Wake Me Up When September Ends: Mengubah Agonia Menjadi Inspirasi
Green Day berupaya mengabadikan kenangan lewat lagu, tapi warganet bikin maknanya terpeleset jadi bahan lelucon.

Jakarta, TheStanceID - Dua dekade lalu, Green Day merilis album American Idiot dengan single Wake Me Up When September Ends. Ada kisah sedih di baliknya, tapi mengabur karena lelucon warganet.
Petikan gitarnya begitu ear-catchy. Sekali dengar bakal nempel banget di telinga kita, sehingga album ini meledak dan menyabet tujuh penghargaan hanya di tahun 2006.
Namun media sosial memang banal. Di era meme, yang marak di rupa-rupa platform media sosial, interpretasi ngaco akan lagu yang judulnya cukup panjang ini (hampir) membanjir setiap memasuki bulan September.
Bicara soal Green Day, grup musik dengan tiga personel, Billie Joe Armstrong (vokal utama, gitar), Mike Dirnt (vokal latar, bas), dan Tré Cool (drum) memang magnet untuk banyak hal. Salah satunya musik punk dan selingkar wilayahnya.
Kontroversi memang, banyak pelaku atau abang-abangan di ranah musik--atau oleh generasi terkini sering disebut sebagai “skena”--yang menilai kalau ditanya “Lo suka musik punk?” lalu dijawab “Iya suka banget, kayak Green Day gitu…” biasanya langsung diam sejenak.
Bakal panjang sih, kalau sudah membahas “keributan” macam itu. Namun ini juga menjadi bukti bahwa Green Day sukses mengamplifikasi musik punk, yang tadinya hanya untuk segelintir orang (alias musik gorong-gorong atau underground) menjadi “wangi” dan membumi: pop punk.
Kita menyaksikan bukti nyatanya saat ini. Tiket konser mereka di Jakarta pada 15 Februari 2025 mendatang langsung ludes secepat kilat untuk beberapa kategori. Mereka bukan anak punk, tapi mereka suka Green Day. Setidaknya atas dasar nostalgia masa muda.
Canda yang Nggak Lucu
Mari kita balik lagi ke Wake Me Up When September Ends. Apakah memang Billie Joe ingin seseorang membangunkannya di bulan yang sering disebut sebagai bulan pengantar musim penghujan? Ternyata, makna aslinya jauh dari meme-meme yang membanjiri media sosial kita lho.
Kalau grup rock Kota Kembang, Serieus punya Rocker Juga Manusia yang liriknya secara eksplisit menggambarkan tentang seseorang yang sangat tangguh juga memiliki sisi lemah, Wake Me Up When September Ends juga menangkap elemen serupa.
Bedanya, Billie Joe membuat komposisi ini untuk mendiang sang ayah yang meninggal di tahun 1982 karena kanker esofagus, sebagaimana dikutip dari AS.com.
Ditinggal orang kesayangan adalah hal yang tak mudah. Billie Joe yang baru berusia 10 tahun juga merasakan hal ini. Ia tak kuasa menahan kesedihan di pemakaman lelaki nomor satu dalam hidupnya.
Sepulang dari pemakaman, dia langsung masuk kamar. Sang ibunda mengetuk pintu untuk menanyakan kondisinya. Dia tak berkata banyak.
Sembari emosi setengah menangis ia berteriak, “Wake me up when September ends!” Teriakan ini mewujud menjadi core memory dalam diri pria kelahiran Oakland, California 52 tahun lalu.
Makanya, ketika orang “bercanda” soal lagu Wake Me Up When September Ends, Billie Joe sempat merasa ini bukan sesuatu yang lucu.
Saking kesalnya, dalam sebuah wawancara dengan Vulture Billie Joe bahkan sempat mengatakan suatu hari akan membuat lagu berjudul Shut The Fuck Up When October Comes.
Mendamaikan Pikiran Lewat Karya
Bagi seorang seniman, cara terbaik untuk menuangkan rasa adalah dengan membuat karya. Demikian halnya dengan Billie Joe. Wake Me Up When September Ends adalah caranya berdamai dengan luka batin sekaligus merawat ingatan dalam dirinya.
"September akan selalu membekas untuk saya. Sebuah perayaan yang sama sekali tidak menyenangkan. Setelah kepergian ayah, pikiran saya penuh dengan sosoknya setiap hari. Bertahun-tahun saya menghindar menulis tentang hal ini. Sampai akhirnya saya mampu berdamai dengan diri dan menuangkannya dalam lagu sebagai bentuk penghargaan,” ungkapnya dalam wawancara di The Howard Stern Show.
Bagian lirik paling kentara dimana Billie Joe membuat atribusi untuk ayahandanya ada di bagian ini.
As my memory rests
But never forget what I lost
Wake me up when September ends
Lalu berlanjut ke bagian akhir
Like my father's come to pass
Twenty years has gone so fast
Wake me up when September ends
Luka batin memang perlu waktu untuk bisa sembuh. Billie Joe perlu 22 tahun untuk bisa menuangkan kesedihan itu menjadi inspirasi dalam lirik dan komposisi. Perlahan tapi pasti, Billie Joe berhasil melewati fase-fase gelap dalam hidupnya dan berbuah komposisi personal yang luar biasa meledak di seluruh dunia.
Simbol Perlawanan dan Pengharapan
Setahun setelah Wake Me Up When September Ends rilis, badai Katrina melanda, menjadi salah satu bencana terbesar di dunia. Green Day yang kerap mengangkat isu sosial dan politik ikut tampil dalam konser penggalangan dana untuk pemulihan korban bencana.
Tentu lagu ini juga menjadi salah satu bagian dari setlist mereka. Juga banyak event-event kemanusiaan lain dimana grup yang akan datang kedua kalinya ke Indonesia ini (setelah sebelumnya hadir tahun 1996-red) juga memainkan single ini.
Nggak cuman itu, lirik lagu Wake Me Up When September Ends juga menjadi tribut untuk para korban tragedi 9/11. Video klipnya sendiri--yang sampai tulisan ini dibuat telah diputar sebanyak 223 juta kali--memuat adegan perpisahan sepasang kekasih dimana sang lelaki harus terjun ke medan perang Irak.
Komposisi luar biasa ini juga mendapat banyak penghargaan, seperti MTB Video Music Award for Best Rock Video (2006), Much Music Video Award for iHeartRadio International (2006), Kids’ Choice Award for Favorite Song (2006), MTV Australia Award for Best Rock Video (2006), MTV Australia Award for Best Group (2006), MuchMusic Video Award for People's Choice: Favorite International Group (2006), dan MTV Australia Award for Best Video (2006).
Wake Me Up When September Ends juga mendapatkan sertifikasi platinum dari Recording Industry Association of America (RIAA).
Berbeda dari mayoritas lagu-lagu Green Day yang “berisik”, nuansa dalam Wake Me Up When September Ends senada dengan Good Riddance (Time of Your Life), komposisi ballad yang masuk ke album Nimrod dan rilis tahun 1997.
Seorang jurnalis musik Rolling Stone, Rob Sheffield mengatakan Wake Me Up When September Ends adalah versi pendewasaan Good Riddance.
“Lebih sedih, dan penuh dengan adegan dewasa,” katanya.
Nah, September memang penuh dengan nuansa kesedihan. Di Indonesia kita terus mengenang kepergian Munir Said Thalib yang dihilangkan nyawanya pada 7 September 2004, juga tragedi berdarah G30S PKI yang menyisakan duka dan tanya untuk jutaan warga.
Namun semangat yang diusung Green Day dalam Wake Me Up When September Ends yang hadir kembali dalam versi demo lewat album American Idiot (20th-Anniversary - Becoming Who We Are) bisa menjadi bahan bakar kita melewati “bulan kelam” ini. (dip)