Jakarta, TheStanceID – Kebijakan perlindungan atas para guru pengajar mendesak untuk diperkuat. Tugas mulia mereka untuk mendidik anak bangsa, tak berbanding lurus dengan remunerasi, dan bahkan rawan akan kriminalisasi.
Supriyani (37) tidak pernah menyangka bahwa dirinya bakal masuk bui, hanya karena menjalankan tugasnya sebagai pendidik.
Guru honorer di SDN 4 Konawe Selatan (Konsel) tersebut sempat merasakan jeruji Kejaksaan Negeri Konsel, Sulawesi Tenggara. Dia menjadi tersangka penganiayaan anak di Polsek Baito karena diduga memukul muridnya yang berinisial D (6).
Orangtua D, yang merupakan oknum polisi di sana, tidak terima dan memproses ke jalur hukum.
Sebelum ditahan, ibu dua anak ini mengaku sempat dimintai uang damai senilai Rp50 juta. Kasusnya kini telah dilimpahkan ke pengadilan karena gaji kecil yang didapatkannya tak cukup untuk membayar itu.
Kasus Supriyani ini kini viral di media sosial dan mendapat dukungan dan solidaritas dari para guru. Para guru di Baito mengancam mogok mengajar jika Supriyani tak dibebaskan.
Para guru berencana turun ke jalan, mengawal sidang perdana kasus guru Supriyani yang akan berlangsung di Pengadilan Negeri Andoolo, Kamis (24/10/2024).

Sudah Sesuai SOP
Kapolres Konsel AKBP Febry Sam menjelaskan dugaan penganiayaan itu dilaporkan di Polsek Baito pada Jumat (26/4) lalu. Dalam prosesnya, ia mengklaim, penyidik telah bekerja profesional.
"Penanganan kasusnya itu sudah sesuai SOP," kata Febry saat jumpa pers di kantornya, Senin (21/10) seperti dikutip Kumparan.
Dalam foto barang bukti yang ditampilkan, terlihat ada sapu dan baju seragam korban. Ada juga foto paha belakang korban yang memar-memar.
Ia menjelaskan, Supriyani dilaporkan langsung oleh Nurfitriana, ibu korban yang merupakan istri Aipda WH, Kanit Intelkam Polsek Baito.
Dalam prosesnya, penyidik sempat melakukan upaya mediasi. Pelapor dan terlapor dipertemukan. Bahkan mediasi dilakukan selama lima kali tetapi tak ada kesepakatan. Dia mengaku tak ada upaya pengajuan uang damai di situ.
"Keluarga korban tidak pernah meminta ataupun membahas dan menyebutkan nominal uang untuk persyaratan atau kompensasi damai," sambungnya.
Karena mediasi tak menemukan titik terang, Supriyani ditetapkan sebagai tersangka pada Senin (21/10/2024). Kepolisian telah memeriksa tujuh saksi sebelum penetapan tersangka dilakukan.
"Empat kali dilakukan mediasi antara orangtua korban dan pelaku, tetapi pelaku tidak mengakuinya. Sehingga orang tua korban melanjutkan laporannya," terangnya.
Sekolah Membantah
Kepala SDN 4 Baito, Sanaali, mengaku tidak mengetahui pasti kronologi kejadian yang dialami salah satu siswanya pada Rabu (24/4/2024) setengah tahun yang lalu. Saat itu, korban masih duduk di kelas 1 SD dan saat ini telah naik ke kelas 2.
"Informasi awal yang kami dapat, anak itu jatuh di selokan. Tapi tiba-tiba saja mengaku dipukul sama ibu guru [Supriyani], luka di paha bagian dalam," tuturnya seperti dikutip Viva.
Namun setelah penelusuran dilakukan dengan meminta keterangan Supriyani langsung, kesaksian sejumlah guru, dan teman-teman korban di sekolah, diketahui bahwa tidak ada penganiayaan.
Beberapa guru bahkan telah memberikan kesaksian yang sama kepada polisi, tetapi tidak digubris.
Sanali berharap masalah ini tidak berlanjut. Apalagi, Supriyani dan pihak sekolah telah berulang kali mendatangi rumah siswa untuk menjelaskan duduk perkara agar tidak berkembang.
"Tujuan semata-mata hanya menginginkan masalah ini tidak berlarut-larut. Kami sudah datang ketemu dan minta maaf atas hukuman tersebut, ternyata jadi ribet," katanya.
PGRI Bersuara
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulawesi Tenggara (Sultra) menyesalkan penetapan Supriyani sebagai tersangka. PGRI menilai ada kriminalisasi terhadap Supriyani dalam kasus ini.
"Menurut saya ini murni kriminalisasi, ini tidak bisa didiamkan, ini kezaliman. Kenapa, karena akan melahirkan ortu baru yang akan sesuka hati dengan guru," kata Ketua PGRI Sultra Abdul Halim Momo dikutip Detik, Senin (21/10/2024).

Halim menemui Supriyani ketika mendekam di jeruji besi di Lapas Perempuan Kelas III Kendari, Senin (21/10) siang. Dari hasil perbincangannya, Supriyani mengaku pernah didatangi penyidik kepolisian agar meminta maaf atas perbuatannya.
"Tapi dia [Supriyani] bilang, 'bagaimana saya mau minta maaf kalau saya tidak melakukan apa-apa?' Katanya kalau minta maaf akan tuntas. Jadi dia dipaksa seakan-akan mengakui kesalahannya padahal tidak pernah dia lakukan," tuturnya.
Selain itu, Supriyani pun sempat dimediasi oleh kepala desa. Namun orang tua terduga korban meminta Supriyani membayar uang damai dan mundur sebagai guru honorer saat dimediasi dengan kepala desa setempat.
Halim pun mengecam keras terkait kasus penahanan itu yang akan berdampak pada penilaian buruk terhadap guru.
"Saya mengutuk keras kasus ini, dan saya berharap jangan ada yang coba main-main dengan kasus ini dan kembalikan sesuai aturan hukum. Kalau guru saya salah, silakan, tapi kalau ada kriminalisasi dia tidak bersalah, jangan dipaksa-paksa," tambahnya.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang Guru jelas-jelas memberikan perlindungan terhadap tenaga pendidik dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat 1:
Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya
Tak berhenti di sana, Pasal 40 mengatur bahwa: “Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing.”
Pasal 41 mempertegasnya: “Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.”
Pasal-pasal inilah yang diabaikan oleh orang tua murid dan juga kepolisian dalam kasus Supriyani. Jika kriminalisasi guru dinormalkan, maka wajar jika para guru mengancam demo dan mogok mengajar.
Tindakan Berlebihan
Advokat independen yang juga mantan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi & Korban (LPSK) Edwin Partogi menilai penahanan terhadap Ibu Guru Supriyani sebagai tindakan yang berlebihan.
"Apa perlu dilakukan penahanan kepada Ibu Supriyani? Apa Supriyani akan melarikan diri, merusak alat bukti atau mengulangi lagi perbuatannya?," ujar Edwin, sebagaimana dikutip dari akun Instagramnya, Selasa (22/10).
Edwin yang aktif sebagai pengacara ini menilai maraknya kasus kriminalisasi guru akibat pemberian hukuman edukatif kepada murid dapat membahayakan sistem pendidikan sebab bertolak belakang dengan cakupan tugas dari profesi guru.

"Mengajar kini bukan hanya tugas mulia, tapi bisa jadi ancaman penjara bagi para guru dengan dalih kekerasan.. Doeloe guru disegani, jaman now murid/ortu siswa sudah pintar ancam gurunya," tambah Edwin.
Ia pun berharap, pemerintah melalui aparat penegak hukum tidak menunggu kasus viral terlebih dulu untuk memberikan rasa keadilan pada masyarakat.
Edwin benar. Mengikuti preseden sebelumnya, kasus ini pun berakhir mengambang setelah sempat viral.
Penyidikan dan proses hukum atas Supriyani tidak dihentikan, tetapi majelis hakim mengabulkan penangguhan penahanan guru honorer mulai Selasa 22 Oktober 2024. Namun pengadilan terus berjalan pada Kamis besok.
Kasus Supriyani menunjukkan ironi di negeri ini soal tenaga pengajar: mereka mengemban misi mulia, gaji tak seberapa, dikriminalisasi pula. (est)