AsymMirai, AI Penolong Wanita yang Berisiko Dibenci "Dokter"

Teknologi terbaru AI mampu mendeteksi kanker payudara bahkan 5 tahun sebelum tumbuh.

By
in Big Shift on
AsymMirai, AI Penolong Wanita yang Berisiko Dibenci "Dokter"
Seorang dokter mengamati citra pemindaian pasien untuk mendeteksi sel kanker. (Sumber: DPA)

Jakarta, TheStanceID - Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) tak melulu identik dengan mesin pembuat makalah, pencaplokan lapangan kerja, atau deepfake yang meresahkan. AI yang satu ini terbukti bermanfaat menyelamatkan jiwa perempuan sedunia.

Sambutlah AsymMirai, sebuah karya teknologi interpretable mammography atau sistem pemindaian untuk menangkap gambar jaringan payudara dengan sinar-X, yang dipadukan dengan kecerdasan buatan deep learning model.

Metode kecerdasan buatan ini mengajarkan komputer untuk memproses data seperti halnya cara otak manusia bekerja, bahkan lebih canggih. Mesin tersebut bahkan telah mencapai tahap untuk mampu memprediksi potensi kanker payudara dalam lima tahun ke depan.

Dalam gambar di atas nampak jelas perbedaan antara payudara (kiri dan kanan) yang tidak memiliki sel kanker, dan payudara yang memiliki sel kanker. Dari hasil tersebut, perempuan bisa melakukan pencegahan kanker secara lebih dini.

Pengujian telah dilakukan melalui studi yang melibatkan 210.067 penyaringan mammogram dari 81.824 pasien. Dengan membandingkan citra pemindaian payudara kanan dan kiri secara terlokalisir, peneliti bisa mencapai kesimpulan tentang risiko tumbuhnya kanker payudara.

"Kami menemukan bahwa kami, dengan akurasi tinggi yang begitu mengejutkan, bisa memprediksi apakah seorang perempuan akan terkena kanker dalam 1-5 tahun," tutur Jon Donnelly, penyusun pertama studi tentang AsymMirai.

Jon adalah mahasiswa program PhD di Departemen Ilmu Komputer di Duke University, Durham, North Carolina. Karyanya diunggah pertama kali di jurnal Radiological Society of North America (RSNA).

Inovasi yang Dimusuhi?

Berkaca pada penjabaran di atas, inovasi ini memiliki potensi penyelamatan nyawa yang sangat besar, terutama untuk kaum hawa. Studi menyebutkan bahwa para dokter saat ini cenderung diskriminatif terhadap pasien perempuan sehingga kurang adil dalam mendapatkan hak perawatan kesehatan.

Para dokter cenderung menangani rasa sakit pada perempuan dengan kurang serius ketimbang ketika mereka menangani pasien laki-laki. Kurang sensitif. Dengan teknologi yang sensitif seperti AsymMirai, perempuan bisa mendapatkan layanan kesehatan lebih responsif.

Diskriminasi lain terlihat dari sisi riset dan inovasi. McKinsey Health Institute mencatat di tahun 2020 hanya 1 persen porsi investasi riset dan inovasi yang didedikasikan spesifik untuk mengatasi problem kesehatan perempuan, di luar bidang onkologi (ilmu kanker).

Inovasi AI ini juga akan membantu perempuan menghindari problem kesenjangan biaya kesehatan yang sampai sekarang masih mereka hadapi. Kesenjangan biaya ini membuat mereka mengeluarkan biaya kesehatan lebih banyak ketimbang pria.

Laporan World Economic Forum (WEF) pada 2023 dan diperbarui pada 2024, yang juga melibatkan McKinsey Health Institute, menyebutkan bahwa perempuan mengeluarkan 25% lebih banyak untuk ongkos kesehatan, dibandingkan pria.

Padahal, jika ongkos perawatan kesehatan mereka tidak besar, perempuan bisa menggunakannya untuk belanja yang lain seperti menabung, investasi, atau memenuhi kebutuhan anak. Atau bisa juga healing, traveling, atau manicure pedicure lebih sering. Betul?

Memangkas Biaya Observasi

Dengan pengaplikasian yang tepat sasaran, AsymMirai berpotensi mengurangi biaya observasi yang tidak perlu sehingga berujung pada efisiensi bagi kaum hawa. Sistem algoritma yang lebih transparan juga memungkinkan verifikasi hasil yang lebih baik.

Jika teknologi ini dipakai oleh para perempuan, maka mereka memiliki masa jeda (window of period) lebih panjang untuk pencegahan. Misalnya dengan mengubah gaya hidup lebih sehat atau memperbaiki pola diet sehingga memperlambat pertumbuhan sel kanker.

Atau, sebaliknya, mengambil terapi pencegahan untuk menonaktifkan sel kanker yang terdeteksi, sehingga tidak harus mengeluarkan puluhan hingga ratusan juta, seperti yang dialami para pasien kanker payudara ketika terlambat melakukan observasi dan terapi.

Namun tantangannya kemudian adalah bagaimana membawa kemajuan teknologi ini agar bisa masuk dan benar-benar diaplikasikan di sistem kesehatan yang kompleks, tidak efisien, seperti yang sering terjadi di Indonesia.

Bukan rahasia lagi. Di Indonesia ada saja oknum dokter komersial yang memberi rekomendasi obat atau tindakan di luar kebutuhan, demi menaikkan skor KPI (key performance index) mereka terhadap pembentukan pundi-pundi perusahaan farmasi atau penyedia layanan kesehatan.

Mereka menyebutnya gratifikasi. Praktik yang merugikan masyarakat ini diungkap dalam studi berjudul "Gratifikasi oleh Perusahaan Farmasi terhadap Dokter dalam Pelayanan Medis di Rumah Sakit" oleh Roni Pardamuan Gultom dkk, yang diterbitkan di Jurnal Kajian Hukum Iuris Studia pada 2022.

Hal ini sangat terbuka untuk terjadi, di tengah tingginya biaya pendidikan kedokteran di Indonesia seperti yang pernah diungkap Tirto, dan besarnya nilai bisnis di industri kesehatan sebagaimana diulas CNBC Indonesia.

Inovasi yang menciptakan efisiensi seperti AsymMirai, bisa jadi berseberangan dengan model bisnis mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan bantalan regulasi agar teknologi penyelamat nan efisien seperti AsymMirai bisa dimanfaatkan masyarakat luas.

Pada akhirnya, jika industri kesehatan efisien, kualitas hidup masyarakat (khususnya perempuan) bisa menjadi lebih baik, dan biaya kesehatan yang ditanggung oleh APBN--melalui klaim BPJS Kesehatan-- bisa menurun. (dip)

\