Oleh Rahmat Mulyana, pemerhati ekonomi dan strategi yang mengajar Islamic Economics of Strategy pada level Magister dan Manajemen Strategi untuk Sarjana S1 di Institut Agama Islam Tazkia, Bogor. Aktif menuangkan ide dan pemikirannya di Facebook.
Pada Olimpiade Athena 2004, dunia menyaksikan sebuah drama yang tak terlupakan. Matthew Emmons, penembak jitu asal Amerika Serikat, tinggal selangkah lagi merebut medali emas.
Tembakannya nyaris sempurna, tepat di pusat sasaran. Namun, sorakan penonton tak kunjung terdengar.
Ketika menoleh ke papan skor, wajahnya membeku: ia menembak target yang salah. Dalam istilah menembak, ini disebut crossfire.
Emmons tidak gagal karena kurang kemampuan, melainkan karena kehilangan kejernihan berpikir di momen kritis. Ia terlalu fokus pada teknik, hingga lupa memastikan nomor papan yang dibidik. Hasilnya, skor nol.
Kisah ini menjadi metafora tepat untuk memahami apa yang sering terjadi di Indonesia: kita bekerja keras, mengeluarkan biaya besar, menembakkan energi pembangunan ke segala arah.
Tetapi, kadang lupa memastikan apakah target yang dibidik sudah benar.
Sejak dua dekade terakhir, pembangunan Indonesia menguras sumber daya habis-habisan. Jalan tol, kereta cepat, bandara, pelabuhan, dan proyek raksasa lainnya tumbuh di berbagai daerah.
Namun, banyak di antaranya berujung duka karena dianggap “salah sasaran”.
Ibu Kota Nusantara (IKN), misalnya. Proyek ambisius ini digadang sebagai simbol peradaban baru. Entahlah IKN punya masa depan. Seperti Emmons, pemerintah menembak sebelum memastikan targetnya jelas.
Mengapa Salah Bidik Terjadi?
Kasus serupa terjadi pada Kereta Cepat Jakarta–Bandung. Teknologi modern memang berhasil didatangkan, tapi biayanya membengkak puluhan triliun rupiah akibat perencanaan terburu-buru.
Kita akhirnya menembak, tapi ke papan yang terlalu mahal untuk hasil yang terbatas. Bahkan program dengan niat mulia, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), tak lepas dari potensi crossfire.
Apalagi dengan mengambil alokasi gaji guru dan dosen, program ini seperti mengalihkan gaji guru untuk membiayai muridnya. Alih-alih menyehatkan, program ini justru berisiko menimbulkan masalah baru.
Ada beberapa pola yang menjelaskan mengapa Indonesia sering terjebak dalam crossfire pembangunan:
Default Reactions Politik
Tekanan kampanye, janji politik, dan dorongan untuk segera meninggalkan legacy membuat pemerintah terburu-buru mengambil keputusan. Kecepatan dianggap lebih penting daripada ketepatan.
Bias Kognitif
Para pengambil kebijakan kerap terjebak confirmation bias—hanya mendengar informasi yang mendukung keyakinan mereka—dan overconfidence bias, yakni terlalu percaya diri bahwa proyek pasti berhasil, meski sinyal bahaya sudah muncul.
Echo Chamber Kekuasaan
Pemimpin dikelilingi lingkaran dalam yang menyaring informasi. Kritik ditekan, kabar buruk tidak sampai. Akibatnya, keputusan besar diambil dengan data yang tidak lengkap.
KPI (Key Performance Index) yang Salah
Aparatur negara diukur dari “serapan anggaran”. Maka orientasi birokrasi adalah menghabiskan dana secepat mungkin, bukan menciptakan nilai strategis atau menggali pendapatan baru bagi negara.
Crossfire Terbesar: Pajak sebagai Tulang Punggung
Hari ini, pendapatan negara mayoritas masih bertumpu pada pajak rakyat. Padahal, Indonesia punya delapan anugerah geografi yang bisa menjadi sumber pemasukan baru.
Sayangnya, potensi ini jarang dijadikan KPI nyata, sehingga pemerintah sibuk mengatur pengeluaran alih-alih menggali pendapatan.
Delapan anugerah itu antara lain:
Pusat Komando Maritim – Indonesia menguasai 60% jalur pelayaran Asia.
Cincin Api Energi – 40% cadangan panas bumi dunia ada di sini.
Tulang Punggung Digital – kabel bawah laut dunia melintas di wilayah kita.
Ekonomi Biru – laut Indonesia bernilai USD 240 miliar per tahun.
Landasan Antariksa – garis khatulistiwa ideal untuk peluncuran satelit.
Apotek Dunia – mega-biodiversitas untuk farmasi dan bioteknologi.
Pengatur Iklim – hutan tropis dan gambut sebagai paru-paru dunia.
Lemari Besi Genetik – keanekaragaman genetik untuk pangan & biotek.
Jika delapan anugerah ini dikelola serius, penerimaan negara bisa melonjak jauh melampaui pajak, bahkan menutup kebutuhan fiskal tanpa harus bergantung pada utang.
Bagaimana Keluar dari Crossfire?
Ada tiga langkah penting untuk keluar dari pola salah arah ini:
Ubah KPI Nasional
Dari serapan anggaran menjadi pendapatan baru dan nilai strategis. Birokrasi harus diberi insentif bukan karena berhasil menghabiskan anggaran, tetapi karena mampu menggali penerimaan dari aset strategis bangsa.
Terapkan Clear Thinking dalam Kepemimpinan
Setiap keputusan besar harus melewati verifikasi berlapis: audit independen, simulasi skenario terburuk, hingga konsultasi pakar lintas sektor. Pemimpin harus berani mendengar kritik, bukan hanya laporan manis lingkaran dalam.
Optimalkan 8 Anugerah Geografi
Setiap kementerian dan daerah harus diberi mandat jelas: menggali potensi maritim, energi, digital, antariksa, biodiversitas, iklim, dan genetik. Inilah sumber daya sejati yang bisa membuat Indonesia berdiri tegak tanpa utang.
Lawan dari crossfire adalah clearfire: menembak cepat dan tepat ke target yang benar. Inilah arah baru yang perlu diambil Indonesia. Jika KPI pembangunan dibalik, birokrasi akan berubah dari “pengelola anggaran” menjadi “pencipta nilai.”
Jika delapan anugerah geografi dijadikan mesin fiskal, Indonesia bisa membiayai pembangunan tanpa utang berlebih. Bahkan bisa melunasi semua utang sambil memanjakan rakyat.
Jika clear thinking dijadikan budaya kepemimpinan, setiap kebijakan akan lebih reflektif daripada reaktif.
Baca Juga: TIPS KEBIJAKAN: Tarif Trump Mengganas, Indonesia Harus Bergegas
Seperti Matthew Emmons, kita bisa saja memiliki teknik terbaik dan energi terbesar, tetapi semua itu akan sia-sia jika target yang dibidik salah. Pembangunan Indonesia harus belajar dari metafora ini: arah lebih penting daripada dorongan modal.
Kita tidak kekurangan tenaga, tidak kurang ide, dan tidak minim sumber daya. Yang sering kita lupakan hanyalah memastikan papan target.
Saatnya meninggalkan crossfire pembangunan dan beralih ke clearfire: tembakan tepat sasaran menuju Indonesia maju, mandiri, dan tercerahkan di tahun 2045.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance