Oleh Zainal Abidin M Sidik, lulusan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang menjadi Direktur Mandiri Amal Insani Foundation. Kini aktif sebagai Faculty Member Program Magister Management (MM) Universitas Prasetiya Mulya dan menuangkan idenya di facebook.

Di negeri ini, setiap kali harga bahan bakar minyak naik atau isu energi mencuat, selalu ada yang tampil membawa kabar gembira: penemuan bahan bakar baru, murah, ramah lingkungan, dan tentu saja “buatan anak bangsa.”

Kita menyambutnya dengan tepuk tangan—seolah mukjizat ilmiah bisa lahir dari dapur rumah.

Kita pernah mengenal Blue Energy di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penyebutan ini hanya sekadar periodisasi, bukan melibatkan sang Presiden.

Menurut sang penemu, air bisa diubah menjadi bahan bakar. Kala itu sempat ada pameran nasional menampilkan inovasi ini, lengkap dengan pujian sebagai karya kebanggaan Indonesia.

Namun, setelah sorotan kamera padam, ilmuwan kampus bicara: air tidak bisa menjadi hidrokarbon tanpa energi yang jauh lebih besar dari yang dihasilkan.

Kenyataan itu sungguh menyakitkan, dan Blue Energy perlahan menghilang—bersama euforia yang dulu mengiringinya.

Ingatlah watak bangsa ini: mudah lupa.

Habis Blue Energy Terbitlah Nikuba

energi air

Dua dekade kemudian, muncul Nikuba di masa Presiden Joko Widodo. Klaimnya mirip: air bisa menggantikan bensin.

Bedanya, Nikuba tidak muncul dari ruang konferensi, melainkan dari media sosial. Ia viral lebih cepat dari penelitian apa pun. Bahkan lebih cepat daripada virus membelah diri.

Kementerian dan lembaga riset menanggapinya hati-hati, mengimbau perlunya verifikasi ilmiah. Tapi publik sudah telanjur jatuh cinta.

Di tengah mahalnya harga energi dan rasa frustrasi pada perusahaan migas besar, siapa yang tak ingin percaya bahwa seember air bisa menjadi solusi BBM murah meriah? Dan, untuk kesekian kali kita kecewa.

Kini, kita menyambut babak baru: Bobibos (Bahan Bakar Original Buatan Indonesia, Bos!). Diklaim memiliki angka oktan setara RON 98, lebih irit, lebih bersih, dan berbahan baku nabati seperti jerami.

Kali ini, konsepnya terdengar lebih masuk akal: bukan air yang disulap jadi bensin, tapi biomassa yang diolah menjadi biofuel.

Namun, seperti biasa, hasil uji laboratorium belum terbuka, sertifikasi belum selesai, dan proses produksinya masih dianggap rahasia dagang.

Pemerintah menyambutnya dengan apresiasi hati-hati, sementara publik—sekali lagi—memeluknya dengan penuh harapan.

Haus Kemandirian tapi Minim Riset

energi terbarukan

Tiga episode ini memperlihatkan satu pola sosial yang menarik: setiap kali krisis energi datang, kita mencari keajaiban, bukan penjelasan. Kita haus pada simbol “kemandirian anak bangsa”, tapi kurang sabar untuk menunggu hasil riset yang nyata.

Di negeri yang lebih mencintai narasi ketimbang data, keajaiban memang lebih laku daripada uji laboratorium.

Blue Energy menjual mimpi lewat negara, Nikuba menjual mimpi lewat media sosial, dan Bobibos menjual mimpi lewat nasionalisme hijau. Ketiganya menumpang pada satu bahan bakar yang tak pernah habis: harapan publik.

Padahal, sains tak bisa diklaim lewat podium. Kebenaran ilmiah lahir dari keterbukaan data, dari verifikasi oleh rekan sejawat, dari laboratorium yang boleh dikunjungi siapa pun. Bukan dari poster yang indah, berita viral, testimoni pejabat, apalagi dari jargon yang berima bagai puisi.

Barangkali kita memang terlalu terburu-buru ingin membuktikan diri sebagai bangsa besar, sampai lupa bahwa kebesaran justru diukur dari ketekunan meneliti, bukan dari kecepatan mengklaim.

Kemandirian energi tidak datang dari mukjizat, tapi dari sistem riset yang berani transparan, pendanaan yang berkelanjutan, dan publik yang mau bersabar.

Selama kita masih mudah terpesona oleh cairan dalam botol yang disebut “inovasi anak bangsa,” kita akan terus mengulang kisah yang sama: harapan membubung tinggi, lalu menguap bersama angin.

Baca Juga: Menimbang Megaproyek Infrastruktur Indonesia: dari Rock n' Roll ke Reality Check

Mungkin, satu-satunya energi terbarukan yang benar-benar tak pernah habis di negeri ini adalah optimisme.

Dan selama hal itu terus menyala, barangkali bangsa ini memang tak akan pernah kehabisan bahan bakar—meski bukan dalam arti yang sungguh-sungguh kita bayangkan.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.