Jakarta, TheStance – Ada yang berbeda dari pengambilan rapor anak sekolah di semester 1 tahun ajaran 2025/2026 ini. Pemerintah mengimbau para ayah meluangkan waktu untuk mengambil rapor anaknya di sekolah.
Imbauan ini tercantum dalam Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2025 tentang Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah yang diterbitkan Wihaji, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN)
Penerbitan edaran itu karena sekitar 25% anak Indonesia tumbuh tanpa figur ayah (fatherless).
"Surat edaran ini dibuat untuk menjawab suasana kebatinan masalah kurangnya kehadiran sosok ayah bagi anak-anak. Data kami menunjukkan sekitar 25% anak Indonesia fatherless," kata Wihaji dalam keterangannya, Jumat (19/12/2025).
Sebelumnya, guna mengatasi krisis fatherless di Indonesia, Wihaji juga pernah mengeluarkan edaran 'Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah' pada Juli 2025.
Surat edaran menteri itu ditujukan kepada kepala daerah di seluruh Indonesia. Mereka diharapkan bisa mengeksekusi gerakan "Ayah Ambil Rapor" itu di wilayah masing-masing.
Tingkatkan Peran Ayah dalam Tumbuh Kembang Anak

Wihaji berharap surat edaran itu bisa meningkatkan peran ayah dalam tumbuh kembang anak.
"Kami buat surat edaran ayah mengambil rapor agar ayah mengetahui hasil studi anak-anaknya. Sekaligus anaknya senang ayahnya hadir. Ini sangat ditunggu anak-anak," katanya.
Menurut Wihaji, salah satu penyebab utama fenomena fatherless adalah masih kuatnya persepsi di masyarakat bahwa pengasuhan anak merupakan tanggung jawab ibu
"Anak dipersepsikan sebagai tanggung jawab ibu mulai dari masa kehamilan hingga dewasa, sementara ayah dianggap bertanggung jawab hanya dari sisi ekonomi," Kata Wihaji.
Padahal, peran ayah sangat krusial membantu perkembangan anak baik dari sisi psikis, emosional, maupun batin.
Selain itu, faktor seperti perceraian, pekerjaan, hingga kematian turut memperparah fenomena fatherless di Indonesia. Di kota-kota besar misalnya, orang tua yang bekerja seringkali kesulitan untuk membagi waktu dan perhatiannya kepada anak.
Fenomena ini membawa berbagai dampak serius bagi perkembangan anak.
Berdasarkan data UNICEF pada 2021, sekitar 20,9% anak Indonesia kehilangan peran dan kehadiran ayah dalam kesehariannya. Sedangkan data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) Maret 2024, melaporkan anak Indonesia yang fatherless ini sekitar 15 juta, atau setara 20,1% dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun.
Dari 15 juta anak fatherless, sebanyak 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah. Sedangkan 11,5 juta anak tinggal bersama ayah dengan jam kerja lebih dari 60 jam per minggu atau lebih dari 12 jam per hari.
Ini menunjukkan adanya kesenjangan signifikan peran pengasuhan oleh ayah.
Pemkot Depok Minta Ayah Datang ke Sekolah Ambil Rapor Anak

Surat edaran menteri ditindaklanjuti pemerintah daerah. Salah satunya pemerintah lota Depok, Jawa Barat.
Wali Kota Depok, Supian Suri, mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 400.3/871/Disdik/2025 tentang Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI).
Salah satu poin dalam SE tersebut adalah mengimbau para ayah untuk mengambil rapor anak ke sekolah.
SE ditujukan kepada seluruh komponen masyarakat, aparatur pemerintah, serta karyawan swasta di wilayah kota Depok yang memiliki anak usia sekolah.
Pelaksanaan Gerakan Ayah Mengambil Rapor ke Sekolah dimulai pada Desember 2025, dengan menyesuaikan jadwal penerimaan rapor di sekolah masing-masing.
Dampak Anak Tumbuh Fatherless

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Rahmat Hidayat, mengatakan ketidakhadiran figur ayah berdampak pada perkembangan psikologi hingga sosial anak.
Ketiadaan figur ayah bisa mempengaruhi pembentukan rasa percaya diri, hingga kesulitan dalam membentuk identitas diri.
"Banyak keluarga masa sekarang yang mengalami ketidakhadiran ayah karena faktor pekerjaan yang menuntut mobilitas tinggi," katanya.
Rahmat menjelaskan, setidaknya terdapat tiga proses utama pembelajaran dalam perjalanan tumbuh kembang seorang anak yakni observasional, behavioral dan kognitif.
Ketiganya membutuhkan sosok kehadiran peran ayah sebagai role model.
Negara Punya Peran Atasi Fatherless

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Sumatera Utara (USU), Agusmidah, menilai imbauan pemerintah soal peran ayah dalam pengasuhan ini indah dalam wacana, tapi harus diikuti kebijakan konkret.
Misalnya, saat ini di Indonesia cuti laki-laki terkait urusan anak. Cuti hamil dan melahirkan hanya untuk perempuan, tidak untuk laki-laki.
Agusmidah mencontohkan kebijakan negara-negara Skandinavia. Di sana, cuti hamil dan melahirkan selama 5 bulan tidak hanya untuk perempuan. Laki-laki yang istrinya hamil juga sama mendapat cuti lima bulan, agar bisa mendampingi istri.
Ini contoh bagaimana negara mengdopsi paradigma pengasuhan oleh ayah dan ibu dan menurunkannya dalam kebijakan (policy) yang mengikat.
Ketika paradigma itu diadopsi dalam bentuk peraturan hukum, maka perusahaan tidak bisa menolak dan harus memberikan izin cuti kepada ayah untuk urusan keluarga.
Negara dengan demikian mengatasi fenomena fatherless tidak dengan wacana, melainkan dengan policy.
“Tanpa ada dasar [hukum] yang mengatur, maka perusahaan dapat menolak. Himbauan ini indah dalam wacana. Namun, dilematis bagi laki-laki yang ingin berperan sebagai ayah teladan tapi justru harus mengorbankan penghasilannya,” kata Agusmidah. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance