Jakarta, TheStanceID - Mereka yang menggunakan aplikasi Telegram tahu betul tema sensitif—yang jarang ditemui di medsos lain—dengan mudah bisa ditemukan di grup atau channel Telegram.
Privilise itu kini terancam hilang karena penangkapan Pavel Durov, CEO Telegram, di Prancis--negara yang membanggakan diri sebagai rahim kebebasan dengan jargon Liberte, Egalite, Fraternite.
Durov ditangkap ketika transit di Prancis pada 24 Agustus 2024. Tuduhan terhadapnya: membiarkan berbagai aktivitas kriminal terjadi di Telegram, dari mulai transaksi keuangan ilegal hingga pornografi anak.
Tapi tidak semua percaya klaim Prancis.
Pasalnya, penangkapan tersebut terjadi di tengah sikap tegas Telegram yang menolak tunduk pada tuntutan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya agar perusahaan media sosial membuka jalur belakang (backdoor) bagi pemerintah.
Sebagai informasi, AS telah memberikan wewenang kepada kepada Badan Keamanan Nasional AS (US National Security Agency/UNSA) dan Biro Investigasi Federal (Federal Bureau of Investigation/FBI) untuk mengakses server perusahaan media sosial (medsos).
Ilustrasi Prism oleh The Washington Post.
Menurut laporan The Washington Post yang terbit 11 tahun lalu, banyak perusahaan medsos tunduk pada tuntutan ini. Medsos yang tunduk juga sangat populer di Indonesia: Facebook, Microsoft, Google, Yahoo!, YouTube, Apple, Skype, dan DropBox.
The Washington Post melaporkan, pemerintah AS memanen data dari server berbagai medsos itu dengan program bernama PRISM, yang dijalankan sejak tahun 2007
Ini jelas pelanggaran privasi.
Telegram Keras Kepala
Untuk urusan privasi pengguna, Telegram dikenal keras kepala. Algoritma Telegram yang dibangun oleh adik Pavel, yakni Nikolai Durov, memiliki enkripsi yang sangat kuat. Para “penegak hukum” kesulitan untuk menembusnya.
Tak seperti media sosial lainnya, Telegram menolak memberikan mereka akses “pintu belakang” untuk menghindari enkripsi tersebut.
Pada 8 Mei 2024, Pavel mengupload pernyataan di akun Telegramnya, mengutip Jack Dorsey, mantan CEO Twitter, tentang peran Signal—sebuah messaging app lain—sebagai “aktivis yang dipakai pemerintah AS” untuk melakukan penggantian rezim di negara lain.
Menurut Pavel, model enkripsi Signal dikembangkan oleh pemerintah AS dengan dana senilai US$ 3 miliar. Kini, model enkripsi yang sama telah dipakai di Whatsapp, Facebook Messenger, Google Message, dan bahkan Skype.
Screen capture postingan Pavel.
Pavel tidak menyodorkan bukti atas tudingannya bahwa Signal diam-diam bekerja sama dengan pemerintah AS. Hanya, dia mengklaim bahwa aplikasi miliknya tidak dikendalikan pemerintah manapun.
“Dalam 10 tahun terakhir, Telegram Secret Chats masih menjadi satu-satunya metode komunikasi paling popular yang bisa diverifikasi sebagai privat,” tuturnya dalam akun resmi tersebut.
Prancis Disorot
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengklaim bahwa penangkapan tersebut tidak memiliki nuansa politis. Menurutnya, Pavel Durov terlibat dalam penyelidikan atas dugaan 12 pelanggaran kriminal.
Beberapa di antaranya adalah pornografi anak, penyelundupan obat terlarang, penipuan (fraud), mendukung transaksi kriminal terorganisir, dan menolak membagi informasi atau dokumen dengan pihak penyelidik ketika diminta secara legal.
Benarkah tidak politis?
Pasalnya, tidak satu pun tuduhan tersebut dilakukan Pavel, Berbagai aktivitas kriminal yang dituduhkan itu dilakukan oleh pengguna Telegram. Karena Pavel bertindak sebagai CEO Telegram, maka Prancis pun menuding bahwa dia membiarkan kejahatan tersebut terjadi.
Jadi, apakah pemilik platform media sosial harus bertanggung jawab secara pribadi atas kegiatan pengguna di aplikasi mereka?
Tuduhan Prancis terhadap Pavel jelas tidak masuk akal. Selain itu, Telegram sebenarnya relatif lebih ketat dalam hal konten palsu dibanding medsos lainnya.
Lucunya, itu terbukti di kasus Macron sendiri.
Ketika postingan palsu tentang Macron dengan aplikasi deepfake viral—menggambarkan dia di usia mudanya sebagai tukang clubbing dengan dandanan menor ala tante pirang—postingan palsu itu justru muncul pertama kali di Facebook dan X, bukan di Telegram.
Politik Salah Tangkap
Lantas, mengapa CEO Telegram yang ditangkap? Mengapa bukan CEO Facebook atau X?
Ryan Hartwig, mantan karyawan Facebook dan penulis buku Behind the Mask of Facebook, menilai bahwa founder media sosial tidak semestinya dianggap bertanggung jawab atas apa yang ada di platform mereka, kecuali mereka mengetahui adanya aktivitas ilegal dan tidak melakukan apa pun untuk menghentikan atau melaporkannya.
Menurutnya,yang terjadi sederhana saja. Prancis ingin menekan Telegram. Mereka hendak melakukan penyensoran, mengakses data privat pengguna, tapi berdalih menjaga keamanan publik.
Bila praktik seperti ini dipertahankan, maka rezim yang berkuasa akan mudah membungkam kebenaran yang tidak sejalan dengan narasinya.
“Kediktatoran bisa mengumumkan sebuah aktivitas politik sebagai ilegal, sehingga langsung mengubah status jutaan postingan politik terkait itu menjadi ‘konten ilegal’,” kata Hartwig sebagaimana dikutip Sputnik.
Dengan kata lain, Prancis ingin Telegram seperti medsos lainya, yang memberi akses kepada pemerintah menerabas privasi pengguna unuk keperluan sensor dan monitor.
Pada titik inilah pendapat Zach Vorhies, mantan pengembang piranti lunak di YouTube menjadi valid. Di era ketika jejak digital bisa membuat orang masuk dipenjara, maka 'privasi’ justru harus dipertahankan.
"Jika perusahaan teknologi terus menyetujui tuntutan pemerintah yang melemahkan privasi pengguna, kita mungkin akan menyaksikan berakhirnya anonimitas digital seperti yang kita ketahui."
Bebas Terobos Privasi
Dari aspek kebijakan publik, penangkapan Pavel Durov ini menunjukkan tegangan yang belum juga berakhir antara ‘Kebebasan Berpendapat,’ ‘Hak Azasi Manusia akan Perlindungan Privasi’, dan ‘Keamanan Publik’.
Aktor yang bersitegang adalah pemerintah dan pengembang teknologi. Dengan dalih melindungi masyarakat dari tindak pidana terorisme dan kejahatan terorganisir, NSA dan FBI merasa berhak mengabaikan privasi warganya
Uniknya, perlindungan atas pribadi tidak diatur secara eksplisit (tersurat), melainkan hanya implisit (tersirat). Agak kurang tegas. Hal ini terjadi di wilayah hukum AS yang sering diidentikkan sebagai "Negeri Kebebasan", maupun di wilayah hukum Indonesia.
Deklarasi Hak Azasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR) yang dirilis pada tahun 1948 hanya memberikan perlindungan hukum atas 'hak mendapatkan privasi' secara implisit:
No one shall be subjected to arbitrary interference with their privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honor and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.
Disebut implisit, karena privasi tak disebutkan sebagai hak melekat semua orang, tak bisa diganggu gugat. Di situ hanya disebutkan bahwa seharusnya tidak ada yang mengalami gangguan terkait privasi. Hal ini memicu penafsiran: jika privasi diterabas demi alasan lebih besar maka diperbolehkan.
Bandingkan dengan hak atas kehidupan, yang disebutkan secara eksplisit atau gamblang. Tidak ada multitafsir, absolut menegaskan bahwa hak untuk hidup itu menempel ke semua manusia:
Everyone has the right to life, liberty and security of person.
