Peran (Negara) Indonesia dalam Krisis Palestina: Bisa Apa? [Tulisan 1]

Indonesia perlu meratifikasi 4 konvensi internasional, agar bisa bertindak seperti Afrika Selatan.

By
in Social Podium on
Peran (Negara) Indonesia dalam Krisis Palestina: Bisa Apa? [Tulisan 1]
Aksi demonstrasi pelajar Indonesia mendukung Palestina. https://smkmuhammadiyah5kisaran.sch.id/

Edwin Partogi Pasaribu, aktivis Kontras yang menjadi Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2013-2018, dan kemudian menjadi Wakil Ketua LPSK periode 2019-2024. Dia pernah bergabung di Tim Investigasi lapangan Penembakan Intan Jaya (2002) dan viral setelah berperan penting menjaga saksi kunci kasus Fredy Sambo.


Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 18 September 2024, telah memerintahkan Israel mengakhiri pendudukan ilegalnya atas Palestina dalam 12 bulan ke depan. Pendudukan ini merupakan bentuk kolonialisme yang brutal dan menjadi akar konflik yang terus berlangsung.

Keputusan PBB ini merujuk pada pendapat nasihat dari Mahkamah Keadilan Internasional (Internasional Court of Justice /ICJ) yang menyatakan keberadaan Israel di wilayah Palestina adalah ilegal dan harus diakhiri.

Selain itu ICJ menyatakan tindakan di Israel di Gaza sebagai genosida.

Namun, putusan PBB dan ICJ itu tetap mengundang skeptisisme, karena putusan tersebut sifatnya tidak mengikat. Lebih lagi, terhambat dinamika politik internasional, termasuk dukungan kuat beberapa negara maju terhadap Israel.

Putusan ICJ pada 26 Januari 2024 di Den Haag, tidak dapat dilepaskan dari peran Negara Afrika Selatan (Afsel) yang menggugat Israel atas pendudukan terhadap Palestina dan genosida. Afsel dapat menjadi pihak penggugat karena negaranya telah meratifikasi Konvensi Genosida.

Bagaimana caranya agar Indonesia bisa memimpin peran seperti Afsel? Ada setidaknya 3 langkah yang perlu dilakukan.

Pertama, mengoptimalkan peran Indonesia di forum PBB. Kedua, mengoptimalkan peran Indonesia di dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB. Ketiga, meratifikasi perjanjian hukum internasional penting.

Terkait langkah pertama, Indonesia telah berperan memperjuangkan kepentingan Palestina di berbagai forum dunia, dengan mendorong solusi dua negara (two-state solution), yakni keberadaan negara Palestina yang berdaulat berdampingan dengan Israel.

Meskipun sulit diwujudkan, solusi ini menjadi satu-satunya opsi yang bisa diterima luas secara politik.

Konsistensi Retno Marsudi

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi secara konsisten menyuarakan dukungan Indonesia untuk kemerdekaan Palestina di sidang Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB. Indonesia juga mendukung berbagai resolusi yang mendesak penghentian pendudukan Israel di Palestina.

Melalui Organisasi Kerja sama Islam (OKI), Indonesia menjadi salah satu negara yang diberi mandat untuk memulai tindakan atas nama OKI dan Liga Arab, guna menghentikan krisis Gaza.

Di forum Gerakan Non-Blok (GNB), Indonesia mendorong negara-negara GNB memanfaatkan pengaruhnya dengan mengajak semakin banyak negara yang belum mengakui kedaulatan Negara Palestina untuk segera mengakuinya.

Demikian juga mendorong implementasi efektif resolusi Majelis Umum PBB Nomor ES-10/24 yang menuntut Israel mengakhiri keberadaannya yang tidak sah di wilayah Palestina yang diduduki.

Dari semua negara-negara anggota GNB, hanya Palestina yang belum meraih kemerdekaannya.

Di level regional, meski ASEAN tidak memiliki kebijakan tunggal terhadap Palestina, Retno menyuarakan dukungan Indonesia untuk Palestina di berbagai forum ASEAN dan mendesak negara anggota untuk ikut mendukung Palestina di forum dunia.

Dalam konteks diplomasi multilateral dan bilateral, Indonesia aktif melakukan diplomasi dengan negara besar seperti AS, Uni Eropa, dan negara Timur Tengah untuk mendesak solusi damai bagi konflik Palestina-Israel berdasarkan solusi dua negara.

Absennya Jokowi

Sayangnya, Presiden Jokowi belum menggenapkan diplomasi internasional itu.

Selama menjadi presiden, dia tidak pernah menyampaikan secara langsung sikap Indonesia di Majelis Umum PBB. Jokowi selalu absen. Padahal para pemimpin besar dunia pernah pidato di Majelis Umum PBB ini. Sebut saja Soekarno, Fidel Castro, Nelson Mandela, Yasser Arafat dan lainnya.

Jokowi tercatat hanya 1 kali hadir dalam pertemuan secara virtual pada 2020 karena pandemi Covid-19. Selebihnya di forum ‘muktamar ‘ internasional itu posisi Indonesia diwakili oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla atau Menlu Retno Marsudi.

Padahal, pidato dalam Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memiliki makna penting bagi sebuah negara di mata dunia. Lewat pidato tersebut, Indonesia dapat menyampaikan posisi dan kebijakan nasional terkait isu global, salah satunya kemerdekaan Palestina.

Pidato di PBB tepat untuk menunjukkan komitmen Indonesia terhadap multilateralisme, perdamaian, dan solusi bersama terhadap tantangan global. Ia menjadi kesempatan bagi Indonesia mempengaruhi kebijakan PBB dan proses pengambilan keputusan mengenai isu Palestina.

Forum ini dapat meningkatkan reputasi negara dalam hal komitmen terhadap hukum internasional, HAM, atau diplomasi damai.

Secara keseluruhan, pidato presiden di Majelis Umum PBB mencerminkan posisi diplomatik sebuah negara dan memainkan peran penting dalam mempengaruhi kebijakan serta keputusan internasional, sekaligus memperkuat kerja sama global.

Melalui Dewan HAM

Langkah kedua (untuk berjuang di Dewan HAM PBB) memiliki momentum yang tepat. Indonesia terpilih lagi menjadi Anggota Dewan HAM PBB periode 2024-2026 sehingga bisa memainkan peran penting dalam menyikapi situasi HAM berbagai negara, termasuk Palestina.

Indonesia dapat mendorong pakar HAM nasional menjadi pelapor khusus di Dewan HAM PBB, agar bisa berperan lebih jauh dalam mengatasi problem kemanusiaan di tingkat global.

Selain itu, Indonesia juga bisa menjadi komisi penyelidik ad hoc atas peristiwa khusus, salah satunya menyerukan penyelidikan independen atas dugaan pelanggaran atas hak rakyat Palestina.

Selain fokus pada HAM, Indonesia dapat mendorong bantuan kemanusiaan yang lebih besar bagi rakyat Palestina, terutama bagi mereka yang tinggal di Gaza dan wilayah yang terdampak. Indonesia juga bisa memperjuangkan akses lebih luas bagi organisasi kemanusiaan.

Empat Ratifikasi

Langkah terakhir, yang belum dan perlu dijalankan, Indonesia harus meratifikasi empat konvensi.

Mengutip aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) Usman Hamid dalam diskusi tentang Krisis Gaza di Ruang GBHN Nusantara V MPR (27/09/2024), ada 4 perjanjian yang relevan dengan situasi di Palestina: Konvensi Anti Apartheid, Konvensi Genosida, Statuta Roma, dan konvensi Pengungsi.

Ratifikasi Konvensi Apartheid memungkinkan Indonesia mendesak lebih keras melalui Dewan HAM PBB dan badan internasional lainnya termasuk mendorong penyelidikan independen atas praktik apartheid di wilayah pendudukan Palestina.

Sementara itu, ratifikasi Konvensi Genosida memungkinkan Indonesia menjadi seperti Afsel yang meminta pertanggungjawaban pelaku genosida melalui ICJ.

Ratifikasi Statuta Roma juga diperlukan, di mana Palestina sendiri telah meratifikasinya dan menjadi negara anggota ICC (International Criminal Court/Mahkamah Pidana Internasional) sejak 2015.

Statuta Roma memungkinkan Indonesia menuntut kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan di Palestina, mendukung proses hukum untuk menegakkan keadilan bagi korban di Palestina, dan mendesak tindakan lebih konkret dari komunitas internasional.

Terakhir, ratifikasi Konvensi Pengungsi akan memperkuat legitimasi Indonesia dalam memperjuangkan solusi yang adil dan manusiawi bagi pengungsi Palestina di forum internasional.

Dengan ratifikasi konvensi-konvensi tersebut, Indonesia memiliki instrumen hukum dan moral lebih kuat dalam memperjuangkan hak Palestina baik melalui diplomasi multilateral, penyelidikan internasional, maupun penegakan hukum internasional terhadap pelanggaran yang terjadi.

Pilihan sesungguhnya yang dihadapi dunia adalah antara mendukung HAM dan keadilan untuk semua orang di kawasan, termasuk rakyat Palestina, atau mempertahankan status quo yang memungkinkan pelanggaran terus berlanjut. (bersambung)

\