Debt Collector Tidak Bisa Seenaknya Ambil Paksa Kendaraan yang Kredit Macet, Bisa Kena Pasal Pembegalan
Aksi debt collector mengambil paksa kendaraaan makin meresahkan masyarakat karena sering disertai ancaman dan kekerasan. Mahkamah Konstitusi menjamin bahwa konsumen mempunyai hak untuk tidak ditarik kendaraannya meski gagal bayar. Perusahaan leasing juga bisa kena sanksi.

Jakarta, TheStanceID – Sebagian besar masyarakat mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah “mata elang” atau matel. Ini istilah yang digunakan untuk menyebut para debt collector atau penagih utang yang secara paksa mengambil kendaraan debitur yang telat membayar cicilan kendaraan.
Aksi para anggota matel ini sering terjadi di jalan dan merresahkan para debitur, karena kerap disertai ancaman dan kekerasan. Mirip begal.
Padahal, penarikan kendaraan terhadap debitur yang terlambat membayar cicilan tidak memiliki dasar hukum kuat.
Terbaru, lima orang komplotan mata elang ditangkap karena merebut paksa mobil Mitsubishi Pajero dari seorang mahasiswa berinisial ARP (19) di kota Bekasi, Jawa Barat.
Saat itu korban tengah pergi ke salah satu pusat perbelanjaan. Korban tiba-tiba didatangi lima orang yang mengaku penagih utang.
Korban diintimidasi hingga dipaksa menandatangani berita serah terima kendaraan. Akhirnya, mobil Pajero tersebut dibawa kabur pelaku. Para pelaku mendapatkan fee jutaan rupiah dari penarikan mobil tersebut.
"Pelaku mengambil mobil kemudian diserahkan kepada pihak leasing dan mendapat fee sebesar Rp 24 juta. Ada potongan [dari perusahaan] matel sebesar Rp 10,5 juta dan potongan dari perusahaan," kata Kapolres Metro Bekasi Kota Kombes Kusumo Wahyu Bintoro dalam keterangannya, Kamis (15/5/2025).
Wahyu mengatakan besar bayaran ditentukan dari jenis kendaraan yang ditarik paksa.
"Menurut hasil pemeriksaan dapat diterangkan bahwa pelaku dapat melakukan penarikan sebanyak 7 hingga 8 kali penarikan kendaraan dalam sebulan," kata dia.
Wahyu menyebut para pelaku tidak dibekali sertifikat profesi dan surat tugas resmi dari perusahaan saat menarik kendaraan. Selain itu, apa yang dilakukan para penagih utang tersebut melanggar hukum dan menyalahi aturan. Berdasarkan aturan, kreditur harus melayangkan surat pemberitahuan, penagihan, hingga surat peringatan kepada debitur.
Terlebih, dalam kasus ini para pelaku juga melakukan aksi kekerasan terhadap korban.
Saat ini, para pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Mereka dijerat dengan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, lebih spesifiknya perbuatan memaksa orang menyerahkan barang dengan kekerasan.
Alasan Leasing Masih Menggunakan Jasa Mata Elang
Sebenarnya, Perusahaan Pembiayaan (leasing) tidak perlu menggunakan jasa mata elang untuk menarik kendaraan debitur yang wanprestasi alias gagal bayar.
Hanya, setiap kendaraan yang dikredit tersebut harus dilengkapi jaminan fidusia seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia).
Berdasarkan UU itu, polisi dapat memberi bantuan kepada pemberi kredit untuk menarik kendaraan yang dijamin dengan fidusia.
Tapi banyak leasing tidak memberikan jaminan fidusia, sebab harus menanggung biaya yang cukup besar untuk setiap kendaraan.
Apa itu Jaminan Fidusia?
Berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang dimaksud fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu barang yang barang itu secara fisik di bawah kendali pemilik barang.
Dalam konteks kredit mobil, leasing adalah pemberi Fidusia. Sedangkan debitur yang membeli mobil secara kredit lewat leasing adalah penerima Fidusia.
Ketika pembeli teken kontrak dengan leasing, maka mobil yang dia beli itu statusnya Fidusia.
Jaminan Fidusia adalah barang yang dijaminkan dalam akad Fidusia tersebut, yang biasanya juga merupakan barang yang dibeli secara kredit tersebut (dalam contoh ini mobil).
Dengan demikian ketika terjadi akad antara pembeli dan leasing terkait kredit mobil, maka yang terjadi;
Leasing mengalihkan hak kepemilikan mobil kepada kreditur (Fidusia)
Kreditur menguasai mobil secara fisik (Fidusia)
Mobil yang dibeli secara kredit itu juga berstatus sebagai jaminan (Jaminan Fidusia)
Apabila kreditur wanprestasi, tidak bisa membayar cicilan, maka leasing berhak menarik Jaminan Fidusia tersebut (mobil),
Inilah esensi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor Nomor 71/PUU-XIX/2021 terkait uji materi UU Jaminan Fidusia.
Dalam putusan itu, MK memutuskan bahwa leasing hanya berhak menarik barang dari kreditur apabila barang tersebut berstatus Jaminan Fidusia.
Begini Prosedur Penarikan Barang Leasing
MK mengatur bahwa penarikan itu harus melalui prosedur surat teguran I, surat teguran II, surat teguran III, baru setelah itu dilakukan penarikan terhadap Jaminan Fidusia.
Jadi tidak bisa tanpa surat teguran terlebih dahulu, leasing langsung mengirim mata elang untuk melakukan penarikan.
Bagaimana agar mobil tersebut berstatus jaminan Fidusia?
Tentunya harus ada perjanjian tersendiri. Leasing dan debitur harus membuat perjanian Fidusia, yang terpisah dari akad kredit. Perjanjian Fidusia itu juga harus disahkan notaris dan didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM.
Tapi banyak leasing tidak menawarkan perjanian Fidusia kepada para debiturnya karena berarti harus menambah biaya. Mereka lebih suka potong kompas, gunakan jasa preman mata elang untuk menarik barang dari debitur wanprestasi.
Tanpa perjanian Fidusia, para penagih utang mata elang ini secara hukum adalah pihak luar yang tidak ada sangkut-pautnya dengan akad kredit leasing-debitur.
Karena itu ketika mereka menarik mobil secara paksa, diberlakukan pasal 368 KUHP tentang pemerasan yang lazimnya dberlakukan kepada begal, karena telah memaksa pihak lain menyerahkan barang milik pribadi
Bagaimana dengan leasing yang menyewa para mata elang tersebut? Dapatkah leasing dipidana? Secara logis, ketika begal dipidana, tentunya pihak yang mempekerjakan begal (alias bos begal), juga harus dipidana.
Hanya sejauh ini belum terdengar leasing dipidana karena menyewa mata elang. Aparat masih lunak karena sepertiya meyadari bahwa leasing juga dirugikan karena debitur telah wanprestasi.
Baca Juga: Pinjol; Solusi Cepat Dapatkan Duit Mudah tapi Bisa Berharga Nyawa
Meski demikan, pasca-putusan MK tersebut, posisi leasing yang masih menyewa mata elang secara hukum sangat lemah. Bukan tidak mungkin ke depannya ada korban mata elang yang tidak terima dan mengajukan gugatan kepada leasing.
Perusahaan leasing berisiko kehilangan uang lebih banyak lagi bila kalah gugatan, jauh lebih besar dibanding bila mereka juga menyiapkan skema perjanian Fidusia kepada debitur di awal kredit.
Izin Usaha Leasing Bisa Dicabut
Anggota Komisi Penelitian dan Pengembangan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) periode 2021-2024 Slamet Riyadi menilai debt collector tak bisa menyita atau merampas aset kendaraan bermotor di jalan sekalipun konsumen menunggak.
Slamet menyebut, konsumen mempunyai hak untuk tidak ditarik kendaraan mereka di jalanan meskipun mengalami gagal bayar. Ketentuan tersebut sesuai dengan Putusan MK Nomor 71/PUU-XIX/2021.
Dalam Putusan MK tersebut, kreditur diharuskan mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Nantinya, pihak pengadilan yang akan memutuskan bisakah dilakukan penarikan kendaraan bermotor akibat kredit macet.
Slamet menjelaskan, dari sisi konsumen jika merasa mulai kesulitan membayar, harus ada itikad baik datang ke kantor pembiayaan. Konsumen bisa menjelaskan permasalahan yang membuat terkendala harus menunda pembayaran. Sementara dari sisi leasing. mereka juga tidak akan melakukan penarikan semaunya.
"Harus melalui surat teguran 1, 2, dan 3. Lalu somasi dalam jangka waktu per tujuh hari. Baru mengirim jasa penagih hutang. (Debt Collector) punya sertifikat penagih, surat tugas dari lembaga pembiayaan. Kalau gak surat tugas, itu ilegal," jelas Slamet.
Selain itu, jika dilakukan penarikan kendaraan secara paksa di jalan, kantor pembiayaan pun bisa terancam sanksi.
"Ada ketentuan sanksi yang berlaku, hingga pencabutan izin usaha," kata Slamet.
Ada Tunggakan, Masyarakat Bisa Datangi Perusahaan Leasing
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno memberikan solusi agar masyarakat yang tak bisa membayar cicilan tidak sampai didatangi debt collector.
Dia menyarankan masyarakat datang langsung ke perusahaan pembiayaan.
“Harapan kami, masyarakat kalau saja ada permasalahan cicilan yang terlambat datanglah ke perusahaan pembiayaan, komunikasi intinya,” kata Suwandi.
Ia mengatakan komunikasi yang baik seperti itu terjadi saat pandemi Covid-19, ketika banyak kredir macet karena ekonomi lesu.
Meski demikian, Ia meminta debitur juga memahami bahwa perusahaan pembiayaan juga mempunyai tanggungan cicilan terhadap perbankan.
Suwandi tidak membenarkan perilaku kasar saat penagih utang melakukan penarikan kendaraan. Ia pun memastikan, jika terbukti ada penagih utang yang masih menggunakan cara seperti itu akan dicabut sertifikasinya.
“Pencabutan sertifikasi, mereka tidak bisa lagi bekerja. Ini keras. Dari 145 ribu yang sudah tersertifikasi kurang lebih ada seribu debt collector pernah dicabut [sertifikasinya]," katanya.
Tips Menghadapi Mata Elang
Eksekusi penarikan barang jaminan kendaraan dengan kredit bermasalah tidak bisa sembarangan. Baik konsumen maupun perusahaan pembiayaan sudah dilindungi lewat aturan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Berikut tips yang dihimpun TheStanceID untuk menghadapi para mata elang, sebagaimana dikutip dari Instagram @divisihumaspolri.
Pertama, tanyakan identitas. Masyarakat berhak menanyakan identitas para mata elang.
Kedua, tanyakan kartu sertifikasi. Setelah mengetahui identitas para debt collector, maka masyarakat bisa menanyakan kartu sertifikasi profesi debt collector. Karena debt collector ini akan mengambil barang atau kendaraan sehingga dibutuhkan sertifikasi dari Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).
Ketiga, tanyakan surat kuasa. Surat kuasa ini menjadi bukti bahwa barang atau kendaraan yang pembayarannya menunggak bisa diambil. Namun surat kuasa ini harus berasal dari perusahaan pembiayaan. Sehingga para debt collector tidak bisa seenaknya langsung menyita atau sebagai sebagainya.
Keempat, harus ada sertifikat jaminan fidusia. Langkah terakhir yang bisa dilakukan masyarakat dalam menghadapi para debt collector adalah menanyakan sertifikat jaminan fidusia. Sertifikat jaminan ini bisa berupa yang asli atau salinan. Jika tidak ada, maka masyarakat berhak menolak penarikan atau penyitaan barang yang akan dilakukan.
Polri pun meminta kepada seluruh masyarakat agar tidak segan meminta bantuan aparat penegak hukum jika keempat poin tersebut tidak bisa dipenuhi oleh para debt collector. (est)
Simak info kebijakan publik & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.