Cosplay, Tahta dan Benteng Pertahanan Otaku Melawan Gempuran K-Pop
Virus pandemi membuat ajang Cosplay terbesar nasional terhenti, dan mati suri sampai sekarang.

TheStanceID - Sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara, Indonesia menjadi medan laga produk budaya pop Jepang (J-Pop) dan Korea Selatan (K-Pop). Tergilas di film dan lagu, pencinta J-Pop menjaga keunggulannya di ajang Cosplay.
Harus diakui, ada pergeseran preferensi terhadap budaya pop impor asal negara Asia yang masuk ke Tanah Air. Dulu J-Pop merajai cakrawala hiburan anak muda, kini K-Pop yang semakin dominan.
Ketika generasi baby boomer mengenal serial drama Oshin (Jepang), dan generasi Y (milenial) lebih familiar dengan Meteor Garden (Taiwan, yang diadaptasi dari manga Jepang), generasi Z kini lebih menekuni serial drakor (drama Korea).
Namun soal lagu, baik boomer dan milenial tidak memiliki preferensi khusus terhadap musisi Jepang. Jarang sekali ada musisi Jepang yang begitu disambut sampai menjadi brand ambassador atau menggelar konser tunggal di Indonesia.
K-Pop justru sebaliknya.
Merajai cakrawala musik Gen-Z di Indonesia, BTS dkk saat ini menjadi preferensi utama musik impor di kalangan generasi muda Tanah Air. Beberapa kali mereka konser dan menjadi brand ambassador di Indonesia.
Terbaru, New Jeans menjadi brand ambassador Indomie.
Ia menambah daftar musisi K-Pop yang “bekerja” di Indonesia sebagai duta merek, seperti BTS (Tokopedia dan Gojek), Lisa Blackpink (Ajaib Sekuritas), Choi Si Won (Sasa dan Mie Sedap), hingga Cha Eun Woo (MS Glow).
Produk dan merek asal Korsel pun membanjir di Indonesia, menyaingi produk asal Jepang. Salah satu yang paling ikonik adalah pusat perbelanjaan Lotte, yang menjadi pintu masuk gerai produk-produk Korsel.
Hal ini membuktikan efektivitas K-Pop merangsek pasar Indonesia dan menggeser J-Pop dalam konteks industri. Tidak berhenti di budaya, ikon K-Pop menggerakkan massa di republik ini untuk membeli produk dan jasa Korsel di ranah non-budaya.
Dalam laporan resmi Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata Korsel yang dirilis tahun lalu, K-Pop menjadi alasan terbanyak para turis berkunjung ke Negeri Ginseng tersebut.
Hal ini bisa dipahami karena budaya pop memang produk massa yang dinikmati secara massal sehingga mudah mempengaruhi preferensi masyarakat terkait produk dan jasa, seperti diulas John Storey dalam Cultural Theory and Pop Culture (1994).
J-Pop Belum Kalah
Namun, bukan berarti J-Pop telah kalah. Otaku, sebutan untuk penggemar J-Pop, masih mendominasi masyarakat Indonesia untuk tiga produk budaya pop:
Anime
Di antara budaya pop asal Jepang yang masuk ke Indonesia, anime justru menjadi yang pertama menembus pasar Indonesia, mengikuti kebijakan rezim Orde Baru yang lebih ramah pada produk budaya asing.
Jika sebelumnya rezim Orde Lama melarang impor budaya, Presiden Soeharto membuka lebar impor budaya pop, sehingga musik dan film Barat, dan Jepang sebagai negara sekutunya membanjiri Indonesia.
Pada tahun 1975, TVRI menayangkan anime Wanpaku Omukashi Kum Kum yang mengisahkan kehidupan anak-anak, yang hidup di latar era prasejarah.
Namun, karena jumlah pemilik perangkat televisi di Indonesia kala itu masih sangat sedikit, bisa dibilang kehadiran anime tersebut tidak dikenal luas.
Anime kedua yang muncul di stasiun televisi RCTI, yakni Doraemon, menjadi anime pertama yang menjangkau audiens di Indonesia secara nasional.
Aeni, sebutan untuk anime asal Korsel, hingga kini belum bisa menyodok dominasi anime di pasar Indonesia.
Video Game
Menyusul anime, masuklah video game.
Menurut Muhammad Abdul Karim dalam penelitian “Dampak Pelarangan Video Game di Indonesia Tahun 1981-1987” (2019), video game masuk Indonesia sejak tahun 1973 tatkala pelaku usaha di bidang itu teridentifikasi oleh media massa.
Namun, video game Jepang baru masuk pasca 1978 setelah Space Invaders, game pertama besutan Jepang diciptakan.
Bentuknya adalah game arcade di mana mesin permainan dan televisi menyatu dalam satu perangkat yang ukurannya sebesar rak lemari.
Selepas itu, berbagai video game arcade bermunculan. Masyarakat menyebutnya mesin dingdong. Berkat berbagai inovasi, Jepang merajai dunia dengan tiga raksasa yakni Nintendo, Sony, dan Sega.
Manga
Manga baru masuk ke Indonesia pada tahun 1985-an, setelah sebelumnya Indonesia digempur komik impor dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa.
Candy-Candy menjadi manga pertama yang diterbitkan di Indonesia, melalui Elex Media Komputindo yang merupakan anak usaha grup Kompas Gramedia, sebagaimana dicatat komunitas manga nasional, Kaori Indonesia.
Dalam riset berjudul “Analisis Preferensi Masyarakat dalam Memilih Komik sebagai Bacaan” (2018), Giog Aura Hengrisky menyebutkan bahwa warga Indonesia merupakan pelahap manga terbanyak kedua.
Tiap Otaku di Indonesia membaca rata-rata 3,11 manga, mengekor Finlandia yang rata-rata konsumsi manga per orangnya mencapai 3,59 karya.
Cosplay Jadi Tahta
Keunggulan J-Pop dalam tiga produk di atas, bertemu dan membentuk satu budaya pop lainnya, di mana Jepang juga masih belum bisa digeser oleh Korsel, yakni Cosplay.
Muncul di Jepang sejak 1980-an, istilah ini berasal dari kombinasi dua kata yakni ‘costume’ dan ‘play.’ Ia memang menyatukan budaya fesyen dengan seni peran.
Seseorang membuat pakaian dan berdandan ala karakter dari manga, anime, dan video game lalu memerankannya dalam bentuk sikap, pose, dan ekspresi di event cosplay.
Cosplay mulai marak di Indonesia di era tahun 2000-an, mengutip penelitian berjudul “Dialektika Cosplay, Estetika, dan Kebudayaan di Indonesia” (2013) oleh Deni Setiawan dkk.
Ia menjadi cara Otaku mengapresiasi karakter kartun atau komik kegemarannya dengan “menghidupkan” mereka ke dunia nyata melalui dirinya.
Dalam proses adaptasi tersebut, mereka dituntut untuk mencurahkan kreativitas, konsistensi, dan ketekunan. Tak jarang mereka juga harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk menciptakan kostum tersebut.
Awalnya, event cosplay hanya berlangsung di kampus-kampus yang memiliki studi bahasa dan budaya Jepang. Namun lama-kelamaan, event ini berkembang dan dikelola secara profesional.
Semakin Sering Diagendakan
Terbaru, misalnya yang terjadi di Surabaya, Senin lalu (28/10/2024). Machi selaku event organizer, mengakui acara semacam ini semakin sering diadakan, mengingat produk budaya pop Jepang telah lama mendapatkan tempat di Indonesia.
“Bahkan bisa dibilang setiap minggu ada saja event yang digelar meski tingkatan event-nya berbeda-beda”, ujarnya kepada Tribunnews.
Pesertanya bukan hanya anak-anak Gen-Z, melainkan juga milenial dan baby boomer yang memang sudah “terpapar virus” J-Pop sejak era 1980-an, ketika penggemar K-Pop belum lahir.
Di Indonesia, ajang cosplay terbesar adalah Ennichisai, yang berlangsung antara bulan Mei dan Juli. Event yang berlangsung di Blok M (Jakarta) dan disponsori Japan Foundation serta Kedutaan Besar Jepang ini dihadiri ratusan ribu orang.
Namun, virus pandemi membuat ajang yang menjadi tahta J-Pop ini terhenti dan belum juga dibangkitkan lagi sampai sekarang.
Mungkin praktisi K-Pop berminat untuk mengambil-alih tahta tersebut? (ags)