Jakarta, TheStanceID – Kebrutalan anggota Polisi dalam melanggar tatanan memasuki babak baru. Seolah semakin percaya diri, mereka go international dengan memeras warga asing di ajang Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024.
Selama ini, publik disuguhi berbagai pelanggaran di tubuh Polri yang dilakukan secara masif dari kroco hingga bosnya (seperti Ferdy Sambo). Mulai dari korupsi, aksi bunuh sesama anggota, suap dan pemerasan, hingga pembunuhan di luar jalur hukum.
Namun, kasus-kasus tersebut terjadi di tingkat lokal dengan korban sesama anak bangsa, khususnya rakyat biasa. Sanksi administratif hingga pemecatan sudah dijatuhkan, tapi seolah tak ada efek jera. Pelanggaran serupa terus terjadi.
Kini anggota Polri memasuki babal baru, dengan go international, dalam aksi pemerasan terhadap pengunjung DWP. Tak hanya mencoreng nama Polri, citra pariwisata Indonesia pun mereka hancurkan, jadi bulan-bulanan warga dunia.
Setelah kasus DWP viral, Polri bertindak dengan melakukan pemeriksaan internal. Hasilnya, Komisaris Besar Donald Parlaungan Simanjuntak dipecat karena terbukti terlibat dalam kasus pemerasan polisi terhadap warga negara Malaysia di acara DWP.
Sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) mantan Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya itu dijatuhkan usai sidang pelanggaran Kode Etik dan Profesi Polri (KEPP) yang dijalankan secara maraton pada Selasa (31/12/2024) sampai Kamis (02/01/2025) di Gedung TNCC Mabes Polri.
Sidang etik juga memutuskan memecat dua polisi lain yakni Eks Kasubdit III Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya AKBP Malvino Edward Yusticia dan Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya AKP Yudhy Triananta Syaeful.
Ketiganya mengajukan banding atas putusan tersebut.
Sebagai informasi, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri sebelumnya menggelar sidang pelanggaran kode etik terhadap 18 anggota polisi yang diduga terlibat kasus pemerasan terhadap sejumlah warga Malaysia penonton konser DWP.
Sebanyak 45 warga Malaysia diduga menjadi korban pemerasan saat menonton DWP 2024. Kadiv Propam Polri Irjen Abdul Karim mengatakan barang bukti dalam kasus dugaan pemerasan kepada warga Malaysia tersebut mencapai Rp2,5 miliar.
Pembiaran Kombes Donald
Kepala Biro (Karo) Penerangan Masyarakat (Penmas) Hubungan Masyarakat (Humas) Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan Donald terbukti membiarkan atau tidak melarang anggotanya yang melakukan pengamanan disertai pelanggaran.
"Pada saat pemeriksaan terhadap orang yang diamankan tersebut telah melakukan dengan permintaan uang sebagai imbalan dalam pembebasan atau pelepasan," kata Trunoyudo dalam keterangannya, Kamis (2/1/2024).
Dua bawahan Donald, yakni Malvino maupun Yudhy berperan mengamankan penonton konser DWP yang diduga melakukan penyalahgunaan narkoba. Mereka juga meminta uang sebagai syarat pembebasan.
"Pada saat pemeriksaan terhadap orang yang diamankan tersebut telah melakukan permintaan uang sebagai imbalan dalam pembebasan atau pelepasannya," jelasnya.
Sebelumnya Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto juga sudah mencopot 34 anggota satuan reserse narkoba buntut kasus pemerasan yang dilakukan kepada penonton DWP 2024 asal Malaysia.
Mutasi terhadap Perwira Menengah (Pamen), Perwira Pertama (Pama) hingga Bintara itu tertuang dalam Surat Telegram ST/429/XII/KEP.2024 tanggal 25 Desember 2024 untuk menjamin kelancaran pemeriksaan.
Viral di Media Sosial
Kejadian pemerasan terhadap Warga Negara Asing (WNA) yang mengikuti konser DWP terungkap usai viral di media sosial. Para penikmat pesta asal Malaysia itu ramai-ramai menyuarakan pemerasan yang mereka alami lewat media sosial.
Salah satu yang menggaungkan kabar ini adalah pemilik akun X @Twt_Rave dengan menyebar beberapa cuitan pada Selasa (17/12/2024) yang berisi pemboikotan terhadap DWP.
“DWP 2024. RM9 Juta duit pau terkumpul,” tulis akun itu. “DWP 2024. Checkout hotel pun polisi tunggu,” tulis akun itu di unggahan berikutnya.
Pengalaman lain juga diceritakan pemilik akun Instagram @ez.rawr yang berkomentar pada salah satu unggahan Instagram @djakartawarehouseproject.
“Mereka pergi untuk menghentikan pasangan lain secara ACAK, tanpa alasan, dan membawa mereka keluar. (Sedangkan) lima dari mereka (polisi) mengawal,” ujar dia.
Unggahan itu kemudian dipenuhi komentar bernada marah. Ada yang mengaku dipelototi oleh polisi saat asik berjoget. Beberapa ditarik oleh polisi untuk digeledah, dites urin dan berujung diperas.
Imbasnya, mereka mengatakan tak mau lagi datang ke DWP dan akan lebih memilih datang ke festival musik serupa di negara lain.
“Tidak akan pernah lagi. Merasa sangat tidak aman setelah mendengar cerita negatif tetapi meminta suap. Mengerikan. Tidak akan pernah kembali ke DWP dan saya akan pergi ke sebuah festival di Thailand sebagai gantinya,” tambah pemilik akun Instagram @ez.rawr.
Tetap Dipalak Meski Urin Negatif
Seorang warga negara Malaysia bernama Amir Mansor (29 tahun), menghabiskan waktu hampir 2 malam di kantor Polda Metro Jaya karena termasuk yang ikut dibawa dalam razia tersebut.
Dikutip dari BBC Indonesia, meski sudah dites urin, dan hasilnya negatif, Amir mengeklaim bahwa dia dan delapan orang temannya diminta membayar Rp800 juta untuk bisa bebas.
"Padahal tidak ditemukan barang bukti apapun pada kami. Kami harus membayar Rp800 juta, walaupun hasilnya negatif, kami tetap harus bayar," jelas Amir.
Amir menawar nominal uang yang harus dibayarkan. Akhirnya, mereka membayar sekitar RM100.000 (sekitar Rp360 juta).
Dana itu mereka kirimkan ke rekening pribadi seseorang berinisial MAB, seorang pengacara yang ditunjuk polisi sebagai pendamping hukum Amir dan teman-temannya.
"Ada beberapa yang diperlakukan lebih buruk dari kami. Ada orang Taiwan yang ditaruh di sel karena kantor mereka sudah penuh dengan kami," ungkap Amir yang akhirnya dibebaskan pada Minggu (15/12/2024) siang.
Rugikan Pariwisata Indonesia
Atas kejadian ini, Ismaya Live, selaku penyelenggara DWP membuat pernyataan yang isinya menyesalkan kejadian tersebut.
“Meskipun beberapa aspek dari situasi ini berada di luar kendali langsung kami, kami sepenuhnya memahami dampaknya terhadap Anda,” tertulis pernyataan resmi yang diunggah akun Instagram Djakarta Warehouse Project, Kamis (19/12/2024).
Tindakan polisi itu juga dikecam oleh warganet Indonesia karena dianggap "memalukan negara" dan membuat kebobrokan institusi itu "go international."
Detil pemerasan tersebut di beberapa media asing, salah satunya World of Buzz yang berbasis di Malaysia.
Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana bersuara keras, dengan menuding peristiwa memperburuk citra negatif Indonesia yang tengah berupaya mempromosikan diri menjadi destinasi wisata kelas dunia.
"Kementerian Pariwisata menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan dan dampak yang ditimbulkan dari peristiwa ini," katanya kepada pers.
Pemerasan Berkedok Razia
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menduga tindakan sewenang-wenang polisi ini dilakukan secara terorganisir, di mana terindikasi ada alur komando, tes urin, melalui beberapa tahapan.
"Ini jelas dilakukan secara terorganisir," kata Bambang pada TheStanceID.
Menurut dia, modus pemerasan lewat razia semacam ini sudah menjadi rahasia umum di satuan narkotika. Hanya saja, kasus-kasus sebelumnya tak sampai viral di publik.
"Modus pemerasan yang terjadi di DWP ini hanya puncak gunung es. Kasus seperti itu sangat banyak, hanya saja karena ini korbannya melibatkan WNA, banyak yang bisa bersuara dengan leluasa," kata Bambang.
Namun selama ini, Bambang menilai tak ada pengawasan dan penindakan terhadap personil yang melakukannya. Akhirnya, praktik ini menjadi modus aparat untuk terus mencari uang tidak halal untuk memperkaya diri.
"Kalau Divisi Propam benar-benar serius menjadikan ini sebagai momen pembenahan, harus dibuka secara transparan," tuturnya.
Masyarakat Berhak Tolak Tes Urin
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan polisi telah berbuat sewenang-wenang dengan memaksa penonton DWP melakukan tes urin secara acak hingga menahan mereka.
Razia semacam itu bertentangan dengan pasal 75 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, di mana penggeledahan dan tes yang berbasis sampel dari urin, rambut, atau darah, hanya boleh dilakukan dalam konteks penyidikan.
Dalam penyidikan pun, kata Maidina, polisi harus memiliki dua alat bukti sebagai dasar penggeledahan dan tes urin. Selain itu, penggeledahan harus dilakukan dengan izin pengadilan dan tidak bisa dilakukan secara acak.
"Di izin tersebut harus dijabarkan apa bukti permulaan yang cukup," kata Maidina.
Dalam kondisi tertentu, aparat memang diperbolehkan menggeledah tanpa izin pengadilan, tetapi dalam kondisi di mana seseorang tertangkap tangan menguasai narkotika.
"Kalau dibilang tindak pidana narkotika, tanya mana bukti narkotikanya? Ditemukan atau tidak? Kalau dibilang untuk pencegahan, tanya juga surat perintah untuk melakukan penggeledahan itu mana?" paparnya.
Ketika tindakan itu disebut sebagai pencegahan, maka masyarakat bisa menolak dengan mengatakan: "Saya tidak tertangkap tangan menggunakan narkotika, saya tidak tertangkap tangan memegang narkotika."
Kalaupun seseorang akhirnya melakukan tes urin secara sukarela dan hasilnya positif, Maidina mengingatkan bahwa hasil tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar penahanan atau pemenjaraan seseorang.
Terjadi di Tiap Proses Hukum
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Girlie Ginting menyebut pemerasan dapat terjadi di setiap tahapan proses hukum, mulai dari penangkapan, penyelidikan, tuntutan, hingga vonis hakim.
Ia mencontohkan kasus dugaan pemerasan oleh jaksa berinisial EKT di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, kepada keluarga tersangka kasus narkoba pada januari 2023. Ketika itu, jaksa diduga memeras keluarga korban sebesar Rp80 juta.
Sementara, di proses penangkapan dan penyelidikan, polisi kerap memanipulasi warga dengan mengancam akan mengenakan pasal dengan sanksi hukuman paling berat di UU Narkotika.
Misalnya, pasal 112 dan 114 yang menyasar bandar, pengedar, atau kurir dengan ancaman hukumannya 12 tahun penjara. Padahal, semestinya pengguna narkotika dikenakan pasal 127 yakni sanksi rehabilitasi.
Namun di tahap penuntutan, jaksa disebut menawarkan pengubahan pasal yang didakwakan. Lalu di persidangan, hakim diduga memberi tawaran pengguna narkotika apakah mau dikenakan vonis ringan atau berat.
Padahal, sudah ada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2010 yang menjadi panduan hakim dalam memutus perkara penyalahgunaan narkoba. Edaran itu mengharuskan pecandu menerima sanksi rehabilitasi medis dan sosial.
"Tidak banyak yang menggunakan SEMA itu, bahkan hakim jarang merujuk surat edaran tersebut," jelas Girlie. "Hal itu memberi ruang untuk aparat memanfaatkan pengguna menjadi ladang uang." (est)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.