Jakarta, TheStance – Bencana banjir melanda sejumlah wilayah Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada pekan kedua September 2025. Bencana banjir bandang ini bukan cuma menyebabkan kerusakan rumah hingga ruko warga setempat, tapi juga memakan korban jiwa.
Berdasarkan data yang dihimpun TheStance, di Bali terdapat 163 titik banjir tersebar di 6 kabupaten/kota meliputi wilayah Denpasar, Badung, Tabanan, Gianyar, Klungkung dan Jembrana.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali mengungkap jumlah korban meninggal akibat bencana banjir di Bali, terus bertambah.
Per Senin (14/9/2025), jumlah korban meninggal tercatat 17 orang dan 5 masih hilang. Selain korban jiwa, banjir besar juga mengakibatkan kerusakan infrastruktur bangunan serta jembatan dan terganggunya pelayanan masyarakat.
Sementara, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan 5 orang meninggal dunia dan 3 orang masih dalam pencarian akibat banjir bandang di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Gubenur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, hampir semua wilayah di bagian selatan Flores terkena longsor. Lokasinya mulai dari Ende, Nagekeo, Ngada, sampai Manggarai.
Yang paling parah berdasarkan laporan dari tim adalah daerah Mauponggo di Nagekeo.
Penyebab Banjir Besar di Bali dan NTT

Faktor fenomena alam yang memicu terjadi cuaca ekstrem diamini analisis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Menurut Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar, penyebab cuaca ekstrem ini adalah aktifnya gelombang rossby ekuator, yakni gelombang atmosfer yang bergerak ke arah barat pada sekitar garis khatulistiwa (ekuator).
Gelombang itu mendukung terbentuknya awan konvektif yang mampu menghasilkan hujan begitu lebat sejak Selasa (9/9/2025) di Jembrana, Tabanan, Badung, Denpasar, Gianyar, Klungkung dan Karangasem dalam curah hingga di atas 150 milimeter.
Hujan tersebut bahkan berlanjut hingga Rabu pagi hingga menyebabkan banjir parah di Bali. Ini merupakan banjir terparah Bali dalam 1 dekade terakhir. Akibat bencana banjir ini, Bali berstatus tanggap darurat bencana selama sepekan ke depan.
Gubernur Bali I Wayan Koster sejak Rabu (10/09/2025) mengeluarkan status tanggap darurat untuk empat daerah yang mengalami dampak paling berat, yaitu Denpasar, Jembrana, Gianyar, dan Badung.
“Hujan deras kali ini luar biasa, bahkan menurut pedagang sudah 70 tahun tidak pernah terjadi hujan sebesar ini. Kami akan menetapkan status darurat untuk percepatan penanganan, termasuk alokasi anggaran tak terduga bagi kerugian masyarakat,” kata Koster, Kamis (11/9/2025).
Namun, pengamat lingkungan dan pengamat pariwisata meyakini bencana banjir besar yang melanda Bali tak cuma disebabkan faktor cuaca. Pembangunan di Bali tak berorientasi pada antisipasi bencana, mengabaikan tata ruang di tengah banjirnya turis.
Degradasi Lingkungan Terjadi di Bali

Direktur Eksekutif WALHI Bali, Made Krisna Dinata, menyatakan degradasi lingkungan yang ditandai dengan alih fungsi lahan, khususnya lahan pertanian menjadi bangunan merupakan pemicu utama kerentanan Bali atas bencana alam.
Betonisasi, alih fungsi lahan, serta hilangnya ruang terbuka hijau termasuk sawah yang membuat daya serap air lenyap.
Terkait penurunan atau perubahan lahan sawah, WALHI Bali sempat meneliti 4 wilayah yang dikenal sebagai kawasan Sarbagita, yakni Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan.
”Sejak pariwisata Bali booming, terus-menerus terjadi alih fungsi lahan sawah, subak, dan hutan untuk kepentingan akomodasi pariwisata terutama di Sabagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan),” kata Krisna.
Hasilnya, dalam rentang 2018 sampai 2023, perkembangan wilayah dan pertumbuhan lahan terbangun merupakan salah satu penyebab tergerusnya luasan lahan pertanian, khususnya sawah di wilayah metropolitan Sarbagita.
Persentase penyusutan lahan sawah itu berkisar antara 3%-6% dari luas wilayah masing-masing kabupaten/kota. Kota Denpasar, misalnya, mengalami penurunan lahan sawah sebesar 784,67 hektare atau 6,23% dari luas wilayahnya.
Luasan sawah di Kabupaten Badung berkurang sebanyak 1.099,67 hektare dan Kabupaten Gianyar berkurang 1.276,97 hektare.
“Penyusutan lahan sawah terbesar berada di Kabupaten Tabanan, yaitu seluas 2.676,61 Ha. Konsekuensi dari perkembangan wilayah mengakibatkan kebutuhan lahan dan memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian,” ungkapnya.
Baca Juga: Menalar Semangat Patriotik Food Estate Presiden Prabowo Subianto
Hilangnya lahan pertanian itu otomatis bakal menghilangkan fungsi dari subak, yakni sistem irigasi tradisional Bali. Padahal, subak berfungsi utama sebagai sistem hidrologis alami.
Berkat subak, setiap 1 hektare sawah akan mampu menampung 3.000 ton air apabila tinggi airnya 7 sentimeter. Dengan beralih menjadi bangunan, lahan tidak punya lagi kekuatan untuk menampung air hujan.
Apalagi, pada 9-10 September 2025, hujan turun dengan intensitas ekstrem di Denpasar. Di sisi lain, perubahan fungsi lahan diperparah dengan okupansi bantaran atau sempadan sehingga Tukad Badung menyempit.
Berdasarkan catatan Walhi Bali, kurun waktu tahun 2000-2020, pembangunan hotel, vila, cottage, dan penginapan sudah dua kali lipat.
Di satu sisi, ini adalah berkah untuk melayani turis domestik serta mancanegara. Namun di sisi lain, timbul kerusakan lingkungan, gangguan hidrologi atau kemampuan alami mencegah bencana hidrometeorologi, dan dampak multidimensi.
”Gubernur dan para bupati serta wali kota patut tegas. Saatnya moratorium akomodasi, pemulihan dan perlindungan lingkungan hutan, sawah, subak, dan pesisir, serta kebijakan RTRW (rencana tata ruang wilayah) yang memperhatikan kerentanan Bali,” kata Krisna.
Prediksi Jerinx SID 11 Tahun Lalu Terbukti

Dengan terjadinya bencana banjir yang melanda Bali, pernyataan musisi I Gede Ari Astina atau yang dikenal dengan nama Jerinx, pada tahun 2014 kembali menjadi sorotan.
Ketika itu, drummer band Superman Is Dead ini sudah mengutarakan kekhawatirannya mengenai pembangunan yang tak terkendali di Bali. Prediksi ini terbukti benar setelah 11 tahun berlalu, saat Bali dilanda banjir besar.
Dalam program Mata Najwa di Metro TV, Jerinx secara terang-terangan mengkritik pembangunan yang dianggap "ngawur" di wilayah Bali Selatan.
Jerinx mencontohkan beberapa pelanggaran yang sudah terjadi, seperti pembangunan di area yang seharusnya menjadi kawasan konservasi dan penciptaan pulau buatan.
"Di mana seharusnya tidak boleh dibangun bangunan, di sana dibangun. Terus, di mana seharusnya merupakan daerah konservasi, itu tiba-tiba diuruk, dibikinkan pulau baru. Di mana seharusnya tidak boleh ada hotel, ternyata ada hotel," jelas Jerinx.
Bahkan ia membandingkan kondisi Bali Selatan saat itu yang semakin jauh dari kata nyaman dan mulai menyerupai Jakarta. "Sekarang, sumpah, mendekati Jakarta. Macetnya, masalah eksodusnya benar-benar di luar kontrol," ujar Jerinx.
Menurutnya, isu lingkungan ini sangat krusial dan harus diperjuangkan bersama. Ia meyakini bahwa rusaknya alam akan berdampak langsung pada keseimbangan sosial.
"Karena ketika alam sudah rusak, itu otomatis keseimbangan sosial itu hilang," ujar Jerinx kala itu.
Paradoks Pariwisata di Bali

Pendiri Yayasan Inovasi Pariwisata Indonesia (Yipindo) Taufan Rahmadi menilai banjir di Bali menyingkap apa yang disebutnya sebagai paradoks pariwisata.
Kondisi ini terjadi dikarenakan Bali kerap mengalami masalah kekurangan air bersih di musim kemarau, tapi pulau ini justru terendam banjir saat penghujan.
Kontradiksi ini lahir dari pembangunan pariwisata yang tidak pernah ditopang perencanaan tata ruang yang kuat. Mitigasi bencana hanya menjadi jargon, tapi tidak terintegrasi dalam kebijakan pembangunan.
Taufan mengungkapkan sejak awal pariwisata Bali bertumpu pada dua pilar utama, yakni alam dan budaya.
Kini, kedua fondasi ini semakin terguncang. Ketika lingkungan terdegradasi, risiko bencana meningkat dan citra Bali sebagai destinasi dunia ikut terancam.
Kerugian yang muncul tidak hanya berdampak kepada masyarakat lokal yang rumah dan kehidupannya diterjang banjir, tetapi juga industri pariwisata yang kehilangan harmoni dan keindahan alam.
“Banjir ini bukan sekadar bencana alam, tapi juga cermin bagaimana kita memperlakukan Bali,” kata Taufan. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance