Oleh Mohamad Hidayah Alfajri, jurnalis muda yang baru saja meraih gelar Sarjana Sastra dari Universitas Diponegoro.

Pada Juli lalu, siang hari di Desa Bentangan, Kabupaten Klaten, digelar upacara peluncuran satu dari deretan program ambisius Presiden Prabowo Subianto yaitu Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP).

Naik ke podium dan disaksikan jajaran serta ribuan kepala desa dari Jawa Tengah, Prabowo menyinggung soal banyaknya kerugian yang dialami petani akibat minimnya akses terhadap fasilitas yang menunjang akibat pendapatan yang rendah.

Dalam pidatonya, Prabowo menekankan Kopdes MP merupakan solusi atas polemik yang mengakar dari desa, mengafirmasi pandangan bahwa program tersebut diharapkan menjadi tonggak ekonomi rakyat.

“Koperasi harus hadir untuk membantu petani, peternak, dan nelayan desa,” ucap Prabowo.

Menggunakan sudut pandang pemerintah, Kopdes MP merupakan wujud dari cita-cita lama. Sebuah keinginan agar kemandirian secara ekonomi tumbuh dari desa.

Tak tanggung-tanggung, jumlah koperasi yang akan dibentuk mencapai 80.000 unit, di seluruh wilayah Indonesia. Total anggaran dari proyek ini mencapai Rp400 triliun, nominal yang setara dengan hampir seperempat dari total APBN tahun 2025.

Sumber pendanaan yang digelontorkan untuk program Kopdes MP tak hanya dari kas negara, tapi juga dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Dana Desa, bahkan dari dana Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).

Di situasi ekonomi yang pelik, keuangan negara yang cekak, serta program unggulan lain yang memerlukan dana jumbo, timbul pertanyaan bagaimana memutar otak untuk mendanai segala keinginan presiden khususnya Kopdes MP?

Ambisi di balik Gagasan Pembentukan Koperasi

Prabowo SubiantoLewat bukunya Paradoks Indonesia, Prabowo menuangkan gagasannya bahwa terciptanya swasembada pangan secara nasional bermula dari masyarakat desa.

Angan Prabowo diwujudkan lewat pembentukan Kopdes MP sebagai instrumen yang diyakini mampu mengentaskan permasalahan dari ranah yang mendasar.

Di atas kertas, Kopdes MP disiapkan untuk mendorong kemandirian ekonomi dari tingkat desa. Namun di atas lapangan, rancangan kemandirian tersebut justru berhulu dari instruksi pusat.

Padahal, prinsip koperasi semestinya bertumbuh dari kesadaran dan kerja sama organik anggotanya, dan bukan dari Instruksi Presiden (Inpres) 9/2025 seperti Kopdes MP.

Produk hukum tersebut menegaskan bahwa konsep koperasi digerakkan dari pusat (top down). Modal dasarnya pun bukan seperti koperasi umumnya yang berasal dari iuran anggota, melainkan dari gelontoran yang diatur Jakarta.

Setiap unit Kopdes MP memiliki kuota dana pinjaman senilai Rp3 Miliar yang dapat diajukan oleh pengurus Kopdes MP dan baru akan dikembalikan setelah dianggap balik modal.

“Koperasi ini bukan dikasih uang, dia dapat plafon kredit, plafon pinjaman. Pertama Rp3 miliar pinjaman, nanti harus dikembalikan,” tutur Ketua Satgas Percepatan Pembentukan Kopdes MP Zulkifli Hasan dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (16/5/2025).

Beberapa hari setelah diangkat jadi menteri keuangan, Purbaya Yudha Sadewa langsung meneken Keputusan Menteri Keuangan 276/2025 sebagai instruksi menggelontorkan Rp200 triliun dari saldo anggaran lebih (SAL) pemerintah.

Baca Juga: Meneropong Efektivitas Gebrakan Menkeu Purbaya Mendongkrak Pertumbuhan Ekonomi

Mengutip Tempo, dana itu disalurkan ke PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT Bank Mandiri Tbk dengan jatah masing-masing bank senilai Rp55 triliun.

Lalu PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) menyusul dengan plafon senilai Rp25 triliun, sementara PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) senilai Rp10 triliun, yang sebagian ditujukan untuk mendukung pembentukan Kopdes MP.

Pada pertengahan September, tercatat 1.064 proposal koperasi yang telah disetujui untuk mendapatkan pinjaman. Sekitar Rp1 triliun telah dicairkan oleh negara.

Penyeragaman Konsep Koperasi Desa Merah Putih

koperasi desa

Tak hanya sumber dana yang didikte pemerintah pusat, format kelembagaan, jenis usaha, serta tata kelola pun diseragamkan melalui Petunjuk Pelaksanaan Koperasi Desa Merah Putih.

Artinya, sebanyak 80.000 koperasi di seluruh Indonesia bakal dipaksa memiliki struktur, model bisnis, dan laporan pertanggungjawaban sama.

Penyeragaman ini seolah ditujukan untuk memudahkan pengawasan, namun konsep ini dikhawatirkan mengabaikan akar permasalahan di komunitas akar rumpu--yang tak mungkin seragam-serta gagal memenuhi kebutuhan kontekstual masyarakat.

Meski disebutkan bahwa pembentukan kepengurusan koperasi melibatkan partisipasi warga desa, dalam praktiknya sangat berpeluang sebagai formalitas administratif.

Format organisasi telah ditetapkan bahkan menjadi celah bagi elit desa. Ruang partisipatif masyarakat hanya sebatas memilih pengurus yang kemungkinan besar sudah ditentukan oleh elit desa.

Konsep ekonomi kerakyatan yang digagas Presiden Prabowo sejauh ini hanya kuat di tataran simbolik, tetapi belum terjamin dalam praktiknya.

Konsep BUMDes yang telah lama hadir di masyarakat seharusnya menjadi dapat diberdayakan atau diperkuat dengan merangkul perangkat desa dan masyarakat.

Keluhan dari Desa

BUMDesBanyaknya kasus BUMDes yang bertumbangan seharusnya menjadi bahan evaluasi. Gagasan Kopdes MP justru memunculkan tumpang tindih peran dengan BUMDes yang telah dikembangkan.

Jika peran BUMDes dan Kopdes MP tumpang tindih, macam distribusi pupuk, pemasaran hasil pertanian atau perikanan, hingga penyaluran kredit mikro, muncul potensi menjadi arena konflik horizontal kelembagaan dan pemborosan fiskal.

Perangkat desa kini harus memikul gagasan pembentukan Kopdes MP yang lahir bukan dari kebutuhan riil masyarakat, menjelaskan bagaimana program prioritas hasil musyawarah harus batal terlaksana karena anggarannya digeser ke Kopdes MP.

“Pusat memang suka mengadu masyarakat dengan pemerintahan yang paling bawah,” tutur Perangkat Desa di D.I Yogyakarta dalam laporan Center of Economic and Law Studies (Celios) berjudul ‘Ko Peras Desa Merah Putih’ yang dirilis Kamis (9/10/2025).

Untuk mengajukan pinjaman ke Himbara, Kopdes MP harus memahami rentetan prosedur sebelum bisa menandatangani perjanjian pinjaman dengan bank.

Salah satu poin yang perlu disorot yaitu penggunaan Dana Desa sebagai opsi untuk melunasi pinjaman jika koperasi mengalami gagal bayar.

Penggunaan Dana Desa yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat, kini harus ancang-ancang dialokasikan sebagai sumber cicilan pelunasan pinjaman jika terjadi kekurangan pembayaran pinjaman.

“Tidak urgent mendirikan Kopdes MP ini. Kami sudah punya BUMDes. Kemungkinan program ini politis,” kata seorang perangkat desa di Bali dikutip Celios.

Risiko Gagal Bayar Mengintai

Diskusi CeliosNarasi membangun ekonomi kerakyatan lewat Kopdes MP ini mendapat sorotan tajam. Celios mengungkap adanya potensi gagal bayar capai Rp85,96 triliun pada program Kopdes MP.

Potensi gagal bayar membayangi perbankan dengan perhitungan modal setara pengusaha UMKM yang memiliki rata-rata kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di kisaran 4-5%.

“Tingkat NPL di atas 4% berarti dari setiap Rp100 triliun pembiayaan, sekitar Rp4 triliun berpotensi macet,” tutur Nailul.

Celios juga memproyeksikan, Kopdes MP dapat memicu penurunan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp9,85 triliun dan pengurangan pendapatan hingga Rp10,21 triliun.

Direktur Eksekutif Celios Nailul Huda juga menyebut adanya opportunity cost sebesar Rp76 triliun yang ditanggung bank Himbara karena harus mendanai pembentukan Kopdes MP.

“Jika dana ini dialokasikan untuk sektor-sektor dengan tingkat pengembalian tinggi maka opportunity cost tersebut bisa berkurang,” ungkapnya dalam laporan bertajuk ‘Dampak Ekonomi Koperasi Merah Putih’ dikutip pada Kamis (9/10/2025).

Setelah bergulir hampir tiga bulan, Kopdes MP masih menjadi gagasan yang rawan. Skema yang dipaksakan berisiko memicu konflik antar lembaga, korupsi oleh elit desa, hingga memukul mundur kemandirian ekonomi desa.

Alih-alih menjadi fondasi swasembada pangan seperti yang dicita-citakan Prabowo, konsep yang top-down justru berpeluang menimbulkan distorsi ekonomi di pedesaan.

Tak berakar pada kebutuhan berbasis komunitas, minim partisipatif serta transparansi, ide Kopdes MP sejauh ini terlihat sebagai simbol dari angan-angan besar yang bergumul dengan persoalan internal yang pelik.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance