Senin, 04 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Bagai Langit & Bumi: Penjelasan Kenapa di Rusia Tentara Dipuja, di Sini Kagak

Semua karena revisi UU TNI, yang dinilai bakal menggerus tingkat kepercayaan publik pada tentara.

By
in Now You Know on
Bagai Langit & Bumi: Penjelasan Kenapa di Rusia Tentara Dipuja, di Sini Kagak
Demo RUU TNI (Sumber : Amnesty International Indonesia)

Jakarta, TheStanceID - Masuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke ranah sipil berisiko menurunkan public trust atau tingkat kepercayaan masyarakat kepada institusi tersebut, yang selama ini mengungguli kepolisian.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menyebutkan sampai Januari 2025, TNI selalu menempati peringkat tertinggi dalam tingkat kepercayaan publik dalam survei yang dilakukan lembaganya, berkat profesionalitasnya.

"Data saya menunjukkan, justru trust yang tinggi itu akibat TNI selama ini kembali ke barak, karena konsisten menjaga profesionalisme militer. Artinya, kalau TNI ditarik ke urusan sipil itu justru menurunkan public trust kepada TNI," katanya dalam diskusi "Plus Minus Revisi UU TNI", Minggu (23/3/2025).

Menurut Burhanuddin ada sejumlah faktor yang membuat tentara mendapatkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari publik. Ia mencontohkan Rusia di mana profesi tentara mendapatkan posisi prestise di mata publiknya.

Baca juga: Semangat Dwifungsi Hidup Lagi, Personil TNI Bakal Mengisi 15 Lembaga

"Di Rusia ada prestige military service, tentara memiliki prestise di mata publik. Di Rusia tentara dipandang karena mereka dinilai telah menyerahkan nyawanya ke negara. Mereka dianggap telah selesai dengan urusan dirinya sendiri," jelasnya.

Tidak heran, bayarannya pun di atas rata-rata. Mengutip IntelinNews, tentara non-perwira di Rusia meraup 3 juta rubel, atau Rp600 juta, setahun. Angka ini jauh di atas rata-rata upah di Rusia yang hanya Rp13 jutaan/bulan atau Rp170 juta dalam setahun.

Di Indonesia, pendapatan Rp600 juta setahun itu baru diterima oleh tentara yang berpangkat perwira, mengacu pada laporan CNN Indonesia mengenai gaji dan tunjangan TNI.

Selain itu, tambah Burhanudin, persepsi terhadap ancaman juga menjadi salah satu faktor publik percaya pada tentara. "Misalnya, rakyat Taiwan trust kepada tentaranya karena adanya ancaman serangan yang tinggi dari Tiongkok."

Di Indonesia, masyarakat percaya dan menaruh hormat kepada TNI karena mengantisipasi bahaya laten Partai Komunis Indonesia (PKI) dan maraknya intervensi asing seperti kasus separatisme di Papua.

Setop Sekuritisasi Isu Sipil

Agus Widjojo - Tempo

Mantan Gubernur Lemhanas periode 2016-2022, Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo mengingatkan semua pihak agar semua urusan atau isu tidak dikaitkan dengan pertahanan.

Ia berkaca pada isu kekeringan dan ketahanan pangan (food estate) yang bukan ranah militer tapi dimiliterisasikan. MIliterisasi isu-isu sipil inilah yang kemudian menjadi alasan dilibatkannya TNI dalam mengatasi problem di masyarakat.

"Jangan semuanya cepat dikaitkan dengan pertahanan. Semuanya akan menuju ke pertahanan kalau negara ini sudah ambruk, itu yang namanya sekuritisasi isu-isu sipil. Biarkan itu di batas sipil, biarkan itu diperbaiki dan disembuhkan oleh kebijakan pemerintah, kecuali nanti memang tidak bisa diatasi lagi," ujarnya.

Ia mengakui, memang ada jabatan-jabatan di lembaga sipil yang memerlukan kompetensi dan spesialisasi militer sehingga dimungkinkan jabatan sipil itu diisi oleh militer/TNI aktif.

Misalnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

"Jadi sebetulnya jabatan-jabatan yang bisa ditempati TNI aktif adalah jabatan-jabatan sipil, bukan lembaga-lembaga sipil dan itu masuk ke dalam OMSP [Operasi Militer Selain Perang]," jelasnya.

Hal itu, menurut Agus Widjojo, dimungkinkan karena sesuai dengan kaidah, tentara itu dikendalikan Presiden sehingga bisa digunakan untuk keperluan apapun selama dalam koridor kepentingan nasional.

Baca juga: Amnesty: RUU TNI Bawa Indonesia Menjauh dari Demokrasi Menuju Otokrasi

Untuk itu, Ia menekankan pentingnya kontrol Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar kewenangan Presiden dalam mengomandoi tentara tidak disalahgunakan.

"Jangan seperti sekarang DPR menjadi lemah, partai-partainya menjadi satu dengan eksekutif, tidak ada kontrol saat ini. Masalahnya kontrol itu menjadi nol," keluh Agus yang saat ini menjabat sebagai Dubes RI untuk Filipina.

Bertentangan dengan Supremasi Sipil

Yuddy Chrisnandi, Anggota Komisi 1 DPR Periode 2004-2009

Guru Besar Ilmu Ekonomi Politik Universitas Nasional Yuddy Chrisnandi mengritisi revisi UU TNI yang memperluas keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan sipil karena bertentangan dengan prinsip supremasi sipil.

Ia menegaskan bahwa negara-negara maju tidak menerapkan dwifungsi militer dan kepolisian dalam pemerintahan sipil. "Selama TNI dan Polri dilegalkan dalam lembaga sipil, supremasi sipil tidak akan berlaku dalam konteks negara modern."

Menurutnya, konsep supremasi sipil berkaitan erat dengan indeks demokrasi dan daya saing negara. "Jika cara berpikir kita tidak menyesuaikan dengan parameter negara demokratis, akan sulit bagi Indonesia untuk menjadi negara industri maju."

Yuddy menilai seharusnya jabatan sipil yang bisa diisi oleh perwira aktif TNI dikurangi, bukan malah ditambah. Padahal, dominasi militer dalam sektor politik dan bisnis di era Orde Baru menjadi salah satu alasan utama tuntutan reformasi nasional.

"Setelah 27 tahun reformasi, seharusnya peran TNI dalam jabatan sipil semakin berkurang, bukan bertambah," jelasnya.

Mantan Anggota Komisi 1 DPR (2004-2009) ini mengaku tidak kaget dengan hasil revisi UU TNI yang jauh dari supremasi sipil mengingat hanya beberapa orang di Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR yang memiliki pemahaman tentang sejarah UU TNI.

"Dengan segala hormat teman-teman saya di DPR, kalau saya perhatikan yang masuk Panja ini saya pikir, hanya 2-3 orang yang memahami proses dan sejarah reformasi nasional yang menghasilkan UU Nomor 34 Tahun 2004. Yang lain mungkin baru dan tidak memiliki kaitan historis kenapa ada UU TNI ini," kata Yuddy.

Reformasi Polri Lebih Krusial

Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator

Burhanuddin mengingatkan profesionalisme militer menjadi variabel yang sangat signifikan dalam memengaruhi kepercayaan publik terhadap tentaranya.

"Kalau masyarakat semakin percaya dan setuju TNI harus harus menjaga jarak dengan politik, justru trust dan confidence dari masyarakat meningkat," katanya.

Sayangnya, kata Burhanuddin, DPR dan politisi justru menjadikan kepercayaan atau trust rakyat yang tinggi terhadap TNI sebagai justifikasi untuk memberi karpet merah TNI boleh masuk dalam urusan politik.

"Padahal, data saya menunjukan sebaliknya. Justru trust yang tinggi itu karena selama ini TNI konsisten kembali ke barak dan menjaga profesionalitasnya," jelasnya.

Di luar revisi UU TNI, Yuddy mengingatkan ancaman selanjutnya atas supremasi sipil yakni dari institusi kepolisian. Apalagi, sejumlah persoalan di Polri disinyalir menjadi salah satu pemicu di kalangan tertentu untuk melakukan revisi UU TNI.

Dia mencontohkan data yang beredar di mana 59 jabatan sipil saat ini ditempati perwira aktif Polri. Padahal, UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002, telah mengatur bahwa polisi hanya bisa menempati jabatan sipil jika sudah keluar dari dinas kepolisian.

Sebagaimana diberitakan Tempo, usai revisi UU TNI kini UU Polri pun bakalan direvisi. Proses telah dimulai sejak tahun 2024. "Setelah revisi UU TNI, Polri juga perlu memikirkan reformasi kepolisian ," pungkasnya. (est)

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\