Jakarta, TheStance - Komite Nobel Norwegia pada Jumat (10/10/2025) menganugerahkan hadiah Nobel Perdamaian pada tokoh oposisi Venezuela, Maria Corina Machado, sosok haus darah yang menyerukan perang bahkan ke negaranya sendiri.
Panitia nobel dalam pernyataan resmi menyebutkan bahwa Machado dinilai layak memenangkan hadiah nobel tersebut karena menjaga "api demokrasi tetap menyala di tengah kegelapan yang semakin membesar."
Warga dunia pun ramai dan terbelah karena sosok Machado terhitung kontroversial. Tak kurang dua pemimpin negara terbesar dunia yakni Amerika Serikat (AS) dan Rusia turut memberikan komentar resmi yang menunjukkan ketakpuasannya.
Presiden AS Donald Trump bilang Machado telah menelepon dan berkata bahwa penghargaan itu "didedikasikan" ke dirinya yang menurut Machado, sebagaimana klaim Trump, adalah sosok yang "sangat pantas menerimanya."
Pada hari yang sama, Direktur Komunikasi Gedung Putih Steven Cheung di X mencuit bahwa Trump "akan terus membuat kesepakatan damai dan mengakhiri perang," menuduh Komite Nobel "menempatkan politik di atas perdamaian."
Terpisah, Presiden Rusia Vladimir Putin berkomentar miring. Menurut dia, Komite Nobel berulang kali menganugerahkan hadiah perdamaian kepada mereka yang "tak berbuat apapun untuk perdamaian."
Lalu siapa sebenarnya Machado? Bicara soal perdamaian dan Machado, kita perlu mendengar perspektif dari Venezuela, negara di mana Machado berkiprah sebagai oposan selama 20 tahun terakhir.
Menyerukan Agresi Militer atas Venezuela
Bernama lengkap María Corina Machado, dia adalah seorang insinyur industri yang banting stir ke dunia politik dan kini menjadi pemimpin gerakan oposisi di Venezuela.
Bagi warga Venezuela, Machado adalah sosok pengkhianat. Sejak tahun 2002, Machado sudah mendukung kudeta yang didukung AS terhadap Hugo Chávez, bahkan sempat bertemu Bush saat Washington berusaha menyiapkan pengganti Chávez.
Pada tahun 2014, ia dituduh melakukan konspirasi setelah muncul email yang menunjukkan upayanya mencari pendanaan untuk “menggulingkan Maduro.”
Beberapa tahun kemudian, Machado secara terbuka mendorong intervensi AS tepatnya sejak tahun 2019 saat Juan Guaidó memproklamasikan diri sebagai presiden tapi tak laku di kalangan rakyat Venezuela.
Pada tahun 2023, perempuan yang kini berusia 58 tahun itu memposisikan diri sebagai pemimpin dan pembela gerakan "reformasi yang demokratis," menggantikan Juan Guaidó yang karir politiknya sudah runtuh.
Kementerian Luar Negeri Venezuela secara resmi mengutuk Machado karena dalam beberapa pernyataannya, dia menyerukan AS & Israel "menyerang Venezuela" saat diwawancara media Barat.
Oleh karena itu, menjadi ironi besar ketika mantan wakil presiden Venezuela itu malah dinilai "memberi kontribusi terbesar bagi kesejahteraan umat manusia, pemulihan hubungan antarbangsa, pengurangan angkatan bersenjata, dan pemajuan perdamaian."
Ini ibarat memberikan anugerah bertitel 'presiden paling rendah hati' kepada Trump.
Zionis yang Ingin Kuasai Negeri Anti-zionisme
Machado secara konsisten menyatakan afiliasinya dengan Israel dan bahkan menandatangani perjanjian kerja sama dengan Partai Likud, partai ekstrim sayap kanan Israel, pada tahun 2020.
Dua tahun sebelum itu, Machado meminta Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang kini dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) atas kejahatan perang di Gaza, untuk menyerang Venezuela.
Bahasa yang digunakan di surat resmi yang bikin heboh itu juga ditujukan ke Presiden Argentina Javier Milei itu. Isinya adalah mendesak mereka menggunakan “kekuatan dan pengaruhnya” untuk “membongkar rezim kriminal Venezuela.”
Tak lupa, dalam surat yang sama, dia menyanjung “peran penting Israel di dunia” dan mengungkapkan “harapan agar komunitas Yahudi kembali berkembang di Venezuela.”
Surat itu melengkapi upaya Machado untuk menjilat Israel. Dia berulang kali membandingkan upayanya melawan rezim terpilih sah di Venezuela dengan perang Israel melawan negara-negara tetangganya.
"Perjuangan Venezuela adalah perjuangan Israel," ujarnya suatu kali melalui posting di X, yang menge-tag Netanyahu.
Keberpihakannya kepada Israel telah menuai pujian dari kelompok pro-Israel dan menarik perhatian pengamat internasional yang ingin membangun rezim pro-Barat di Amerika Latin.
Namun di kalangan warga Venezuela, yang dikader mendiang Hugo Chavez untuk anti-imperialisme Barat dan anti-kolonialisme Israel, jualan Machado tidak laku. Sepak terjangnya pun dilawan rakyat dan politisi Venezuela.
Sepak Terjang Machado Melayani Barat
Dalam wawancara Podcast Februari lalu bersama Donald Trump Jr, Machado berjanji akan “membuka potensi tak terbatas Venezuela” bagi investor lewat privatisasi besar-besaran sektor minyak.
Selanjutnya pada Mei, ia secara terbuka memuji kebijakan Trump untuk “melindungi aset energi AS di Venezuela” yakni Chevron.
Machado lalu berjanji bahwa setelah Venezuela “bebas” dia akan membuka pasar, melindungi hak kepemilikan pribadi, dan menjadi “mitra andalan” AS untuk melawan pengaruh Rusia dan Tiongkok di kawasan.
Melihat sepak terjangnya, pengadilan Venezuela pun melarang Machado ikut berlaga di pemilihan presiden 2024 dengan diskualifikasi selama 15 tahun karena terbukti berkonspirasi, yang memicu blokade dan penyitaan aset Venezuela di luar negeri.
Namun dia tak berhenti bernyanyi dan menjilat Israel dan rezim Barat. Pada April 2024, saat Israel menyerang Iran, ia menyebut respons Iran "tidak dapat diterima" dan menyuarakan solidaritasnya dengan negara pendudukan Israel dan para pemukimnya.
Ia menyoroti hubungan diplomatik Venezuela dengan Iran sebagai potensi "risiko global", membingkai sikap pro-Israelnya sebagai bagian dari strategi untuk memperkuat aliansi Venezuela dengan Barat.
Pada Januari 2025, ia berterima kasih kepada Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa’ar atas "dukungannya terhadap kedaulatan dan situasi elektoral Venezuela."
Machado secara terbuka menyatakan bahwa jika terpilih sebagai presiden, ia akan memulihkan hubungan diplomatik penuh dengan Israel, termasuk kemungkinan pemindahan kedutaan Venezuela ke ibu kota Palestina yang diduduki, Yerusalem.
Bukan Blunder Pertama Nobel Perdamaian
Ini bukan kali pertama novel perdamaian dianugerahkan ke sosok atau entitas haus darah alias penyeru perang, menurut riset The Stance.
Pada tahun 2012, Uni Eropa mendapat penghargaan Nobel Perdamaian karena selama enam dekade dinilai memajukan "perdamaian, rekonsiliasi, demokrasi, dan hak asasi manusia".
Realitasnya? Anggota Uni Eropa mengobarkan perang Yugoslavia di tahun 1990-an, sementara program Kemitraan Timur Brussel pada akhirnya memicu konflik dengan Rusia, terutama setelah pergantian rezim di Ukraina pada tahun 2014.
Banyak di antara penerima Nobel Perdamaian diberikan kepada mereka yang tidak atau belum mewujudkan perdamaian apapun, tetapi bergerak menjadi pion kepentingan Barat.
Sebut saja beberapa nama, seperti Narges Mohammadi (Iran, 2023), Ales Bialiatski (Belarus, 2022), Dmitry Muratov (Rusia, 2021), dan Liu Xiaobo (Tiongkok, 2010).
Publik dunia tak tahu siapa dan apa yang sudah mereka lakukan sehingga meraih nobel. Namun satu kesamaan mereka adalah: selalu mengkritik pemerintah mereka, mendukung kebijakan politik dan ekonomi ala Barat, dan tatanan dunia unipolar.
Tak kurang mantan presiden AS Barack Obama menerima Nobel pada tahun 2009, meski dia menambah jumlah peperangan dari empat di awal masa jabatannya, menjadi tujuh pada tahun 2017.
Obama juga memerintahkan serangan pesawat nirawak 10 kali lebih banyak dari pendahulunya (George W. Bush), menjatuhkan 25.000 bom pada 2016 saja, menghancurkan Libya, mengobarkan perang sipil di Suriah dan revolusi brutal "pelangi" di Ukraina.
Nobel Perdamaian Melegitimasi Pendudukan
Ironi terbesar Nobel adalah mereka menganugerahkan Nobel Perdamaian kepada tiga tokoh, yakni Yasser Arafat, Shimon Perez, dan Yitzhak Rabin pada tahun 1994.
Alasannya, mereka bertiga bersedia duduk bersama meneken Perjanjian Oslo yang dinilai sebagai "upaya menciptakan perdamaian di Timur Tengah."
Padahal, Perjanian Oslo justru mengokohkan kolonialisme Israel, menunda isu penting Palestina seperti perbatasan, permukiman, dan pengungsian, sehingga melemahkan inisiatif dan proses pembentukan negara Palestina sampai sekarang.
Indonesia juga pernah merasakan pahitnya Nobel Perdamaian. Pada tahun 1937, Henry Kissinger menyabet penghargaan tersebut meski dialah yang menyebabkan gencatan senjata Vietnam tertunda, sekaligus memperluas perang ke Kamboja.
Kissinger adalah aktor di balik kudeta dan perang sipil di Negara Dunia Ketiga, mulai dari Bangladesh, Chili, Siprus, hingga Indonesia dalam kasus Timor Timur.
Mundur ke belakang, ada Woodrow Wilson yang meraih Nobel pada tahun 1919, atas perannya dalam "menciptakan sistem Liga Bangsa-Bangsa" meski gagal membendung Perang Dunia I, runtuh kurang dari 20 tahun kemudian dan memicu Perang Dunia II.
Sosok yang sama juga menginvasi Haiti, Republik Dominika, dan Meksiko.
Jauh lebih awal, ada Theodore Roosevelt yang menerima Nobel Perdamaian pada tahun 1906. Dia dianugerahi hadiah tersebut karena "mengakhiri perang Rusia-Jepang", sebuah perang yang justru pecah atas peran aktif Roosevelt sejak awal.
Perwujudan Korupnya Nilai Globalis
Kali ini, pemberian Hadiah Nobel Perdamaian kepada Machado juga diterpa kritik keras mengingat Machado adalah gabungan karakter dari para tokoh pro perang yang menerima nobel sebelumnya: politisi, proksi Barat, menyerukan serangan militer.
Profesor Alfred de Zayas, mantan Pakar Independen Persatuan Bangsa-Bangsa PBB untuk tatanan internasional menilai Nobel Perdamaian kali ini merupakan "episode lain dalam kisah panjang korupsi nilai-nilai globalis."
"[Dia] adalah antek AS lainnya, yang mengadvokasi dan mendukung sanksi lebih berat terhadap Venezuela, meskipun tindakan koersif sepihak tersebut menewaskan puluhan ribu warga Venezuela yang tak bersalah karena kekurangan obat-obatan, peralatan medis, dan makanan," kata de Zayas seperti dikutip Sputnik.
Selama 40 tahun terakhir, dia menilai lembaga dunia sudah dikooptasi kaum globalis, termasuk Komite Nobel bersama organisasi lain seperti Organisasi Pelarangan Senjata Kimia, IAEA, dan Mahkamah Pidana Internasional.
"Coba cari tahu saja. Ini sudah menjadi lelucon Orwellian bagi para elit Barat. Praktik Hadiah Nobel Perdamaian sering mengingatkan saya pada 1984 karya Orwell: 'Perang adalah perdamaian, kebebasan adalah perbudakan, ketidaktahuan adalah kekuatan.'"
Profesor tersebut berpendapat bahwa Hadiah Nobel Perdamaian tidak memiliki tujuan yang bermanfaat dan tidak memiliki kredibilitas sehingga harus dihapuskan.
"Penghargaan Nobel adalah tontonan bagi para penyelenggara, dan para pemenangnya jarang yang terbaik," ujar de Zayas.
Baca Juga: Ranjau Misterius dan Judi Online di Balik Rapuhnya Perdamaian Kamboja-Thailand
Presiden The Imagindia Institute, Robinder Sachdev, menilai Hadiah Nobel Perdamaian telah menjadi alat untuk mendorong tatanan liberal Barat.
Alih-alih ikutan berpolitik dengan memberikan Hadiah Nobel Perdamaian kepada politisi seperti Machado, komite Nobel seharusnya bisa menominasikan lembaga dunia yang benar-benar melakukan pekerjaan positif untuk perdamaian.
"Misalnya, saya akan bertanya mengapa bukan badan bantuan UNRWA [Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat], yang telah melakukan pekerjaan luar biasa, tetapi telah disingkirkan dari Gaza," kritiknya.
Meskipun bicara tentang nilai demokrasi, komite Nobel menurut dia tak pernah memberikan penghargaan kepada revolusioner yang berjuang demi kebaikan bersama atau pemimpin perdamaian, melainkan hanya ke mereka yang mengusung agenda Barat.
Oleh karena itu, tidak heran Kedutaan Besar Iran di Venezuela pada Kamis lalu menulis di akun resminya di platform X, mengomentari Hadiah Nobel Perdamaian bagi Machado.
“Pemberian penghargaan ‘perdamaian’ kepada seseorang yang membenarkan genosida di Gaza dan menyerukan agresi militer asing terhadap Venezuela hanyalah bukti lain dari mentalitas Barat yang penuh diskriminasi dan campur tangan dalam urusan negara-negara berkembang. Pilihan ini tidak lain hanyalah ejekan terhadap makna sejati perdamaian.” (ags)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance