Jakarta, TheStance – Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata tahap pertama di Jalur Gaza, pada Rabu (8/10/2025). Kesepakatan itu mencakup pembebasan seluruh sandera israel oleh Hamas dan penarikan pasukan Israel.
Israel menyatakan masih ada 48 orang warganya yang disandera di Gaza, di mana sekitar 20 orang diyakini masih hidup.
Selain pertukaran tahanan, minimal 400 truk yang membawa bantuan kemanusiaan juga akan masuk ke Jalur Gaza setiap hari, selama lima hari pertama gencatan senjata. Penyaluran bantuan itu akan ditingkatkan pada hari-hari berikutnya.
Sedangkan tahap kedua dari rencana perdamaian tersebut menyerukan pembentukan mekanisme pemerintahan baru di Jalur Gaza tanpa keterlibatan Hamas, pembentukan pasukan keamanan yang terdiri atas warga Palestina dan pasukan dari negara-negara Arab dan Muslim, serta perlucutan senjata Hamas.
Rencana tahap kedua itu, yang fokusnya adalah pengelolaan Gaza, dirumuskan terutama oleh Trump dan Israel --tanpa melibatkan Hamas.
Banyak pihak ragu rencana tahap dua itu akan disepakati. Hamas sendiri juga belum menyatakan sepakat.
Dalam rencana tahap dua itu misalnya, Gaza akan dikelola oleh suatu "otoritas Palestina non-Hamas" di bawah pengawasan suatu "Dewan internasional" yang dipimpin Trump.
Dengan kata lain Trump akan menjadi pemimpin tertinggi di Gaza.
Hamas menolak rencana tahap kedua tersebut. Mereka menyatakan sepakat bila tidak lagi memerintah Gaza, dan menyerahkan pengelolaan Gaza ke Otoritas Palestina (Palestinian Authority) yang selama ini memerintah di Tepi Barat, tapi menolak keberadaan "Dewan Internasional" atau apa pun pihak asing yang bisa mengendalikan Gaza.
Sedang Israel sebaliknya juga menolak bila Gaza dipegang oleh Otoritas Palestina di Tepi Barat.
Namun, daripada terus bersitegang soal rencana tahap dua yang implementasinya masih jauh, Israel dan Hamas sepakat untuk fokus di rencana tahap pertama dengan beberapa point penting kesepakatan:
Hamas akan melepaskan semua sandera Israel yang masih mereka tawan
israel akan membebaskan tahanan Palestina dari penjara (meski menolak membebaskan para petinggi Hamas yang ditahan).
Israel akan menarik mundur pasukan dari 50% wilayah Gaaz (tidak menarik total).
Israel akan membuka blokade hingga 400 truk makanan bisa masuk setiap hari, setidaknya di lima hari pertama, hingga warga Gaza yang kelaparan bisa makan.
Kesepakatan tersebut menuai respons dari banyak lapisan masyarakat yang melihat bahwa kesepakatan tersebut memberi jeda bagi warga Palestina untuk ‘menghela napas’.
"Perdamaian" Sepihak ala Trump dan Israel
Sebelumnya, Pada 29 September, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan rencana 20 poin untuk menyelesaikan konflik Gaza. Rencana tersebut di antaranya menyerukan gencatan senjata segera dan pembebasan sandera dalam waktu 72 jam.
Rencana itu turut menetapkan bahwa Hamas dan faksi-faksi lainnya harus melepaskan keterlibatan mereka dalam pemerintahan Gaza, yang nantinya akan dipercayakan kepada “komite teknokrat dan non -politik Palestina” yang diawasi oleh dewan internasional yang dipimpin oleh Trump.
Rencana "perdamaian" ini memang ditetapkan secara sepiha oleh Trump dan Israel, yang poin utamanya membuat Hamas tidak lagi memerintah Gaza, dan Gaza jatuh ke tangan Israel melalui suatu "Dewan Internasional'.
Hamas sejauh ini hanya setuju pada tahap pertama rencana tersebut, sedang bagian lainnya belum menyatakan kesepakatan.
Langgar Gencatan Senjata, Serangan Israel Tewaskan 30 Warga Palestina
Sementara itu, keraguan dan skeptisme akan proses perdamaian jangka panjang antara Palestina dan Israel menjadi beralasan menyusul tewasnya sedikitnya 30 warga Palestina akibat serangan udara Israel sejak kesepakatan gencatan senjata diumumkan rabu lalu. Serangan terjadi hanya beberapa jam setelah penduduk melaporkan kolom asap dan ledakan di wilayah Gaza.
Salah satu serangan paling parah menimpa rumah keluarga Ghaboun di lingkungan Al‑Sabra, Gaza Utara, di mana lebih dari 40 orang terjebak di bawah reruntuhan, menurut pertahanan sipil Gaza.
Mengutip dari CNN, Direktur Rumah Sakit Al‑Shifa, Dr. Mohammed Abu Salmiya mengatakan sejak Rabu malam, total korban tewas mencapai angka 30 orang. Angkatan Pertahanan Israel (IDF) menyatakan bahwa mereka menargetkan sel teroris Hamas yang beroperasi dengan kedekatan terhadap pasukan IDF dan mengancam secara langsung.
Sementara itu, gencatan senjata yang baru diumumkan menjadi sorotan karena serangan ini dianggap melanggar kesepakatan. Warga Gaza sempat berharap akan tercipta masa tenang pascagencatan, namun kenyataan di lapangan berbeda.
Kemlu RI: Gencatan Senjata Buka Jalan Bagi Bantuan Kemanusiaan
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyambut baik dan menyatakan dukungan terhadap upaya gencatan senjata antara Palestina dan Israel. Kemlu berharap gencatan senjata tersebut dapat menghentikan aksi kekerasan yang dilakukan oleh pasukan Israel di wilayah mayoritas muslim tersebut.
"Indonesia menyambut baik gencatan senjata fase pertama di Gaza dan penghentian kekerasan secara permanen," kata Kemlu dikutip dari @Kemlu_RI, Jumat (10/10/2025).
Dengan adanya gencatan senjata dan penghentian aksi kekerasan, Indonesia berharap, akses bantuan kemanusiaan terutama untuk warga Gaza dapat segera dibuka. Sehingga masyarakat internasional dapat memberikan bantuan untuk kembali membangun Gaza.
Kemlu RI juga mendorong masyarakat internasional untuk memanfaatkan momentum perdamaian Palestina sebagai upaya untuk mewujudkan kembali proses negosiasi solusi dua negara yang saat ini telah didukung oleh masyarakat internasional.
"Indonesia mendorong masyarakat internasional untuk memanfaatkan momentum ini guna memulai kembali proses perdamaian di Palestina berdasarkan Solusi Dua Negara, dan mewujudkan berdirinya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. Sesuai resolusi dan hukum internasional," ujarnya.
Selain mengapresiasi negara-negara yang terlibat dalam upaya mendamaikan Palestina dan Israel yang tengah berkonflik tersebut, Indonesia berharap negara pendorong mediasi damai Palestina-Israel yaitu Amerika Serikat (AS), Mesir, Qatar dan Turki dapat mengawal setiap butir kesepakatan gencatan senjata dengan baik.
"Indonesia sampaikan penghargaan atas mediasi yang dilakukan AS, Mesir, Qatar dan Turki, dan tekankan pentingnya pelaksanaan setiap butir kesepakatan gencatan senjata dengan penuh iktikad baik," ungkap Kemlu.
Kirim Pasukan Perdamaian untuk Kawal Gencatan Senjata
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, menilai kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel menjadi langkah awal penting menuju perdamaian permanen di kawasan Timur Tengah.
Ia menekankan perlunya keterlibatan negara-negara lain, termasuk Indonesia, dalam mengawal implementasi kesepakatan tersebut.
“Akan ada pasukan dari negara-negara di Timur Tengah yang akan mengawasi proses ini. Saya berharap Indonesia juga harus siap menyumbang pasukan untuk mengawasi proses perdamaian ini,” ujar Hikmahanto dalam keterangannya.
Menurutnya, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan gencatan senjata ini.
Pertama, keberadaan pasukan penjaga perdamaian dari negara-negara kawasan akan menjadi faktor kunci keberhasilan penghentian perang.
Kedua, dunia internasional akan memantau ketat pelaksanaan kesepakatan ini.
Ketiga, Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump berkomitmen menjamin tidak ada lagi serangan baik dari pihak Hamas maupun Israel.
Ia menambahkan bahwa Trump tampak sangat berkeinginan kuat untuk mewujudkan perdamaian, terlepas apapun motivasi politik di baliknya,
“Yang terpenting bagi kita adalah penghentian serangan ke Gaza.” ujar Hikmahanto
Terkait peran Indonesia, ia mendorong agar pemerintah aktif berpartisipasi dalam tahap awal ini, baik dengan mengirimkan pasukan perdamaian, menempatkan perwakilan dalam pemerintahan transisi, maupun mengerahkan sumber daya BUMN karya untuk pembangunan kembali Gaza.
Israel di Bawah Netanyahu Jadi Kendala Utama Perdamaian
Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla, menilai kendati gencatan senjata memberikan sedikit kelonggaran, perdamaian jangka panjang masih sulit dicapai.
Hal ini dikarenakan Pemerintah Israel yang ultra-konservatif di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu, masih menjadi kendala utama.
Ia pun memperkirakan kebijakan keras terhadap Palestina masih berlanjut.
“Perdamaian belum bisa dicapai dalam waktu dekat, karena yang berkuasa di Israel sekarang ini adalah rezim yang sangat ultra-konservatif. Netanyahu (Perdana Menteri Israel) sekarang ini kebijakannya makin keras terhadap palestina dan mereka ini tampaknya diuntungkan oleh perang sekarang ini,” ujarnya
Dia menilai bahwa faktor-faktor domestik di Israel, termasuk tekanan dari masyarakat dan politisi internal, turut berperan dalam tercapainya gencatan senjata ini.
“Gencatan senjata yang sekarang ini dicapai antara lain juga, karena tuntutan dari dalam Israel sendiri, dari publik Israel terhadap pemerintah Netanyahu sekarang besar sekali, karena Netanyahu dianggap gagal membebaskan 200 warga Israel yang ditawan oleh Hamas,” pungkasnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance