Ahmad Dhani; Potret Suburnya Pola Pikir Seksis Para Pengambil Kebijakan
Komnas Perempuan mendorong Majelis Kehormatan Dewan (MKD) memeriksa Ahmad Dhani lebih lanjut.

Jakarta, TheStanceID – Musisi cum Anggota Komisi X DPR RI Ahmad Dhani (AD) menjadi sorotan usai mengusulkan prioritas naturalisasi pemain sepak bola non-bule, dengan "mengawinkan" mereka pada perempuan Indonesia.
Dhani mengaku setuju dengan kehadiran Emil Audero, Dean James dan Joey Pelupessy untuk memperkuat Skuad Tim Garuda. Hanya saja, menurut pentolan band Dewa 19 ini sebaiknya pemain naturalisasi berwajah bule dikurangi.
"Bisa juga, misalnya, pemain-pemain bola yang sudah di atas usia 40, itu bisa juga kita naturalisasi pemain bola yang hebat, lalu kita jodohkan dengan perempuan Indonesia. Nah, anaknya itu yang kita harapkan menjadi pemain bola yang bagus juga," ujarnya, Rabu (5/3/2025).
Usulan seksis dan diskriminatif yang muncul dalam rapat Komisi X DPR RI dengan jajaran Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Kemenpora itu ironisnya diklaim Dhani sebagai "out of the box."
"Ini pemikirannya agak out of the box, Pak Erick, tapi bisa dianggarkan untuk 2026 programnya. Jadi pemain bola di atas 40 tahun yang mau dinaturalisasi dan mungkin yang duda, kita carikan jodoh di Indonesia, Pak," sambungnya.
Usulan ini pun kontan mendapat respons negatif dari berbagai pihak, termasuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang bahwa usulan Ahmad Dhani cenderung seksis karena melecehkan perempuan, merendahkan martabat Indonesia dan juga bersifat rasis.
Bertentangan dengan Hukum Perkawinan
Secara hukum, UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur ketentuan dan prasyarat yang ketat untuk mencegah perkawinan lebih dari satu orang menjadi sekedar menguntungkan satu pihak dan mengeksploitasi lainnya.
"Pernyataan AD dinilai melecehkan karena menempatkan perempuan sekedar mesin reproduksi anak, pelayan seksual suami. Apalagi pernyataan ini dilanjutkan dengan menyebutkan bahwa jika pemain sepakbola yang dinaturalisasi itu beragama Islam maka bisa dinikahkan dengan empat perempuan,"ujar Veryanto dalam keterangannya, Kamis (6/3/2025).
Selain itu, pernyataan Dhani juga dinilai merendahkan martabat Indonesia dengan rasisme karena seolah kualitas laki-laki pesepakbola dari luar negeri memiliki sifat genetik yang lebih baik daripada dari Indonesia.
"Kalimat rasis tampak dalam penekanan agar naturalisasi tidak kepada yang “bule” karena ras Eropa yang berbeda," jelas Veryanto.
Pernyataan Dhani juga, menurut Veryanto, berpotensi melanggar hak asasi perempuan, mencederai citra, kehormatan, dan kewibawaan DPR, khususnya Komisi X yang mengawal bidang pendidikan.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendorong Majelis Kehormatan Dewan (MKD) untuk memeriksa kasus ini lebih lanjut.
"Pemeriksaan perlu dilakukan oleh MKD untuk memperkuat kewibawaan DPR RI dengan memastikan peristiwa serupa tidak berulang kembali,"tegas Veryanto.
Menambah Daftar Pemimpin Seksis
Di negeri yang masih kental budaya patriarki ini, kasus seperti Ahmad Dhani bukanlah yang pertama terjadi.
Masih segar dalam ingatan, saat kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, beberapa kandidat terjebak dalam pernyataan bersifat diskriminatif dan seksis.
Salah satunya dikeluarkan Calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut 1, Suswono, yang dalam sebuah acara kampanye menyarankan pemuda pengangguran untuk menikahi janda kaya.
Calon Gubernur Jakarta nomor urut 2, Dharma Pongrekun, juga pernah mengatakan keberadaan guru perempuan di Taman Kanak-kanak turut mempengaruhi anak untuk menjadi bagian dari komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).
Tak hanya di Jakarta, Wakil Gubernur Banten terpilih, Dimyati Natakusumah juga pernah mengatakan agar perempuan jangan diberi beban berat, terutama menjadi gubernur.
Pernyataan tersebut dilontarkannya dalam debat perdana Pilkada Banten, Rabu, 16 Oktober 2024.
Mengakar di Lembaga Negara
Praktek dan pernyataan seksisme dan patriarki tidak hanya datang dari para pemimpin, tapi juga ternyata mengakar kuat di lembaga-lembaga negara.
Berdasarkan penelusuran TheStanceID, ditemukan sejumlah situs web dan program pemerintah daerah yang masih menggunakan nama-nama yang tampak mengobjektifikasi perempuan.
Salah satunya, situs web layanan kesehatan pemerintah daerah Cirebon. Situs itu diberi nama Sipepek, yang dalam bahasa Indonesia biasa digunakan untuk merujuk pada alat kelamin perempuan.
Pemerintah setempat mengklaim situs tersebut dinamai berdasarkan kata dalam dialek lokal yang berarti "semua tersedia." Namun, itu tetap tak menampik fakta ketidakpekaan mereka terhadap sensitivitas terkait seksisme dan pelecehan seksual.
Ada juga pemilihan nama Simontok untuk aplikasi pemantau stok pangan milik Pemerintah Kota Surakarta, Jawa Tengah, serta Siska Ku Intip untuk sistem integrasi komoditas dan peternakan di Kalimantan Selatan.
Di Kota Tegal, ada program yang menyasar pekerja rentan, namanya Mas Dedi Memang Jantan.
Nama itu menuai kecaman dari masyarakat karena dianggap melanggengkan konsep patriarki tentang maskulinitas. Apalagi, saat program diluncurkan pada 2022, kota itu dipimpin Wali Kota Dedy Yon Supriyono.
Pemilihan nama itu tentu saja seolah melestarikan budaya patriarki dan seksisme yang sudah mengakar kuat di masyarakat.
Kekerasan terhadap Perempuan
Ahmad Dhani dan para calon pemimpin daerah itu boleh saja berdalih bahwa pernyataan mereka hanya candaan tidak serius. Padahal, di era media sosial, sikap negatif dari seorang figur publik bisa cepat menyebar dan membentuk opini publik.
Jika hal semacam ini dibiarkan, generasi muda akan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Maka, jangan heran bila di jalanan, perempuan sering mendapat pelecehan berupa suitan atau kata-kata godaan (cat calling), hingga pelecehan fisik.
Sikap semacam itu juga bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk kesetaraan dan keadilan gender, seperti termuat dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 terkait penetapan ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Tujuan 5.
Jika pemimpin terus menerus menunjukkan sikap yang tidak sensitif gender, ini dapat memperburuk budaya permisif terhadap kekerasan dan diskriminasi. Apalagi, kondisi perlindungan perempuan di Indonesia masih jauh dari kata ideal.
Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah serius di Indonesia.
Pada tahun 2024, tercatat lebih dari 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Angka ini naik 10% dari tahun 2023.
Bagaimana Melawan Seksisme ?
Melawan seksisme tentu tidak mudah, terlebih jika kita hidup di tengah-tengah masyarakat patriarkis. Hal ini menjadi tanggung jawab pria maupun wanita.
Kesetaraan gender hanya bisa dicapai jika pria dan wanita bekerja sama untuk menciptakan perubahan. Pria harus dilibatkan dalam diskusi tentang gender dan diajak untuk menjadi sekutu dalam perjuangan melawan seksisme.
Mengutip artikel Seksisme dalam Politik oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teras, isu seksisme dalam politik terlihat ketika kandidat menggunakan narasi yang merugikan perempuan, di mana perempuan dianggap tidak setara dengan laki-laki.
"Hal ini berarti bahwa seksisme adalah sikap verbal merendahkan salah satu gender melalui pernyataan yang membedakan peran atau kebiasaan antara perempuan dan laki-laki"
Oleh karena itu, publik bisa melawan seksisme dengan memegang sikap bahwa: meski laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan kodrati, tetapi tidak lantas membuat salah satunya lebih penting dan lebih unggul dalam menjalankan fungsi sosial.
Jika dua hal tersebut sudah terinternalisasi, maka praktek seksisme bisa kita lawan, baik di rumah, sekolah, lingkungan kerja, maupun di tengah-tengah masyarakat.
Peran laki-laki di sini juga sama pentingnya dengan perempuan dalam melawan seksisme. Karena bagaimanapun juga, perbaikan posisi dan situasi perempuan di masyarakat akan menguntungkan semua elemen masyarakat.
Dimulai dari rumah, orang tua juga perlu sejak dini mengajarkan dan memberi contoh kepada anak-anak mengenai nilai-nilai kesetaraan dan menghormati perempuan. Pengajaran yang sejalan tentu juga harus dilakukan di sekolah.
Tentunya yang lebih penting adalah aturan hukum yang ketat dalam hal perlindungan perempuan serta para pemimpin yang memiliki sikap mendukung kesetaraan gender melalui tindakan nyata dan kebijakan yang berpihak pada perempuan. (est)
Untuk menikmati berita peristiwa dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.