Senin, 04 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Hossam Shabat, Dia yang Terus Bersuara Bahkan dalam Kematiannya

Israel mengebom & membunuh jurnalis Al-Jazeera Hossam Shabat. Surat wasiatnya viral di media sosial.

By
in Human of Change on
Hossam Shabat, Dia yang Terus Bersuara Bahkan dalam Kematiannya
Kolase foto Hossam Shabat, jurnalis Aljazeera yang dibom Israel pada Senin (24/3/2025) di Gaza Utara. (Sumber: https://www.instagram.com/hossam_shbat/)

TheStanceID - Israel membunuh jurnalis Al-Jazeera Hossam Shabat dalam serangan bom terhadap mobil yang dia tumpangi di Gaza, pada Senin (24/3/2025).

Israel menuduhnya sebagai penembak jitu (sniper), dengan merilis daftar excel berisikan nama "tersangka" pasukan Hamas di media sosial, dengan nama Hossam termaktub di dalamnya.

Hossam menjadi jurnalis ke-208 yang dibom Israel. Dia dibunuh tanpa bukti, tanpa peradilan, dan yang lebih buruk lagi: tanpa kutukan dari dunia internasional.

TheStanceID memutuskan mengangkat wasiat yang ditulisnya semasa hidup, sebagai bentuk protes atas pembunuhan Israel yang tanpa henti, tanpa peradilan dan tanpa kutukan terhadap jurnalis Palestina.

Kami juga mengangkat obituari dari salah satu kolega Hossam.

***

Jika Anda membaca ini, itu berarti saya telah dibunuh—kemungkinan besar menjadi sasaran—oleh pasukan pendudukan Israel.

Ketika semua ini dimulai, saya baru berusia 21 tahun—seorang mahasiswa dengan mimpi seperti orang lain. Selama 18 bulan terakhir, saya telah mendedikasikan setiap momen dalam hidup saya untuk orang-orang saya.

Saya mendokumentasikan kengerian di Gaza Utara menit demi menit, bertekad untuk menunjukkan kepada dunia kebenaran yang mereka coba kubur.

Saya tidur di trotoar, di sekolah, di tenda—di mana pun saya bisa. Setiap hari adalah pertempuran untuk bertahan hidup. Saya menanggung kelaparan selama berbulan-bulan, namun saya tidak pernah meninggalkan orang-orang saya.

Demi Allah, saya memenuhi tugas saya sebagai jurnalis.

Saya mempertaruhkan segalanya untuk menyampaikan kebenaran, dan sekarang, akhirnya, saya beristirahat—sesuatu yang tidak saya ketahui selama 18 bulan terakhir.

Saya melakukan semua ini karena keyakinan pada perjuangan Palestina. Saya percaya bahwa tanah ini adalah milik kami, dan kehormatan terbesar dalam hidup saya adalah mati dalam membela dan melayani rakyatnya.

Sekarang saya meminta Anda: Jangan berhenti berbicara tentang Gaza. Jangan biarkan dunia berpaling. Teruslah berjuang, teruslah menceritakan kisah kami—sampai Palestina bebas.

Untuk terakhir kalinya, Hossam Shabat, dari Gaza Utara.

Jurnalis Gaza

Saya ingat pertama kali saya berbicara dengan Hossam—dia adalah orang paling baik yang pernah saya ajak bicara. Selalu rendah hati, selalu peduli, terlepas dari apa pun yang sedang dialaminya.

Ia biasa bertanya tentang saya dan berkata, "Apakah kamu baik-baik saja?"

Dan saya akan menjawab, "Hossam, seharusnya aku yang bertanya apakah kamu baik-baik saja."

Ia akan bertahan hidup berhari-hari tanpa makanan atau air, tetapi ia tetap bertahan. Ia memutuskan untuk tinggal di (Gaza) Utara dan menjadi salah satu dari sedikit wartawan yang melaporkan penderitaan rakyatnya.

Ia bukan sekadar wartawan—ia adalah seorang yang humanis, manusia sejati. Ia membantu rakyatnya—yang lapar, yang miskin, dan yang membutuhkan—dengan segala yang ia bisa.

Meskipun kehilangan rumah dan terpisah dari keluarganya selama 490 hari, ia tidak pernah berhenti meliput, bahkan sedetik pun, dan tanpa sedikit pun rasa takut.

Ketika saya berbicara dengannya sebelumnya, saya katakan kepadanya, “Hossam, mereka ingin membunuhmu. Kau masuk dalam daftar incaran. Sudah cukup—kau sudah melakukan lebih dari cukup. Tolong, tetaplah hidup.”

Ia menjawab, “Aku akan terus melapor. Ini adalah tugas kita, dan ini adalah janji yang kita buat—janji yang akan kita tepati. Dan jika aku menjadi martir, kamu dan yang lainnya akan menjadi suara kita.”

Ia menambahkan, “Satu-satunya keinginanku, jika aku mati syahid, adalah agar tubuhku tetap utuh… agar aku tidak menjadi sekadar sisa-sisa yang tidak dapat dikenali lagi.”

Saya pernah mengatakan padanya, “Ketika genosida berakhir, aku akan datang mengunjungimu.”

Dia menjawab, “Kunjungi aku ke mana? Aku tinggal di jalanan dan di tenda-tenda. Mereka menghancurkan rumahku, dan aku tidak punya tempat untuk dituju.”

Jadi saya berkata, “Kalau begitu aku akan datang dan tinggal bersamamu—di jalan atau di tenda.”

Pesan terakhirnya kepada saya adalah tentang rencananya untuk menikah setelah genosida berakhir, dan tentang pertemuan kami di kemudian hari.

Usianya baru 23 tahun. Ia punya mimpi. Ia punya nama. Ia selalu berkata, "Jika suara kami terbunuh, jadilah suara kami."

Hari ini, aku berjanji padamu, Hossam, bahwa kami akan menjadi suaramu.

Kami akan meneruskan obor yang kau tinggalkan, dan kami akan terus berjuang demi Palestina yang merdeka. Sekarang saatnya kau beristirahat, sahabatku. Aku tidak akan pernah melupakanmu.***

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\