Selasa, 19 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Serakahnomics: Komitmen Kebangsaan atau Jargon Berulang di Sidang Tahunan?

Pertanyaan terbesarnya: pidato politik tersebut apakah seperti yang sudah-sudah: hanya berakhir sebagai gema retorika di parlemen untuk membuai rakyat yang kian jenuh dengan realita. Atau, akankah berujung pada aksi nyata yang berani, konsisten, berkeadilan dan berkelanjutan?

By
in Headline on
Serakahnomics: Komitmen Kebangsaan atau Jargon Berulang di Sidang Tahunan?
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraan perdana di Sidang Tahunan MPR RI serta Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI di Gedung Nusantara, Jakarta, Jumat (15/8/2025). (Sumber: https://www.ksp.go.id/)

Jakarta, TheStance – Bukan sekadar seremoni kenegaraan, Sidang Tahunan MPR 2025 pada Jumat (15/8/2025), menjadi panggung Presiden Prabowo Subianto "jualan" misi kebangsaan untuk melawan apa yang disebutnya sebagai 'Serakahnomics.'

Kampanye tersebut muncul berbarengan dari tiga poros utama kekuasaan yakni Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Ahmad Muzani, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani, dan Prabowo.

Ketiganya, dengan gaya dan penekanan berbeda, kompak menyuarakan pesan ke publik: agenda pembangunan nasional dan visi Indonesia Emas 2045 terancam oleh kerakusan segelintir elit yang mengkhianati semangat reformasi dan konstitusi.

Namun, tentu saja, setan dari persoalan tersebut masih berkutat di detil. Siapa elit yang mereka maksud? Bagaimana mereka akan memeranginya? Sadarkah mereka bahwa para elit itu ada di pusaran lembaga masing-masing?

Ahmad Muzani membuka diskursus dengan mengingatkan kembali publik pada agenda reformasi yang belum tuntas.

Baginya, pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) bukan lagi pilihan, melainkan keharusan mutlak yang diamanatkan sejarah melalui Ketetapan MPR. Ia secara lugas menyebut korupsi sebagai pengkhianatan terhadap kemerdekaan.

“MPR mengajak semua elemen bangsa meneguhkan kembali komitmen terhadap agenda pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 dan TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001,” ujarnya.

Berusaha filosofis, dia menilai isu korupsi bukan sekadar kerugian finansial melainkan krisis moral bangsa. “Ia merusak legitimasi negara dan menghancurkan harapan generasi masa depan. Ia menodai ruh kebangsaan kita sendiri.”

Politik Labelisasi dengan Istilah Serakahnomics

Ahmad Muzani

Pidato Muzani kemudian ditimpali Presiden Prabowo dengan memperkenalkan terminologi "serakahnomics", di mana dia tak hanya mengritik sistem, tetapi juga menunjuk langsung perilaku ekonomi yang ia anggap sebagai tindak pidana.

Dia memberi contoh manipulasi beras bersubsidi yang merugikan negara hingga Rp100 triliun per tahun.

“Ada yang mengatakan ada mazhab ekonomi liberal, neoliberal, klasik, pasar bebas, sosialis, ekonomi komando dan sebagainya. Ini bukan. Ini lain. Ini saya beri nama. Serakahnomics. Ini adalah serakahnomics,” kata Presiden Prabowo.

Dalam pidato selanjutnya, Puan Maharani mengontekstualisasikan istilah serakahnomics dengan menunjukkan ironi bagaimana rakyat kecil bekerja keras akibat praktik eksploitatif para konglomerat, baik pelaku tambang ilegal mapuun bandar judi online.

“Presiden Prabowo Subianto menyebutnya dengan istilah tajam, ‘serakahnomics’. Sebuah perilaku serakah yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini adalah persoalan serius yang harus kita hadapi bersama,” paparnya.

Seruan trilateral ini disambut oleh para legislator sebagai sinyal positif, tetapi membutuhkan tindak-lanjut konkret.

Ketua Fraksi Golkar Melchias Markus Mekeng menilai akar di balik serakahnomics adalah lemahnya kemauan politik (political will). Tanpa efek jera yang tegas dari hulu hingga hilir penegakan hukum, retorika anti-korupsi akan berakhir sebagai jargon.

“Harus ada kemauan politik yang kuat, terutama terkait korupsi. Selama tidak ada efek jera, orang akan terus melakukannya. Harus ada langkah strategis dari hulu ke hilir mulai dari polisi, jaksa, hakim, hingga lembaga terkait dan semuanya harus tegas,” katanya.

Kepemimpinan Sebagai Modal Penting

Melchias Markus Mekeng

Mekeng menegaskan bahwa kepemimpinan adalah episentrum dari perubahan ini. Visi-misi sehebat apa pun akan gagal jika pemimpin tidak berani bertindak tegas tanpa pandang bulu.

“Kalau pemimpin tegas memberantas korupsi tanpa tebang pilih, itu bisa berhasil. Siapapun yang bersalah harus bertanggung jawab tanpa memandang kelompok atau kedekatan politik. Kalau pemimpin konsisten menjalankan visi-misinya, tujuan bisa tercapai,” ujarnya.

Sejalan dengan itu, Prabowo dalam retorika politiknya di Sidang Tahunan juga mengeklaim mendapat dukungan politik konkret dari seluruh elemen bangsa, menegaskan bahwa Pasal 33 UUD 1945 adalah benteng ideologis yang menyatukan mereka melawan "serakahnomics."

“Saya yakin seluruh MPR, DPD, DPR akan dukung saya. Saya yakin semua kepala desa di seluruh Indonesia akan bersama saya. Mari kita tegakkan kebenaran dan keadilan... Hanya di dada kita hanya merah putih,” papar Prabowo.

Merespons pidato Prabowo, senator DPD Dedi Iskandar Batu Bara berupaya menempatkan diskursus ini dalam bingkai sejarah yang lebih luas.

Genderang perang melawan KKN yang ditabuh lagi di Sidang Tahunan kemarin menurut dia menegaskan bahwa roh utama Reformasi 1998 masih dipertahankan.

“Pemberantasannya menjadi semangat utama reformasi. Jadi, wajar dan sangat penting untuk terus memerangi perilaku-perilaku tersebut,” tegasnya.

Baca Juga: Pidato Nota Keuangan RAPBN 2026 Prabowo: Antara Klaim dan Realitas

Menurut Dedi, momentum ini harus dijawab dengan perbaikan sistemik. Visi pemimpin yang berlandaskan Ekonomi Pancasila harus didukung regulasi yang kuat dan pengawasan ketat dari parlemen. Di sinilah peran DPR dan DPD menjadi krusial.

“Tugas kita di parlemen adalah melakukan checks and balances. Kita memastikan semua instrumen yang dibangun pemerintah berjalan sesuai jalurnya,” tuturnya.

Sidang Tahunan 2025 menandai konsensus elit politik dalam mendiagnosis penyakit kronis bangsa yakni KKN dan keserakahan, dan memamerkannya di depan publik. Seolah, hal ini baru saja ditemukan dan karenanya perlu dirayakan dengan: eureka!

Pertanyaannya: pidato politik tersebut apakah seperti yang sudah-sudah: hanya berakhir sebagai gema retorika di parlemen, untuk membuai rakyat yang kian jenuh dengan realita.

Atau, akankah berujung pada aksi nyata yang berani, konsisten, berkeadilan dan berkelanjutan? (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance

\