Oleh Harun Al-Rasyid Lubis. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), alumni KRA 37 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), kini menjadi Ketua Rukun Warga (RW) 16 Kelurahan Sekeloa, Bandung, dan aktif di Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC).
Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) telah menjadi pilihan utama yang mengemuka dan digadang-gadang sebagai solusi ajaib untuk mengatasi stunting dan masalah gizi anak Indonesia agar menjadi anak yang pintar.
Ambisi politik di balik program ini tidak kecil—dengan anggaran yang disebut-sebut mencapai triliunan rupiah per hari.
Namun, di balik niat mulia ini, terdapat bahaya besar yang mengintai: program sebesar ini berisiko menjadi pemborosan anggaran negara yang masif jika tidak dirancang dan diimplementasikan dengan sangat hati-hati.
Terutama pertanyaan tentang do-ability dan scaleability program dalam jumlah yang sangat masif dan tersebar. Akankah program ini chaos di tengah jalan?
Di samping penyerapan anggaran MGB yang masih sangat rendah, berikut tantangan lain yang harus dicari jalan keluarnya.
Kompleksitas Logistik yang Diabaikan
Tantangan terbesar MBG terletak pada logistik. Makanan bergizi, terutama yang mengandung komponen mudah rusak seperti protein hewani, sayur, dan buah, membutuhkan rantai dingin (cold chain) yang terintegrasi dengan sempurna.
Distribusi dari dapur pusat ke daerah-daerah terpencil dengan infrastruktur jalan yang buruk dan waktu tempuh panjang adalah mimpi buruk logistik.
Tanpa investasi besar dalam refrigerated truck dan manajemen waktu yang presisi, makanan yang seharusnya bergizi akan berubah menjadi sumber bakteri yang berbahaya—dan akhirnya berakhir di tempat sampah.
Masalah Targeting dan Ketergantungan
Selain masalah logistik, program MBG juga rentan terhadap kesalahan targeting.
Dalam ketergesaan menyalurkan bantuan, sangat mungkin bantuan tidak tepat sasaran—jatuh ke kelompok yang tidak membutuhkan, sementara yang paling membutuhkan justru terlewat.
Masalah ini diperparah oleh risiko menciptakan ketergantungan (dependency syndrome), di mana masyarakat menjadi pasif dan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab gizi anak kepada negara.
Alih-alih memecahkan masalah, program ini berpotensi melemahkan kemandirian keluarga.
Keberlanjutan yang Dipertanyakan
Program dengan skala sebesar MBG juga harus dipertanyakan keberlanjutannya.
Ketergantungan pada APBN, apalagi dikelompokkan rancangannya ke dalam bagian dari mata anggaran pendidikan (20%), membuat program ini rentan terhadap perubahan politik dan fluktuasi ekonomi.
Apa jadinya jika di tahun berikutnya anggaran dipotong atau program dihentikan? Dampak positif yang mungkin sudah mulai terlihat akan putus di tengah jalan.
Selain itu, jika program ini tidak dirancang dengan melibatkan ekonomi lokal—misalnya dengan membeli bahan baku dari korporasi besar atau bahkan impor—maka multiplier effect yang diharapkan bagi petani dan usaha lokal tidak akan terwujud.
Rekomendasi: Paradigma Baru Pemberdayaan Ekonomi Keluarga
Daripada berfokus pada program bantuan yang berisiko tinggi dan berkelanjutan rendah, sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan alternatif yang lebih mendasar dan transformatif: pemberdayaan ekonomi orang tua.
Pendekatan ini tidak hanya menyasar gejala (kurang gizi), tetapi akar masalahnya (kemiskinan dan kurangnya penghasilan). Program pemberdayaan harus dirancang sebagai paket komprehensif yang terdiri dari:
Program membuka lapangan kerja padat karya dalam pemeliharaan, renovasi rumah dan pembangunan beragam infrastruktur dasar publik.
Ini segera sifatnya, KemenPU dan MenPKP (Perumahan & Kawasan Permukiman) dapat menjadi penjuru memimpin didepan bersama TNI masuk desa.
Pelatihan keterampilan yang relevan dengan pasar kerja pelatihan harus berdasarkan pemetaan potensi ekonomi lokal dan kebutuhan pasar.
Misalnya, di daerah pesisir, pelatihan dapat fokus pada pengolahan ikan; di daerah agraris, pada teknik pertanian modern atau pengolahan hasil tani.
Pelatihan harus mencakup keterampilan teknis (seperti menjahit, las, atau programming dasar) dan kewirausahaan.
Akses ke permodalan dan pendampingan usaha
Pelatihan tanpa akses modal hanya akan berujung pada frustrasi. Pemerintah harus mempermudah akses kepada KUR bagi peserta program, dengan proses yang sederhana dan bunga bersubsidi.
Yang tak kalah penting adalah pendampingan usaha selama minimal 6-12 bulan untuk memastikan usaha yang dirintis dapat bertahan dan berkembang.
Keterkaitan dengan Pasar
Program harus memastikan bahwa produk atau jasa yang dihasilkan oleh peserta memiliki pasar.
Ini dapat dilakukan melalui kemitraan dengan perusahaan besar, pengembangan platform pemasaran digital, atau integrasi dengan program pemerintah lainnya.
Penyediaan Infrastruktur Pendukung
Pemerintah dapat menyediakan fasilitas bersama seperti dapur atau bengkel bersama yang dapat disewa dengan harga terjangkau. Infrastruktur pendukung ini akan menurunkan biaya awal memulai usaha.
Keunggulan Pendekatan Pemberdayaan
Pendekatan pemberdayaan memiliki beberapa keunggulan strategis dibandingkan program bantuan makanan:
Keberlanjutan: Penghasilan yang diperoleh dari kerja atau usaha akan terus mengalir bahkan setelah program berakhir.
Efek Multiplier: Uang yang dihasilkan akan dibelanjakan di ekonomi lokal, menciptakan dampak berganda yang lebih luas.
Kemandirian: Program ini membangun kepercayaan diri dan kemandirian, bukan ketergantungan.
Program MBG mungkin terlihat menarik secara politis, tetapi risiko pemborosan dan inefisiensi yang menyertainya terlalu besar untuk diabaikan.
Sebagai alternatif, pemerintah harus beralih ke pendekatan pemberdayaan ekonomi keluarga yang lebih berkelanjutan dan transformatif.
Dalam jangka pendek, program bantuan makanan mungkin masih diperlukan sebagai jaring pengaman darurat.
Namun, dalam jangka menengah dan panjang, investasi harus dialihkan kepada program yang membangun kapasitas ekonomi keluarga—karena hanya dengan penghasilan yang memadai, keluarga dapat memenuhi kebutuhan gizi mereka secara mandiri dan berkelanjutan.
Sudah saatnya mengalihkan triliunan rupiah dari sekadar memberi ikan kepada mengajari cara memancing—dan membangun kolam yang dapat dipanen bersama untuk masa depan keluarga yang lebih sehat dan sejahtera.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.