Jakarta, TheStance – Ultimatum diberikan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Tak tanggung-tanggung, jika tak lekas berbenah diri, institusi yang dipimpin oleh Djaka Budi Utama itu terancam dibekukan dan kewenangannya dilucuti.
Peringatan keras itu disampaikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyusul kinerja Bea Cukai yang dinilai buruk. Mulai dari korupsi, under invoicing, hingga kualitas layanan publik yang jauh dari harapan.
"Nanti kita lihat seperti apa. Kalau memang enggak bisa perform ya kita dibekukan dan betul-betul beku, artinya 16 ribu pekerja Bea Cukai kita rumahkan," kata Purbaya, di sela acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Selasa (2/12/2025).

Purbaya mengakui citra Bea dan Cukai di mata media, masyarakat, bahkan para pemimpin negara, kurang bagus. Banyak kasus serius melibatkan pegawai Bea Cukai.
Dia telah meminta waktu satu tahun kepada Prabowo untuk membenahi direktorat tersebut. “Saya bilang ke mereka, saya sudah minta waktu ke Presiden, satu tahun, untuk memperbaiki Bea Cukai,” katanya.
Namun, bila batas waktu itu tak terpenuhi, Bea Cukai bakal dibekukan.
Pemerintah, kata Purbaya, akan merujuk pengawasan kepabeanan dan cukai seperti era Orde Baru (Orba), yakni dengan memanfaatkan layanan Société Générale de Surveillance (SGS) asal Swiss.
SGS adalah perusahaan swasta multinasional yang menyediakan layanan seperti Bea Cukai, yaitu inspeksi, verifikasi, pengujian dan sertfikasi ekspor impor barang.
“Seperti zaman dulu lagi. Jadi sekarang orang-orang Bea Cukai mengerti betul ancaman yang mereka hadapi,” jelas Purbaya.
Era Orba, Bea Cukai Pernah Dibekukan

Perlu diketahui, pembekuan Bea Cukai pernah terjadi dan menjadi tonggak reformasi pertama Kementerian Keuangan. Catatan bersejarah itu direkam oleh jurnalis Mochtar Lubis dalam 'Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis' di Harian Indonesia Raya' (1997).
Dalam catatan Mochtar Lubis, ketika itu para pegawai Bea Cukai secara terang-terangan melakukan persekutuan dengan para penyelundup barang. Belum lagi mereka juga santai saat mengurus administrasi.
Pada Mei 1971, saat berkunjung ke kantor Bea Cukai Tanjung Priok, Menteri Keuangan saat itu, Ali Wardhana, melihat banyak pegawai tak becus bekerja. Dia juga menemukan pegawai terlibat dalam kasus penyelundupan barang.
Bagi Ali, situasi ini tak dapat dibenarkan dan membuatnya geram. Padahal, dibanding instansi lain, pegawai bea cukai termasuk kelompok pegawai dengan gaji tinggi. Terlebih saat itu mereka baru mendapat kenaikan hingga 9x gaji.
Akibat permasalahan yang sudah menumpuk, Ali pun mengambil jalan terakhir, yakni pembubaran Bea Cukai.
Pada 1983, ketika menjabat Menko Ekonomi, Ali usul ke Soeharto untuk menutup Bea dan Cukai. Presiden setuju dan merealisasikannya 2 tahun kemudian. Bea Cukai kemudian digantikan oleh Société Générale de Surveillance (SGS) dari Swiss.
Pemerintah memberi wewenang pada SGS mengambilalih tugas Bea Cukai mulai dari memeriksa jenis dan mutu barang, volume, harga, biaya angkutan, nomor pos tarif, tarif bea masuk, dan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sedangkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang asli kewenangannya dipreteli dan hanya melakukan pengecekan saja.
Baca Juga: Dilema Thrifting, Gaya Pakai Baju Bekas tapi Rugikan Negara
Selama pembekuan itu permasalahan di Bea Cukai langsung sirna. Prosedur ekspor impor menjadi lebih mudah, biaya logistik menurun, dan penerimaan sektor kepabeanan melonjak tinggi.
Sampai 12 tahun fungsi Bea Cukai Indonesia dipegang SGS. Baru pada 1997, seiring pengesahan UU Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, kewenangan itu dikembalikan lagi ke Direktorat Bea Cukai.
Bea Cukai Janji Perbaiki Semua Layanan

Menanggapi ancaman tersebut, Dirjen Bea Cukai, Djaka Budi Utama, mengatakan itu merupakan bentuk koreksi terhadap Bea Cukai
"Sejarah kelam 1985 sampai dengan 1995 itu [pembekuan Bea Cukai], kita tidak ingin itu terjadi," katanya usai Pemusnahan Barang Kena Cukai (BKC) ilegal di Kantor Wilayah Bea Cukai Jakarta, Rabu (3/12/2025).
Mantan Anggota Tim Mawar Kopassus ini mengatakan akan memulai pembenahan dari kultur kerja DJBC.
Djaka mengeklaim sejumlah perubahan sudah mulai terlihat sejak proses perbaikan diinternal DJBC berjalan. Salah satu contoh ialah penggunaan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk meminimalkan praktik under invoicing.
“Kita sudah melakukan upaya untuk menghubungkan dengan AI. Jadi alat-alat yang kita punya kita kembangkan dengan AI. Sedikit demi sedikit, walaupun belum sempurna, kita sudah berupaya untuk mengarah ke sana,” kata Djaka.
CELIOS: Selama Ini Banyak Bocor

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan ancaman Purbaya untuk membekukan Bea Cukai sangat berdasar.
Pasalnya, selama ini Ditjen Bea Cukai berkontribusi pada melonjaknya barang impor ilegal dan praktik korupsi yang merugikan industri domestik.
"Bea Cukai Indonesia selama ini banyak bocor soal importasi barang ilegal, kemudian under invoicing komoditas ekspor impor yang sangat merugikan negara. Maka peringatan Purbaya untuk bubarkan Bea Cukai sangat berdasar," kata Bhima dalam keterangannya, Selasa (2/12/2025).
Menurutnya, peringatan dari Purbaya harus dijadikan sebagai titik balik kinerja dan integritas Bea Cukai selama ini. Jika tidak ada perbaikan, menggantinya dengan perusahaan swasta seperti pada masa Orde Baru dinilai sebagai solusi tepat.
Ia mencontohkan, banyak negara yang juga menggandeng swasta dalam masalah Bea Cukai. Misalnya Ghana, Nigeria, Kenya dan Filipina. Tujuannya untuk menurunkan moral hazard dalam pengawasan hingga mencegah praktik suap.
"Tapi perlu dicatat bahwa ada isu soal kedaulatan karena Bea Cukai juga beroperasi di daerah perbatasan dan mengawasi keluar-masuk barang berbahaya," ujar Bhima.
Sementara itu, pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai opsi pembekuan sebagian tupoksi bea cukai bisa jadi cara strategis untuk mengungkit penerimaan negara.
Hanya, menggunakan jasa perusahaan swasta tidak murah. “Apalagi harus menggantikan 16 ribu pegawai DJBC. Di negara lain, salah satu alasan tidak menggunakan pihak swasta adalah biayanya yang terlalu mahal," kata Fajry. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance