Harga Minyak Dunia akan Melonjak Bila Iran Tutup Selat Hormuz, Ekonomi Global akan Terdampak
Perang Iran dan Israel bisa berimbas pada lonjakan tajam harga minyak dunia. Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz, salah satu jalur laut strategis perdagangan minyak. Bila harga minyak naik, Indonesia juga akan merasakan dampaknya.

Jakarta, TheStanceID – Perang antara Iran-Israel pecah sejak Jumat pekan lalu (13/6/2025) dimulai dengan aksi mendadak Israel yang mengirim rudal dan pesawat pengebom ke Iran.
Israel melancarkan serangan udara besar-besaran ke sejumlah lokasi strategis di Iran, termasuk di fasilitas nuklir Natanz dan Isfahan, lewat operasi milter yang diberi nama “Operation Rising Lion”.
Iran kemudian membalas dengan meluncurkan serangan rudal, antara lain ke ibu kota Tel Aviv dan fasiltas nuklir Israel d kota Dimona. Nama sandi yang digunakan Iran, "True Promise III Operation".
Hingga kini, aksi saling mengirim rudal terus berlangsung dan tidak ada tanda-tanda akan mereda. Sebaliknya intensitas serangan terus meningkat.
Perang Picu Harga Minyak Dunia Melonjak
Sejumlah kalangan menilai perang Iran dan Israel bakal berimbas pada lonjakan tajam harga minyak dunia. Pasalnya, Iran merupakan salah satu produsen terbesar minyak dunia.
Pada Jumat, 13 Juni 2025, harga minyak mentah Brent, misalnya, melesat hingga 13% ke level US$78,50 per barel. Meski harga mulai terkoreksi pada Senin, 16 Juni 2025, harga minyak global masih bertahan di level tinggi, yakni US$70,90 per barel atau naik 10% dibanding harga bulan lalu.
JP Morgan memperkirakan harga minyak bisa melonjak hingga US$ 130 per barel jika Iran menutup Selat Hormuz.
Proyeksi tersebut merupakan level tertinggi setelah pada 2022 harga minyak mencapai rekor US$139 per barel imbas serangan Rusia ke Ukraina.
Untuk diketahui, Selat Hormuz menjadi titik penting distribusi karena 20% konsumsi minyak dunia dikirim melalui selat tersebut.
Selat Hormuz menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman. Kapal-kapal tanker melintasi Selat Hormuz untuk memasuki Laut Arab dan Samudra Hindia.
Selain minyak, sekitar 20% distribusi gas alam cair (LNG) juga dikirim melalui Selat Hormuz.
Lantas, apa dampak perang Iran-Israel terhadap Indonesia?
Dua Bahaya Besar Mengintai Indonesia
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan dua bahaya besar mengintai Indonesia imbas perang Iran-Israel.
"Risiko pertama adalah ketidakpastian, harga cenderung naik, seperti harga minyak," katanya dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
Sri Mulyani mencontohkan hari pertama perang langsung mengerek harga minyak global sebesar 9%.
Kenaikan harga minyak itu akan mengakibatkan harga-harga lain ikut naik, mengerek inflasi, dan berdampak pada perekonomian Indonesia.
"Di sisi lain (bahaya kedua), dari sisi perekonomian global akan cenderung melemah ... Itu kombinasi yang harus kita waspadai karena tidak baik," katanya mewanti-wanti.
Sri menjelaskan, dampak keamanan geopolitik yang makin rapuh akan berimbas pada kegiatan ekonomi: ekspor, impor, manufaktur, dan juga aliran modal (capital flow) seluruh dunia.
"Risiko bagi Indonesia dengan global economic melemah, kemungkinan mempengaruhi permintaan terhadap barang-barang ekspor kita," tambahnya.
Belum Berdampak pada Perekonomian Nasional
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai bahwa perang Israel dan Iran dampaknya kecil terhadap perekonomian Indonesia.
Airlangga meyakini bahwa konflik Israel-Iran tidak berdampak signifikan terhadap sejumlah indikator ekonomi, seperti nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Ia menilai potensi lonjakan harga minyak global tetap perlu diwaspadai. Namun, pemerintah akan lebih dulu memantau perkembangan situasi di Timur Tengah, terutama soal pergerakan harga minyak.
"Kalau kami lihat di Timur Tengah, kan transmisinya relatif lambat dan kita lihat bergantung pada harga minyak. Soal harga minyak, tentu beberapa negara punya kepentingan untuk menahan lonjakan harga minyak. Jadi kita tunggu saja," kata Airlangga di kantor Kementerian Perekonomian, Jumat (13/6/2025).
Soal potensi dampak terhadap nilai tukar rupiah, Airlangga menyebutkan imbas konflik tersebut lebih bersifat sentimen, terutama terkait kekhawatiran terhadap ketersediaan pasokan minyak.
Airlangga menegaskan, meskipun situasi di Timur Tengah memanas, transmisi dampak terhadap perdagangan belum signifikan. Tapi isu pasokan minyak tetap menjadi perhatian utama pemerintah.
Subsidi Energi Bakal Meningkat
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menyebut kenaikan harga minyak dunia akan berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia yang masih sangat bergantung pada impor minyak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indonesia mengimpor minyak mentah sekitar 16,88 juta ton pada 2024.
Ia menyoroti, jika tidak ada penyesuaian atau kenaikan harga bahan bakar minyak, maka subsidi energi akan meningkat.
"Dana di APBN akan makin terkuras dan fiskal Indonesia akan makin menurun," kata Nailul kepada TheStanceID.
Subsidi energi tahun ini dianggarkan sebesar Rp 203,41 triliun atau 1,9% lebih tinggi dari realisasi pada 2024.
Angka tersebut menggunakan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) sebesar US$82 per barel dan nilai tukar rupiah 16 ribu per dolar AS. Sedangkan kurs JISDOR per 16 Juni 2025 sudah menunjukkan rupiah berada di level 16.296 per dolar AS.
Nailul menjelaskan, kenaikan harga minyak global biasanya juga diikuti inflasi global. Inflasi tinggi ini bisa memicu resesi ekonomi global yang mana saat ini sudah diprediksi akan semakin turun.
"Dampaknya adalah perdagangan global akan semakin terbatas, permintaan produk dari negara satu ke negara lainnya juga akan berkurang, termasuk Indonesia. Ketika inflasi tinggi pun, bank sentral akan mengerek suku bunga agar dapat mengendalikan inflasi. Akibatnya cost of investment akan semakin mahal. Perputaran ekonomi global akan terasa melambat," jelasnya.
Di sisi lain, ia menilai bahwa Indonesia bisa diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas minyak global ini, karena ekspor minyak dan batu bara akan semakin mahal.
"Namun, kompensasi keuntungan ini biasanya tidak seberapa dibandingkan dengan pembengkakan subsidi BBM yang dikeluarkan oleh pemerintah," katanya.
Untuk itu, Nailul menekankan, pentingnya pemerintah bersikap jeli dalam membaca peluang sekaligus memitigasi dampak ekonomi konflik Iran-Israel. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.