Aparat tidak bisa menafsirkan bahwa seseorang boleh dibunuh, tanpa perintah pengadilan, demi “alasan yang lebih besar.” Jika pembunuhan demikian terjadi, maka semestinya berkonsekuensi pidana bagi pihak yang melaksanakan kebijakan tersebut.
Di Indonesia pun, hak atas privasi terkandung secara implisit, bukan eksplisit. Simak Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945:
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Karena multitafsir, Mahkamah Konstitusi (MK) sampai perlu membuat penafsiran hukum atas perlindungan privasi, dalam Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik:
Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, dengan sewenang-wenang, juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran seperti ini.
Lihat pada bagian "...dengan sewenang-wenang." Jika gangguan atas privasi dilakukan oleh aparat dengan prosedur yang dinilai "tidak sewenang-wenang" meski tanpa perintah pengadilan, maka jaminan perlindungan atas privasi langsung hilang.
Pembiaran Aksi Handala
Titik puncak “serangan” rezim pemerintah Barat terhadap Telegram terjadi, bersamaan dengan rencana Handala, kelompok peretas atau hacker asal Iran, yang pada bulan April lalu mengumumkan keberhasilannya menerobos situs militer Israel.
Bagi Israel, ini adalah aksi terorisme. Seperti halnya rezim pendudukan ini menganggap perlawanan Palestina sebagai aksi terorisme.
Sesuai kebijakan Telegram yang memungkinkan pihak manapun membagikan konten di platformnya, Handala pun berencana mengupload hasil retasan tersebut ke akun mereka di Telegram karena mereka tahu bahwa rezim penguasa tak bisa mengakses akun para peretas tersebut untuk memata-matai mereka.
Hal ini berbeda dari raksasa teknologi medioker yang sudah bekerja sama dengan NSA dan rezim-rezim intelijen di beberapa negara. Pembunuhan rezim zionis atas musuh-musuhnya di Palestina, Libanon, hingga Iran sedikit demi sedikit menguak realita tersebut.
Pimpinan Hizbullah Fuad Shukr yang terbunuh oleh rudal Israel pada 30 Juli 2024 di pinggiran Libanon disinyalir terjadi karena Israel berhasil mengidentifikasinya setelah memata-matai aplikasi chat yang dia pakai, dan kemudian dijadikan titik target oleh bom berpemandu.
Demikian juga pembunuhan terhadap pimpinan Hamas Ismael Haniyeh di Teheran, Iran. Terakhir, upaya pembunuhan dengan dipandu GPS seluler yang teridentifikasi lewat aksi mata-mata terhadap aplikasi media sosial tersebut gagal, dan terungkap.
Pada 26 Agustus, seorang komandan Hamas memarkir mobilnya di pinggir jalan Saida, Libanon Selatan. Dia keluar menuju salah satu toko tanpa menyadari bahwa telepon selulernya tertinggal.
Beberapa saat kemudian, saksi mata melaporkan bahwa dua rudal ditembakkan dari drone. Salah satu mendarat di atap gedung dan satu lagi langsung mengenai mobil. Karena tak sengaja meninggalkan telepon selulernya di mobil, dia selamat. Mobilnya terbakar habis.
Aksi mata-mata demikian tidak terjadi, sampai dengan sekarang, di Telegram. Tidak mengherankan jika Handala, kelompok peretas asal Iran kemarin memilih Telegram sebagai platform untuk membagikan data sensitif Israel yang berhasil mereka retas sebagai bentuk perlawanan atas kebiadaban rezim zionis.
Mengiringi pengumuman tersebut, Pavel Durov diundang ke Prancis, dan ditangkap. Perkembangan terbaru, pada 29 Agustus kemarin, Pavel dikeluarkan tetapi tidak bebas. Statusnya bisa dibilang adalah tahanan kota, tak boleh meninggalkan Prancis.
Di bawah cengkeraman pemerintah Prancis, tidak ada yang bisa menjamin bahwa kebebasan Telegram—terutama untuk mengungkap narasi yang berlawanan dengan versi Kubu Barat—masih akan lestari. (ags)