Paradoks Tragis Jimmy Carter dan Ikhtiar Penebusannya

Mengaku salah, Jimmy Carter berusaha mengoreksi paradoks yang diciptakannya. Sebisa-bisanya.

By
in Social Podium on
Paradoks Tragis Jimmy Carter dan Ikhtiar Penebusannya
Sumber: Leonardo.ai

Taher Heringguhir: Alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, mantan wartawan ekonomi dan pasar modal yang kini fokus menulis isu-isu terkait ekonomi makro dan geopolitik Timur Tengah.


Presiden Amerika Serikat (AS) ke-39 Jimmy Carter mangkat pada Minggu (29/12/2024) di usia 100 tahun. Dunia mengenalnya sebagai sosok pertama yang menuding Israel mempraktikkan apartheid di bumi Palestina.

Jimmy menghembuskan nafas terakhir setelah sekitar 22 bulan dirawat di rumahnya di kota kecil Plains, Georgia, AS. Dia menyusul sang istri, Rosalynn Carter, yang berpulang November tahun lalu dalam usia 96 tahun.

Mereka meninggalkan empat orang anak, termasuk pebisnis dan politisi Partai Demokrat John William Carter dan aktivis Amy Lynn Carter.

The New York Times menyebut sosok Carter sebagai “presiden pembawa perdamaian di tengah krisis”. Media kaum kiri AS Jacobin juga menjuluki Jimmy sebagai “sahabat sejati Palestina”.

Sementara itu, CNN menyebut Carter adalah sosok penting inisiatif kebijakan luar negeri yang bertahan lama, termasuk kesepakatan damai Israel dan Mesir.

Lahir dengan nama James Earl Carter Jr pada 1 Oktober 1924, dengan latar belakang pekerja kemanusiaan, Carter menjabat sebagai Presiden AS pada tahun 1977 hingga 1981.

Dia menjadi presiden AS terlama, sebelum digantikan Ronald Reagan, dan berusia paling panjang. Dia juga menjadi mantan presiden Amerika pertama yang menyoroti sistem apartheid Israel di Palestina.

Advokasi Rakyat Palestina

Pada tahun 2006, Carter menerbitkan buku Palestine: Peace Not Apartheid, di mana dia menyamakan pendudukan Israel di Tepi Barat Palestina dengan sistem apartheid Afrika Selatan (Afsel).

Apartheid adalah sistem pemisahan ras yang diterapkan pemerintah kulit putih di Afsel sekitar awal abad ke-20. Carter mendefinisikan apartheid sebagai pemisahan paksa dua bangsa di wilayah yang sama di mana salah satu pihak mengendalikan pihak lain.

Dia menyimpulkan bahwa Israel menciptakan "sistem apartheid" di mana minoritas pemukim Israel memerintah mayoritas warga Palestina yang tidak memiliki perlindungan untuk mengakses hak azasi manusia (HAM) dan hak sipil yang mendasar.

“Salah satu tujuan utama dalam hidup saya, baik saat masih menjabat di politik dan sejak pensiun dari Gedung Putih menjelang pemilihan umum tahun 1980, adalah membantu memastikan perdamaian abadi bagi warga Israel dan warga lainnya di Timur Tengah,” tulisnya di Bab 1 dalam bukunya.

Dia juga menulis, “Warga Palestina harus hidup dalam damai dan bermartabat di tanah mereka sendiri sebagaimana ditentukan oleh hukum internasional.”

Bahkan, Carter menuding sistem apartheid Israel lebih buruk dari Afsel. Narasi itu pula yang disampaikan ketika dia diwawancarai CBS.

"Ketika Israel menduduki wilayah ini jauh di dalam Tepi Barat dan menghubungkan sekitar 200 permukiman satu sama lain, dengan jalan, dan kemudian melarang warga Palestina menggunakan jalan itu, atau dalam banyak kasus bahkan menyeberang jalan, ini memicu contoh keterpisahan atau apartheid, yang bahkan lebih buruk dari yang kita saksikan, bahkan di Afsel."

Sejarah Mengonfirmasi Carter

Selang 18 tahun kemudian, Carter terbukti benar. Dalam beberapa tahun terakhir, realitas suram apartheid Israel digambarkan dengan sangat rinci oleh sejumlah laporan internasional, mulai dari Amnesty International hingga Human Rights Watch (HRW).

Bahkan dalam laporan “You Feel Like You Are Subhuman: Israel’s Genocide Against Palestinians in Gaza”, peneliti Amnesty menyimpulkan kalau Israel sudah dan terus melakukan genosida terhadap warga Palestina di Jalur Gaza yang diduduki.

Aksi Israel menginvasi Gaza, Palestina pada 8 Oktober 2023 telah membawa penduduk Gaza ke ambang kehancuran. Serangan brutal rezim zionis ini menewaskan 45.541 warga Palestina dan melukai 108.338 lainnya, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza per 31 Desember 2024.

Israel juga melakukan serangan langsung atau sengaja tanpa pandang bulu. Sejauh ini 14.000 anak-anak dilaporkan turut syahid menjadi korban keganasan Israel, sementara 4.000 lainnya mengalami cacat permanen.

Menurut Amnesty, Israel menciptakan sistem segregasi etnis yang mengakar kuat di mana warga Palestina dan Yahudi Israel di Tepi Barat hidup di bawah sistem hukum dua tingkat – satu memberikan status khusus kepada para pemukim, sementara satunya lagi merampas HAM dasar warga Palestina.

Pemukim menikmati semua hak istimewa sipil dan perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum Israel — termasuk kewarganegaraan, hak memilih dalam pemilu, dan akses ke pengadilan sipil. Namun, warga Palestina di bawah hukum militer kehilangan semua hak dan perlindungan hukum.

“Meskipun Otoritas Palestina telah didirikan, lebih dari 1.800 perintah militer Israel terus mengendalikan dan membatasi semua aspek kehidupan warga Palestina di Tepi Barat: mata pencaharian, status, pergerakan, aktivisme politik, penahanan dan penuntutan, dan akses ke sumber daya alam," tulis laporan Amnesty International bertajuk "Israel’s apartheid against Palestinians."

Paradoks yang Tragis

Seraj Assi, seorang penulis Palestina yang tinggal di Washington yang menerbitkan buku berjudul My Life as An Alien, menilai warisan Carter di Timur Tengah adalah salah satu paradoks yang tragis.

Disebut paradoks, karena di satu sisi Carter meramalkan bahaya apartheid di Palestina, di sisi lain Carterlah yang membantu mengatur Perjanjian Camp David atau perjanjian perdamaian antara Mesir dengan Israel pada 17 September 1978.

Perjanjian bersejarah antara Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin kala itu justru membuat perdamaian dengan Palestina semakin dianggap tidak perlu, demikian tulis Seraj di Jacobin.

Pasalnya, perjanjian yang disponsori Amerika ini justru semakin mengasingkan Palestina dan memberi Israel posisi di atas angin, sehingga perjuangan kemerdekaan Palestina menjadi fatamorgana yang kian jauh.

Selama pemerintahan Menachem Begin, jumlah pemukiman Israel meningkat lebih dari 3 kali lipat, dan jumlah pemukim Israel meningkat lebih dari 5 kali lipat. Permukiman meluas selama 5 dekade berikutnya, terus menggerogoti impian Palestina merdeka.

Saat ini, ada lebih dari setengah juta pemukim di Tepi Barat, yang tinggal di lebih dari 140 pemukiman Yahudi, selain sekitar 140 pos yang telah dibangun selama 3 dekade terakhir yang bahkan bisa dikategorikan ilegal menurut hukum Israel sendiri.

Di Yerusalem Timur, lebih dari 340.000 pemukim Yahudi tinggal di 14 pemukiman ilegal yang dibangun rezim Israel di tanah dan rumah pribadi yang direbut dari warga Palestina.

“Ini menjadikan total populasi pemukim jauh di atas 700.000 pemukim. Bersama-sama, populasi pemukim mewakili 12% dari orang Yahudi yang tinggal di Israel saat ini,” tulis Seraj Assi.

Sementara itu, sekitar 3,5 juta warga Palestina tinggal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, sebagian besar di balik “tembok apartheid" Israel dan "Jalan Apartheid" yang dibangun untuk melayani pemukim.

Mereka juga tinggal di kota-kota yang dikelilingi blok pemukiman Yahudi dan di balik jaringan jalan terpisah, tembok pemisah, penghalang keamanan, dan instalasi militer.

Tindakan Israel ini bertujuan tidak hanya untuk memecah-belah warga Palestina, tapi juga merampas tanah mereka melalui aneksasi tanah dan penggusuran. Sistem tersebut juga memungkinkan pemukulan, penembakan, pembunuhan, penangkapan massal, pemenjaraan, dan penahanan tanpa pengadilan.

Carter Mengaku Bersalah

Sebetulnya ada kesadaran bahwa Camp David adalah perjanjian perdamaian yang tidak lengkap. Selang 30 tahun setelah meninggalkan Gedung Putih, Carter mengakui bahwa meninggalkan Palestina lewat perjanjian Camp David adalah sebuah kesalahan.

Ketika diwawancarai The Guardian berpuluh tahun lalu, saat jurnalis bertanya apakah Anda menyesal, Carter menjawab “Jika dipikir-pikir, hidup saya selalu dipenuhi berkah, bukannya kekecewaan, kegagalan, dan tragedi.”

“Saya berharap saya terpilih kembali. Saya pikir saya bisa menjaga negara kita [AS] tetap damai. Saya pikir saya bisa mengkonsolidasikan apa yang kita capai di Perjanjian Camp David dengan perjanjian antara Israel dan Palestina. Namun, setelah saya turun dari jabatan, banyak hal berubah.”

Dihantui oleh ‘rasa bersalah’ atas warisan Perjanjian Camp David, Carter muncul kembali ke publik sebagai pejuang kemerdekaan Palestina. Selama bertahun-tahun dia tetap menjadi duri dalam daging bagi pemerintah Israel.

Pada 2016, ia sempat meminta Presiden Barack Obama memberikan pengakuan diplomatik resmi AS kepada negara Palestina sebelum masa jabatannya berakhir. Menurut Carter, tindakan itu akan menginspirasi negara lain untuk mengikuti langkah AS sehingga membuka jalan bagi keanggotaan penuh Palestina di PBB.

Saat ini, Palestina adalah “Negara Pengamat Tetap” di PBB, yang belum bisa ikut pemungutan suara atas rancangan resolusi dan keputusan di organisasi dan badan utama.

Carter percaya bahwa kenegaraan Palestina adalah hak yang tidak dapat dicabut dari rakyat Palestina dan merupakan awal dari keadilan historis. Dia juga terus mendesak AS agar tidak memveto pemungutan suara Dewan Keamanan untuk negara Palestina.

Kepada jurnalis Democracy Now!, Amy Goodman, dia menilai lembaga lobi American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) bukan didirikan dengan niat mencapai perdamaian Israel-Palestina, tapi menyetir Gedung Putih agar melayani Israel.

Indonesia dan Timor Leste

Menariknya, dalam wawancara eksklusif dengan wartawan investigasi Amy Goodman itu, Carter pun menyinggung soal dukungan impor senjata dari AS ke Indonesia dalam konflik dengan Timor Timur (Timor Leste), yang baginya berujung pada penyesalan.

East Timor and Indonesia Action Network (Etan) menulis selama konflik di akhir tahun 1970-an itu, ketika perang dan kelaparan menewaskan lebih dari 200.000 orang, AS memasok pesawat anti-pemberontakan OV-10 Bronco kepada Indonesia.

Konflik itu dikenal sebagai Operasi Seroja, yang dimulai pada 7 Desember 1975 ketika militer Indonesia menyerbu Timor Leste dengan dalih anti-kolonialisme dan anti-komunisme demi menggulingkan rezim Fretilin yang muncul pada 1974.

“Apakah Anda menyesal mengizinkan Indonesia membeli senjata AS saat itu yang merupakan masa terburuk bagi rakyat Timor? kata Amy.

Carter menjelaskan bahwa dia punya kebijakan saat menjabat sebagai presiden untuk tidak memasok senjata jika memperburuk potensi konflik di suatu negara. Tapi saat itu, dia tidak diberi informasi yang menyeluruh.

“Saya tidak diberi pengarahan menyeluruh soal apa yang terjadi di Timor Timur,” ungkapnya.

Jimmy Carter menanggalkan kefanaan dengan citra sebagai pembela Palestina. Alumnus Akademi Angkatan Laut AS tahun 1946 ini berupaya “menebus kesalahannya” dengan melakukan aktivitas kemanusiaan melalui Carter Center sejak tahun 1982.

Lewat lembaga nirlaba ini, Carter berusaha meninggalkan pesan bahwa meski dia bisa salah, setidaknya dia juga berusaha mengoreksi kesalahannya. Sebisa-bisanya, semampu-mampunya.***

\