China Stop Impor Daging dari Amerika, Indonesia Masih Sibuk Debat
China memproteksi rakyatnya dengan langkah tegas, kita malah memproteksi jalur impor.

Oleh Muhammad Fawaid, seorang akademisi pemerhati sosial dan ekonomi, dosen di Institut Sains dan Teknologi NU (STINUBA) Denpasar, yang juga Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Bali.
Seruput dulu kopi Balino, biar kepala nggak meledak baca realita ini.
Dunia sedang menari di atas panggung perdagangan global, dan kali ini, musiknya diputar oleh dua maestro: Amerika Serikat (AS) dengan nada tinggi resiprokalnya, dan China yang menanggapinya dengan simfoni larangan impor.
Baru dua hari setelah AS mengubah kebijakan dagangnya, China langsung pasang jurus kungfu dagang: menyetop impor daging unggas dari Negeri Paman Sam.
Alasannya? Sederhana tapi mematikan, ditemukan jamur, racun, dan kawan-kawan jahanam lainnya di dalam produk impor AS. Ayam dari Mountaire Farms dan Coastal Processing terbukti mengandung furacillin, obat haram dalam dunia pangan.
Sementara sorgum, yang seharusnya jadi pakan ternak atau manusia, lebih cocok jadi starter kit laboratorium mikrobiologi karena kadar jamurnya bikin ciut nyali.
China, dengan elegan dan dingin, menangguhkan kualifikasi perusahaan-perusahaan AS.
"Ini demi kesehatan konsumen," kata mereka. Sebuah pernyataan yang terdengar seperti senyum manis di balik hantaman palu godam.
Tapi mari kita alihkan pandangan ke tanah air tercinta. Negeri yang konon "... gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja."
Negeri yang katanya lumbung pangan dunia, tetapi hobi impor seperti anak kos hobi ngutang.
Membuang Momentum
Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia saat dua negara adidaya saling lempar dagangan beracun? Apakah kita ikut merapatkan barisan pangan nasional? Apakah kita gunakan momentum ini untuk memajukan petani lokal?
Oh tentu tidak, Saudara-Saudara.
Kita justru sibuk menggelar rapat koordinasi, membahas standar mutu ayam impor dan sorgum dengan penuh kehati-hatian, sembari tetap membuka keran impor selebar-lebarnya, bahkan untuk barang yang tumbuh subur di tanah sendiri.
China bisa mendeteksi jamur dan furacillin dalam hitungan hari. Kita? Mungkin masih debat apakah ayam lokal layak masuk ke rak supermarket jika belum diberkati logo halal digital.
Sementara, China memproteksi konsumen dengan langkah tegas, kita malah memproteksi jalur impor demi menjaga "stabilitas harga" istilah diplomatis dari "menjaga kenyamanan mafia pangan."
Lucunya, di saat negara lain bertarung untuk menjadi tuan rumah pangan dunia, kita masih siibuk adu pendapat soal pupuk subsidi yang menguap entah ke mana.
Bayangkan, negeri dengan ladang sejauh mata memandang, tapi harus bergantung pada kapal kontainer dari belahan bumi lain untuk makan.
Negeri yang tanahnya subur, tapi terlalu sibuk menyusun narasi ketahanan pangan daripada benar-benar membangun kedaulatan pangan.
Baca juga: MBG Penting, tapi Memberdayakan Masyarakat Jauh Lebih Bermakna
Perang dagang ini bukan cuma soal siapa bisa jual lebih banyak, tapi siapa bisa bertahan hidup tanpa menggadaikan perut rakyatnya. Dan sejauh ini, Indonesia lebih sering tampil sebagai komentator cerdas yang tidak diajak main.
Seruput lagi kopi hitammu. Rasanya lebih jujur daripada kebijakan pangan yang mengkhianati para petani kecil. Karena dalam panggung dagang global ini, hanya negara yang punya keberanian menolak impor ayam beracun yang pantas disebut berdaulat.
Sementara kita? Masih sibuk buka tender untuk impor daging beku.
Tepuk tangan yang meriah, untuk negeri agraris yang selalu lapar.***
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.