikkan Untuk Genjot Konsumsi
Sementara itu, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai bahwa skema bagi hasil PPh 21 tersebut tidak adil karena seringkali ada perbedaan antara lokasi domisili dan lokasi bekerja.
“Kalian kerjanya di Bekasi misalnya, rumahnya di Tangerang. Lalu, PPh 21 itu nanti bagi hasilnya setelah dikumpulkan ke Menteri Keuangan, itu akan di-share ke Tangerang. Padahal, kalian kerjanya di Bekasi, itu gambarannya,” jelas Bhima pada TheStance, Kamis (11/9/2025).
Bhima menjelaskan, terdapat 7,6 juta pekerja di Indonesia yang berstatus commuter, yakni bekerja di wilayah berbeda dengan tempat tinggal. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja formal yang membayar PPh 21.
“Nah, ini tak sesuai dengan tuntutan publik. Publik itu menuntutnya apa? Menuntutnya adalah penghasilan tidak kena pajak atau PTKP itu dinaikin,” cetusnya.
Menurutnya, ambang batas PTKP saat ini sebesar Rp4,5 juta per bulan terlalu rendah, sehingga kelas menengah berpenghasilan hingga Rp7 juta per bulan tetap terkena PPh 21.
Bhima menilai, menaikkan ambang batas PTKP lebih tepat karena dapat meningkatkan konsumsi masyarakat. Dengan begitu, ruang belanja masyarakat atau disposable income menjadi lebih luas setelah kebutuhan pokok terpenuhi, sehingga roda perekonomian daerah bisa bergerak lebih cepat.
“Jadi, bukan bagi hasil PPh 21, karena ini tidak menjawab persoalan,” tegas Bhima. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance