Jakarta, TheStance - Rancangan Undang-undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) menjadi pertaruhan besar Indonesia dalam menjawab tantangan krisis iklim.
Pasalnya, isu iklim kini tidak lagi sebatas climate change (perubahan iklim), tetapi telah berubah menjadi climate crisis (krisis iklim) yang membutuhkan langkah cepat dan terukur.
Oleh karena itu, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Mohammad Eddy Dwiyanto Soeparno menargetkan RUU itu rampung akhir tahun ini untuk mempercepat transisi dari energi fosil menuju energi ramah lingkungan.
“Sekitar 60% energi listrik kita masih berasal dari batu bara. Bahkan di Jawa Barat, dalam radius 150 kilometer dari Jakarta, ada enam PLTU [Pembangkit Listrik Tenaga Uap] batu bara yang menyuplai energi sekaligus menambah polusi,” ujarnya, Selasa (30/9/2025).
Pernyataan politisi yang akrab dipanggi Eddy Soeparno itu disampaikan dalam diskusi “Peran Strategis Parlemen dalam Aksi Iklim: Kolaborasi untuk Masa Depan Indonesia” di ruang delegasi MPR RI, Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta.
Acara tersebut dihadiri Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Putri Zulkifli Hasan, dan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Dominic Jermey.
Selain itu, hadir juga Direktur Center for Regulation and Governance (CPRG) Mova Al Afghani dan Direktur Eksekutif Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES) Paul Butar-Butar.
Makin Relevan di Tengah Target Pertumbuhan 8%
Dalam diskusi yang dimoderatori peneliti dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Choky Ramadhan itu, Eddy menilai kebutuhan transisi energi juga semakin mendesak di tengah geliat ekonomi Indonesia yang terus bertumbuh.
Target pertumbuhan ekonomi 8%, lanjut dia, perlu ditopang oleh aktivitas produktif dari sektor industri, manufaktur, hingga pembangunan pusat data dan gedung perkantoran baru. Semuanya berujung pada lonjakan kebutuhan energi.
Karena Indonesia masih sangat bergantung pada sumber fosil, yang memiliki efek samping berupa gas buang (emisi), kondisi ini berimbas langsung pada kualitas udara di kota-kota besar.
Jakarta, misalnya, kerap mencatat Air Quality Index di atas 150 yang dikategorikan tidak sehat. Karena itu, pola bisnis seperti biasa (business as usual) sudah tidak bisa diterapkan, melainkan harus menggunakan pendekatan crisis management.
Selain polusi udara, masalah sampah juga ikut memperburuk keadaan. Setiap tahun, Indonesia menghasilkan sekitar 56 juta ton sampah, mayoritas berasal dari rumah tangga dan pasar, dengan dominasi plastik sekali pakai yang sulit terurai.
Hal ini memperparah keadaan darurat iklim yang ditandai dengan suhu ekstrem dan bencana banjir saat musim kemarau.
Eddy melanjutkan, pemerintah telah menargetkan pembangunan pembangkit energi terbarukan dengan total kapasitas mendekati 70 gigawatt (GW) untuk 10 tahun mendatang.
Dengan belajar dari negara-negara seperti Finlandia, Belgia, dan Inggris, Indonesia dinilai mampu mengoptimalkan potensi energi hijau asalkan kebijakan dijalankan secara konsisten.
EBT Perlu Subsidi dan Payung Hukum
Terkait dengan hal itu, Eddy menilai Indonesia perlu lebih banyak memberikan subsidi untuk energi terbarukan, dan bukan hanya kepada energi fosil seperti Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Kalau kita bisa memberikan subsidi untuk energi fosil, kenapa tidak kita arahkan subsidi itu untuk energi terbarukan? Sumber pembiayaan tersedia, dan peluang kita sangat besar,” ujar dia.
Oleh karena itu, MPR tengah memfokuskan pembahasan Undang-Undang EBT yang ditargetkan selesai sebelum akhir 2025, dilanjutkan dengan revisi Undang-Undang Migas.
“Saya berharap bahwa di masa sidang, mulai tahun 2026, sudah mulai bisa dilakukan pembahasan itu. Karena kita membutuhkan payung hukum yang kuat, yang konsisten, untuk kita melakukan transisi energi dengan baik, melakukan penanganan terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang saat ini dibutuhkan, termasuk memberikan perlindungan bagi mereka yang terdampak masalah perubahan iklim,” tegasnya.
Ia juga merujuk Pasal 28 Hak Asasi yang menjamin hak setiap warga negara untuk hidup di lingkungan yang bersih dan sehat, serta Pasal 33 Ayat 4 yang mewajibkan pembangunan ekonomi berorientasi pada keberlanjutan dan lingkungan hidup.
“MPR sebagai penjaga gawang konstitusi memiliki kewenangan untuk memastikan amanat ini terlaksana,” ujarnya.
Baca Juga: Kelangkaan BBM di SPBU Swasta, Pemerintah Diduga Sengaja Ciptakan Kondisi Monopoli
Beriringan dengan itu, Fraksi PAN di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga telah mengusulkan agar pembahasan Undang-Undang Pengelolaan Perubahan Iklim masuk agenda prioritas.
Menurutnya, keberadaan undang-undang terkait pengelolaan perubahan iklim sangat penting karena Indonesia tengah menghadapi krisis iklim yang tidak memungkinkan pembangunan dijalankan dengan pola lama.
“Krisis ini harus dikelola dengan pendekatan crisis management, salah satunya melalui percepatan pembahasan undang-undang pengelolaan perubahan iklim,” tegasnya.
Krisis Iklim Bisa Gerogoti 25% Perekonomian
Duta Besar Inggris untuk Indonesia Dominic Jermey menilai krisis iklim sejatinya adalah krisis energi yang nyata dan berdampak serius bagi Indonesia.
Dari sisi ekonomi, perubahan pola hujan dan suhu bahkan berpotensi menekan perekonomian Indonesia, yang dihitung dari Produk Domestik Bruto (PDB), hingga 25% pada sejumlah komoditas.
Ia menekankan pentingnya kepastian hukum guna menarik investasi hijau, sesuai dengan komitmen global transisi energi.
Inggris, menurutnya, menjadi contoh karena memiliki mekanisme hukum yang mengikat, yang mewajibkan pemerintah menurunkan emisi setiap lima tahun untuk mencapai target net zero pada 2050.
“Inggris kini lebih tangguh menghadapi gejolak harga energi global karena sudah mandiri energi berkat pembangunan energi terbarukan,” jelasnya.
Inggris menjaga kestabilan harga energi melalui kontrak jangka panjang serta dukungan platform inovasi seperti Mentari yang berfokus pada baterai tenaga surya.
Sinkronisasi antara target-target iklim global dengan kebijakan domestik juga dianggap krusial agar dapat diterjemahkan menjadi investasi yang bankable.
Menurut Jermey, kerja sama internasional, termasuk dengan Indonesia, perlu diperkuat agar transisi energi berjalan adil, inklusif, dan berkelanjutan.
“Kesempatan ini harus dimanfaatkan sekarang, demi anak cucu kita. Saya yakin kita bisa mencapainya,” pungkasnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance