Harun Al-Rasyid Lubis

Oleh Harun Al-Rasyid Lubis. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), alumni KRA 37 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), kini menjadi Ketua Rukun Warga (RW) 16 Kelurahan Sekeloa, Bandung dan aktif di Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC).

NOTE: Tulisan ini terinspirasi dari refleksi Yudi Latif tentang Bintang Mahaputera dan analisis Laksamana Sukardi mengenai “Pancasalah” dan metafora “nasi goreng untuk bayi”.

Ditulis sebagai kritik konstruktif untuk mengingatkan kita semua pada janji reformasi 1998 yang belum sepenuhnya terwujud.

***

Sejak 1998, Indonesia telah menempuh perjalanan reformasi yang panjang.

Demokratisasi, desentralisasi, membentuk regulator usaha dan industri seperti independensi Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Demikian juga dengan pembentukan lembaga-lembaga anti-korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi capaian penting yang patut diapresiasi.

Namun, dua dekade lebih pasca-reformasi, kita justru menyaksikan sebuah paradoks: institusi demokrasi tumbuh, tetapi praktik-praktik oligarkis dan korupsi justru berevolusi dengan wajah yang lebih sophisticated.

Kasus korupsi Immanuel Ebenezer—Wakil Menteri Ketenagakerjaan yang tertangkap tangan oleh KPK—serta pemberian Bintang Mahaputera yang kerap kontroversial, bukanlah insiden terisolasi.

Keduanya adalah gejala dari kegagalan reformasi menyentuh inti kekuasaan: sistem rekrutmen dan reproduksi elit politik yang masih berkubang dalam praktik patronase dan transaksional.

Reformasi 1998 dan Janji yang Terpendam

demo 1998Reformasi 1998 berhasil menumbangkan rezim otoriter dan membuka keran kebebasan sipil serta politik. Namun, dalam sektor yang paling krusial—reformasi birokrasi dan sistem rekruitmen pejabat—perubahan berjalan lambat, bahkan stagnan.

Partai politik, yang seharusnya menjadi mesin demokrasi, justru menjadi sarang baru oligarki dengan praktik yang tidak jauh berbeda dari era Orde Baru: uang berbicara, loyalitas di atas kompetensi.

Puncaknya adalah proses pemilihan umum (Pemilu) terakhir yakni jargon “FufuFafa”, yang menjadi residu demokrasi dengan segala kontroversinya.

Inilah yang dalam plesetan Panca Sila, mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi menyebutnya sebagai Pancasalah:

  • Salah Asuh: Sistem kaderisasi yang mengutamakan loyalitas ketimbang kapasitas.

  • Salah Lihat: Kebijakan publik yang reaktif, tidak visioner, dan abai terhadap akar masalah.

  • Salah Tata Kelola: Jabatan publik diperlakukan sebagai ajang balas budi, bukan amanah.

  • Salah Kaprah: Normalisasi praktik koruptif dan penyimpangan simbolik.

  • Salah Tafsir: Penghargaan negara seperti Bintang Mahaputera dikurangi maknanya menjadi sekadar bros politik.

Ebenezer: Puncak Gunung Es Salah Asuh & Salah Tata Kelola

Immanuel Ebenezer

Immanuel Ebenezer adalah produk dari sistem yang sakit. Ia adalah bukti nyata Prinsip Peter—seseorang yang dipromosikan melampaui batas kompetensinya, ibarat "memberi nasi goreng kepada bayi" (metafora Sukardi).

Yang lebih memprihatinkan, kasus ini bukan anomali. Ia adalah output yang terprediksi dari sistem rekrutmen pejabat yang mengabaikan meritokrasi.

Ketika jabatan Wakil Menteri—yang seharusnya membutuhkan keahlian spesifik—dijadikan alat politik untuk membalas budi, maka yang lahir adalah pejabat yang tidak siap secara kapasitas dan rentan secara integritas.

Ebenezer hanyalah salah satu dari banyak "produk gagal" sistem ini.

Baca Juga: OTT Wamenaker, KPK Mulai Lepas Belenggu Politik

Bintang Mahaputera, yang pernah disematkan kepada pahlawan seperti Soedirman, Natsir, dan Ki Hajar, adalah simbol pengakuan tertinggi atas pengabdian kepada bangsa.

Namun, belakangan, penghargaan ini kehilangan ruhnya. Sebagaimana dikritik Yudi Latif, ia berubah menjadi "souvenir politik"—bros yang diberikan bukan karena jasa, melainkan karena kedekatan dan kepatuhan.

Semua ini sudah salah kaprah dan salah tafsir yang parah:

Negara mulai kehilangan kemampuan membedakan antara yang mulia (pengabdian) dan yang pragmatis (kepatuhan). Ketika simbol-simbol negara direduksi menjadi alat transaksi, yang terjadi adalah banalisasi makna publik.

Tidak heran jika rakyat semakin sinis terhadap kekuasaan — apalagi ditimpali niat menaikkan gaji anggota DPR, ditengah sulitnya para graduate mendapatkan pekerjaan pertama.

Inilah puncak dari salah kaprah dan salah tafsir:

  • Negara kehilangan kemampuan membedakan antara yang mulia (pengabdian) dan yang pragmatis (kepatuhan).

  • Simbol-simbol negara direduksi menjadi alat transaksi kekuasaan.

  • Masyarakat menjadi semakin sinis terhadap makna penghargaan dan legitimasi kekuasaan.

Jalan ke Depan: Mereformasi Reformasi

Kita tidak bisa terus mengandalkan KPK untuk membersihkan noda korupsi tanpa membenahi sistem yang melahirkannya. Berikut adalah langkah-langkah korektif yang mendesak:

  1. Reformasi Sistem Rekrutmen Pejabat

    Membentuk Lembaga Assessment Independen yang menilai kompetensi dan integritas calon pejabat publik.

    Memublikasikan dan memverifikasi Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) secara terbuka sebelum pelantikan.

  2. Demokratisasi Internal Partai Politik

    Mewajibkan mekanisme suksesi kepemimpinan yang demokratis dan transparan.

    Melakukan audit keuangan partai secara independen dan membuka hasilnya kepada publik.

  3. Penyelamatan Makna Simbol Negara

    Memberikan penghargaan seperti Bintang Mahaputera hanya melalui panel independen yang bebas dari intervensi politik.

    Menetapkan kriteria objektif yang terukur dan berbasis kontribusi nyata kepada bangsa.

Kasus Immanuel Ebenezer dan degradasi makna Bintang Mahaputera adalah cermin dari sebuah bangsa yang sedang kehilangan arah.

Reformasi 1998 tidak boleh berhenti pada pergantian rezim—ia harus diteruskan dengan revolusi mental dan struktural dalam tata kelola kekuasaan.

Jika tidak, kita hanya akan terus memproduksi "Ebenezer-Ebenezer" berikutnya—dan lambat laun menghancurkan sisa-sisa kepercayaan publik yang masih ada.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.