Jakarta, TheStance – Buku-buku kiri, anarkisme, dan tema sejenis lainnya, belakangan marak disita polisi di beberapa wilayah di tengah gencarnya kepolisian mengusut peristiwa demonstrasi berujung ricuh akhir Agustus 2025.
Polisi berdalih penyitaan buku-buku itu adalah agar polisi mendapatkan konstruksi perkara yang utuh. Buku yang disita pun dijadikan alat bukti oleh polisi.
Namun, tindakan penyitaan yang dilakukan polisi ini pun mendapat kritikan sejumlah kalangan dan menjadi tanda bahwa polisi masih ketakutan pada buku dan ide.
Penyitaan Buku oleh Polda Jawa Barat
Polda Jawa Barat memublikasikan sejumlah buku yang menjadi barang bukti kericuhan aksi demonstrasi di Bandung dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Selasa (16/9/2025).
Beberapa buku tersebut disebut memuat teori anarkisme yang diduga menjadi referensi literasi kelompok pendemo anarkistis di Gedung DPRD Jawa Barat beberapa waktu lalu.
Buku-buku itu kemudian ditaruh dan disejajarkan dengan sejumlah barang bukti lainnya.
"Bisa dilihat (buku) ajakan desersi juga ada, dan buku lainnya, tetapi ini semua narasinya setingkat anarkisme," kata Kapolda Jabar Irjen Pol Rudi Setiawan.
Beberapa judul buku yang dipublikasikan antara lain Menuju Estetika Anarkis, Why I Am Anarchist, dan Sastra dan Anarkisme.
Ada pula Buku Pramoedya Ananta Toer berjudul Anak Semua Bangsa. Buku-buku ini tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi ada juga yang dibeli secara online dari luar negeri.
Polisi: Buku Pengaruhi Tindakan Tersangka
Penyitaan buku juga terjadi di Jawa Timur.
Pemicunya, Pos Lantas Waru Sidoarjo dirusak dan dibakar oleh kelompok tak dikenal saat ramai aksi demonstrasi yang berujung kericuhan di Surabaya pada Jumat (29/8/2025) malam hingga Sabtu (30/8/2025) dini hari.
Sejumlah anggota yang berpatroli di lokasi tersebut mengalami pengeroyokan. Sebanyak 18 orang ditangkap atas pembakaran Pos Lantas Waru, termasuk 10 anak berhubungan dengan hukum (ABH).
Dari penangkapan tersebut, polisi menyita 11 buku dari satu pelaku berinisial GLM (24). Buku-buku ini dinilai polisi menganut paham-paham anarkisme.
Sebagai informasi, 11 judul buku yang disita di antaranya adalah "Pemikiran Karl Marx" karya Franz Magnis-Suseno, "Anarkisme" karya Emma Goldman, "Kisah Para Diktator" karya Jules Archer, dan "Strategi Perang Gerilya" karya Che Guevara.
Direktur Ditreskrimum Polda Jatim, Kombes Pol Widi Atmoko, menjelaskan bahwa penyitaan buku bertujuan untuk menyelidiki pengaruh pemahaman narasi buku terhadap tindakan tersangka.
Widi berpendapat, pendalaman terhadap buku bacaan para tersangka ini penting dilakukan untuk mencari motif, pola dan peristiwa kerusuhan yang ditimbulkan seseorang.
"Pendalaman-pendalaman ini penting ya, karena kita ingin menghubungkan ya motif, pola, hubungan ya peristiwa rusuh yang terjadi kemarin. Sehingga ini kita lakukan penyitaan [buku]. Jadi semua yang ada hubungannya dengan tindak pidana atau perbuatan pidana kita lakukan langkah-langkah kejahatan, ya," ucapnya.
Sementara itu, Kapolda Jawa Timur (Jatim) Irjen Pol Nanang Avianto menegaskan bahwa ia tidak melarang pembacaan buku-buku tersebut oleh kalangan profesional sebagai bagian dari pendalaman pemahaman.
“Tetapi kalau kemudian dipraktikkan, berarti kan proses pembelajarannya dari buku itu. Silakan baca buku, tetapi kalau tidak bagus jangan dipraktikkan,” ujar Nanang, Kamis (18/9/2025).
Kontras: Penyitaan Buku Memberangus Kebebasan Berpikir
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya mengritik penyitaan buku sebagai barang bukti untuk menjerat tersangka demo ricuh di Jawa Timur akhir Agustus karena memberangus kebebasan berpikir.
Koordinator KontraS Surabaya, Fatkhul Khoir, mengatakan tindakan polisi yang menyita buku-buku itu merupakan bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat, terutama anak muda, yang gemar membaca dan memiliki pemikiran kritis.
"Buku dijadikan alat bukti ketika itu kan juga gak masuk akal ya. Artinya ini kan menunjukkan ada ketakutan dari pemerintah terkait dengan wacana kritis terhadap anak-anak ini," ujar Fatkhul, Rabu (24/9/2025)
Tindakan semacam ini, lanjut dia, akan menggerus ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat. Ia juga meragukan landasan hukum yang jelas dalam penyitaan buku-buku tersebut.
"Apa kaitannya buku dengan peristiwa? Kenapa pada waktu itu polisi menyampaikan bahwa buku itu memengaruhi pikiran. Nah apakah memang dengan kita membaca, terus kemudian pikiran kita menjadi radikal, kan beda. Nah kalau begitu apa gunanya kampus yang menggunakan banyak literasi?" ucapnya.
"Artinya kalau memang begini kenapa tidak sekalian penulisnya dijadikan tersangka gitu loh. Kalau buku pemikiran itu di situ dipakai untuk bukti tindak pidana kejahatan. Kenapa penulisnya tidak ditangkap?" tambahnya.
Fatkhul juga mengungkapkan di beberapa daerah di Jatim, polisi juga menangkap masyarakat yang mengunggah aksi demonstrasi 29-31 Agustus di media sosial. Mereka juga menyita buku-buku sebagai bukti penetapan tersangka.
"Tidak hanya terjadi di satu tempat. Ada Jombang dan Mojokerto juga, itu kan anak pesantren kan. Dia ditangkap di pesantrennya. Tapi dua ini dikaitkan dengan peristiwa (kerusuhan) Kediri. Satu (dikaitkan) beda peristiwa," ucapnya.
Sejarawan : Harusnya Baca Dulu Isinya
Sejarawan Anhar Gonggong mengritik tindakan polisi menyita buku-buku dari penangkapan para tersangka demonstrasi rusuh pada Agustus 2025 lalu.
Dia mengaku kaget setelah mendengar polisi menyita buku berjudul Pemikiran Karl Max: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme yang ditulis oleh Romo Magnis.
"Nah, saya agak kaget mendengar bahwa polisi menyita beberapa buku dari seseorang termasuk bukunya Magnes, Franz Magnes Suseno. Beliau ini adalah seorang pastor, ahli filsafat. Sekarang masih mengajar di Sekolah Tinggi (Filsafat) Driyarkara, sekolah Katolik yang terbaik," ujarnya dalam siniar terbaru yang tayang di akun Youtube pribadinya, Anhar Gonggong.
Padahal, menurutnya, buku yang ditulis Romo Magnis justru menguliti kelemahan-kelemahan dari pemikiran Karl Marx, filsuf asal Jerman yang dikenal sebagai Bapak Komunisme.
"Judulnya saja dari sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme. Dan yang nulis ini adalah orang yang betul-betul ngerti gitu. Dia orang Jerman yang tapi sudah warga negara Indonesia. Pastor, tahu betul filsafat dan sebagainya," bebernya.
Seakan menyindir, Anhar pun mengingatkan polisi untuk membaca dulu isi buku tersebut sebelum melakukan penyitaan. "Jadi ya tolonglah kalau mau melihat (sita) buku harus tahu isinya juga," ujarnya sembari tertawa.
Anhar Gonggong pun meminta agar tidak ada lagi penyitaan buku baik dari kepolisian maupun pemerintah. "Iya, makanya jangan lagi dilakukan ya. Jadi kalau mau mengambil buku-buku ya harus tahu juga dan sebenarnya enggak ada buku yang bisa disita ya dalam dalam pengertian ilmu ya," katanya.
Penerbit: Berhenti Melakukan Kriminalisasi Pikiran
Menanggapi penyitaan buku oleh polisi, sejumlah penerbit buku yang tergabung dalam Penerbit Independen Indonesia (PII) menilai praktik tersebut sebagai bentuk kriminalisasi pikiran.
Menurut penerbit, puluhan buku yang disita itu juga memunculkan pertanyaan yang tak bisa dihindari yakni apakah penerbitnya kelak juga akan bisa dipidanakan.
"Jika buku diperlakukan sebagai barang bukti, apakah perpustakaan yang menyimpannya juga akan dianggap sarang kejahatan? Dan bagaimana dengan warga yang sekedar membacanya: apakah membaca buku yang sudah disita juga akan dijadikan tindak pidana," tulis penerbit.
Dalam pernyataan sikapnya, penerbit juga mengingatkan bahwa dalam hukum pidana, yang bisa dihukum hanyalah perbuatan. Pasal 1 ayat (1) KUHP menegaskan asas legalitas.
"Membaca, menyimpan atau menerbitkan buku yang beredar sah tidak pernah ditetapkan sebagai tindak pidana. Menarik buku ke meja barang bukti adalah Tindakan yang secara hukum kehilangan dasar".
Lebih jauh, konstitusi menjamin hak warga untuk mencari, memperoleh, menyimpan, dan menyampaikan informasi (Pasal 28F UUD 1945), serta kebebasan berpendapat dan berkumpul (Pasal 28E ayat (3)).
Karena itu, membaca atau menyimpan buku yang beredar legal tidak dapat diperlakukan sebagai tindak pidana.
Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No.6-13-20/PUU-VIII/2010 juga telah mencabut wewenang Jaksa Agung melarang buku dan menegaskan bahwa setiap pembatasan harus melalui peradilan yang ketat, bukan keputusan administrasi atau prasangka visual.
Untuk itu, dalam pernyataan sikapnya, Penerbit Independen Indonesia meminta aparat berhenti melakukan kriminalisasi buku karena buku adalah sumber ilmu pengetahuan, bukan barang bukti tindak kejahatan.
Penerbit juga meminta untuk menghentikan segala bentuk intimidatif terhadap komunitas literasi dan ruang-ruang edukasi alternatif. Termasuk menghentikan seluruh praktik kriminalisasi bacaan yang menyeret pegiat literasi maupun warga biasa, karena hak membaca dan menyimpan buku adalah hak setiap warga negara. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance