MBG Penting, tapi Memberdayakan Masyarakat Jauh Lebih Bermakna

Tanpa pekerjaan dan penghasilan, bantuan pangan hanyalah solusi sementara.

By
in Social Podium on
MBG Penting, tapi Memberdayakan Masyarakat Jauh Lebih Bermakna
Ilustrasi ketersediaan makanan di rumah orang yang memiliki pekerjaan. Ketersediaan pekerjaan berarti ketersediaan makanan bergizi tanpa bergantung santunan pemerintah. (Sumber: fotor.ai)

Abu Kosmis

Oleh Abu Kosmis (bukan nama sebenarnya), dalam renungan sahur 24 Maret 2025.

Pemerintah mencanangkan Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai salah satu program prioritas nasional. Gagasan ini muncul dari kepedulian atas tingginya angka stunting, kekurangan gizi, dan penyakit menular yang mengancam generasi muda Indonesia.

Niat ini bertujuan mulia. Namun dalam membangun bangsa, niat baik harus ditemani oleh pendekatan kebijakan yang utuh, jangka panjang, dan memberdayakan.

Gizi memang pondasi utama. Tetapi tanpa pekerjaan, masyarakat tidak memiliki daya beli, harapan, dan kemampuan untuk berdiri di atas kakinya sendiri.

Program MBG sangat penting, terutama untuk kelompok rentan seperti ibu hamil, & menyusui serta anak-anak.

Namun, jika dibiarkan menjadi satu-satunya strategi pembangunan, maka masyarakat akan terjebak dalam pola ketergantungan. Mereka tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan lain seperti pendidikan, air bersih, tempat tinggal, atau layanan kesehatan.

Tanpa pekerjaan dan penghasilan, bantuan pangan hanyalah solusi sementara.

Lebih jauh lagi, kebijakan yang hanya menitikberatkan pada pemberian, bukan pemberdayaan, justru berisiko menurunkan potensi besar yang dimiliki masyarakat Indonesia—yang dikenal ulet, mandiri, dan pekerja keras.

Bedakan Tugas Wajib dan Opsional

Jika pemerintah hanya fokus pada program konsumtif seperti MBG tanpa mengatasi pengangguran dan kurangnya pekerjaan layak, maka konsekuensinya bisa sangat serius:

  • Kesenjangan sosial dan ekonomi akan melebar,

  • Ketidakpuasan meningkat, terutama di kalangan anak muda produktif,

  • Produktivitas nasional melemah karena potensi tenaga kerja tidak terserap,

  • Negara akan dibebani subsidi jangka panjang tanpa peningkatan pendapatan fiskal.

Dalam sejarah banyak negara, pengangguran yang dibiarkan berlarut-larut telah memicu konflik sosial, ketegangan politik, bahkan instabilitas nasional. Maka, penciptaan lapangan kerja bukan sekadar kebutuhan ekonomi—tetapi juga instrumen vital ketahanan bangsa.

UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Maka, menyediakan akses terhadap pekerjaan bukanlah opsi, melainkan kewajiban negara.

Pemerintah perlu mengambil peran aktif dalam:

  1. Membuka lahan pekerjaan hijau dan produktif, seperti pertanian, energi terbarukan, pengelolaan air dan sampah.

  2. Memberikan pelatihan vokasi dan akses modal, khususnya bagi UMKM dan wirausaha sosial.

  3. Menggunakan sumber daya seperti tanah dan air untuk mendukung ekonomi rakyat, bukan hanya korporasi.

Dengan masyarakat bekerja, mereka tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan gizi sendiri, tetapi juga menjadi kontributor aktif pertumbuhan ekonomi nasional.

Dunia Usaha Jangan Dibebani

Indonesia tengah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% untuk keluar dari middle-income trap. Untuk mencapainya, industri dan dunia usaha harus difasilitasi, bukan dibebani.

Menambahkan kewajiban membiayai MBG melalui corporate social responsibility (CSR) atau pajak tambahan justru akan mengganggu fokus mereka dalam:

  • Meningkatkan produktivitas

  • Menyerap tenaga kerja

  • Meningkatkan ekspor dan daya saing

Biarkan MBG menjadi tanggung jawab negara, sementara dunia usaha diberi ruang untuk menjalankan peran strategisnya sebagai motor ekonomi dan pencipta lapangan kerja layak.

Dalam Islam, memberi makan orang lapar adalah amal besar. Namun dalam banyak hadis, membantu seseorang agar bisa memberi makan dirinya sendiri adalah bentuk ibadah yang lebih tinggi.

Hal serupa juga diajarkan dalam Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan agama-kepercayaan lainnya.

Pekerjaan bukan hanya soal ekonomi—tetapi juga martabat, harga diri, dan rasa syukur dalam berkarya. Maka, program pembangunan seharusnya tidak hanya menyentuh perut, tetapi juga menyentuh hati dan masa depan.

Integrasi MBG dan Penciptaan Kerja

Kita tidak perlu memilih antara MBG atau penciptaan lapangan kerja. Yang dibutuhkan adalah integrasi keduanya dalam satu sistem yang saling memperkuat. Bayangkan jika:

  • MBG disuplai oleh UMKM pangan lokal, bukan vendor besar.

  • Micro farming dan urban farming digerakkan untuk menyuplai pangan sehat.

  • Sampah organik dikelola menjadi kompos, eco enzyme, atau media maggot, dan sampah anorganik menjadi material baru menciptakan pekerjaan dan mendukung pertanian.

  • Pesantren, rumah ibadah, sekolah, dan komunitas lokal menjadi pusat edukasi gizi dan kemandirian.

Dengan pendekatan ini, MBG menjadi stimulus ekonomi, bukan hanya pengeluaran negara. Belanja pemerintah bisa mendorong pertumbuhan, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat ekonomi rakyat.

Mari kita bangun Indonesia yang sehat dan kuat, bukan hanya dengan memberi makan, tapi juga dengan memberi akses, keterampilan, pekerjaan, dan kesempatan. Karena kemandirian adalah fondasi kemajuan bangsa.

Pemerintah punya niat baik. Dunia usaha punya kapasitas besar. Masyarakat punya semangat juang. Yang kita butuhkan adalah kebijakan yang terpadu, inklusif, dan memberdayakan.

Dengan begitu, MBG bukan hanya program makan bergizi—tapi bagian dari strategi besar menuju Indonesia Emas 2045.***

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\