The Stance - Sempat diisukan mati, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang hilang dari ruang publik sejak Rabu (24/8/2025) muncul pada akhir Agustus, memasang poster mesianistik tepat jelang peringatan meletusnya Perang Dunia II.

Desas-desus kematian Trump ramai digoreng di platform X hingga sempat menjadi tren dengan 49.000 posting menyinggung topik "TRUMP IS DEAD."

Beberapa posting berspekulasi bahwa dia terkena serangan jantung pada Rabu, sehingga banyak warganet Amerika menuntut dia merekam video langsung dan mengunggahnya ke publik untuk memastikan bahwa dia masih hidup.

Namun pada 31 Agustus, dia mencuit di akun socialtruth miliknya, dengan poster yang penuh teka-teki meski teksnya jelas: “Dunia akan segera menyadari.. Tak ada yang bisa menghentikan apa yang segera terjadi.”

Di postingan tersebut dia me-repost sebuah unggahan dari akun lain, yang berupa foto dirinya mengangkat tangan dengan latar belakang bumi yang sedang memasuki cahaya terang.

mesianistik

Pesan samar Trump ini memicu spekulasi luas. Sebagian warganet menafsirkan sebagai gertakan politik, sebagian lagi mengaitkannya dengan kondisi kesehatan yang belakangan jadi sorotan.

Postur foto demikian juga dianggap mengandung pesan mesianistik, karena Trump diposisikan menjadi tokoh sentral dan dunia berada di belakangnya--yang secara simbolis menunjukkan bahwa Trump melindungi atau memimpin dunia.

Dua tangan yang terangkat terbuka ke atas merupakan pose khas tokoh agama yang berdialog dengan Tuhan, atau menjadi perwakilan Tuhan memberikan berkat, atau restu--yang juga bisa diartikan sebagai kebajikan--kepada sesama.

Logo yang terpampang, yakni Q+ di tangan kirinya, adalah simbol gerakan QAnon. Di kalangan pendukung Trump, Q+ diyakini sebagai gerakan anti-satanis dan anti-deep state (kelompok elit rahasia pengendali dunia), seperti diulas Guardian.

Makna Diakronik Terkait Sejarah NAZI

Trump memang hanya memposting ulang konten foto yang dibuat oleh pendukungnya. Sekalipun dia tak memahami makna gambar tersebut secara menyeluruh, tetapi setidaknya dia menyetujui itu.

Karena postingan diunggah pada 31 Agustus, tepat jelang "hari laknat" 1 September 1939 yang menyeret nyaris semua negara ke dalam Perang Dunia 2, pesan Trump ini mengingatkan memori akan peristiwa besar terkait Nazi pada masa itu.

TrumpUntuk memahami tafsir lintas-waktu terkait postingan Trump, The Stance mengulas lebih detil sebab-musabab pecahnya Perang Dunia 2, yang masih terkait dengan Perang Dunia I--di mana Jerman kalah dalam perang pertama tersebut.

Menurut Perjanjian Versailles, Jerman sebagai pihak yang kalah perang diwajibkan menciutkan angkatan perang, menyerahkan beberapa wilayahnya–termasuk koloni–ke pihak Sekutu, dan membayar ganti rugi perang.

Penerus pemerintah Kekaisaran Jerman, Republik Weimar, yang berusaha menyicil biaya ganti rugi dan memperbaiki ekonomi negaranya justru dilanda instabilitas politik dan krisis ekonomi, yang memicu “Depresi Hebat” pada akhir tahun 1920-an.

Sebagai prajurit Jerman, Hitler melihat kekalahan Jerman sebagai aib dan menolak keras hasil Perjanjian Versailles yang menurut dia mencoreng kehormatan negara Jerman.

Dia menganut kepercayaan politik ekstrim kanan dan percaya bahwa kekalahan Jerman disebabkan karena “ditusuk dari belakang” oleh pengkhianat di kalangan kelompok komunis dan yahudi.

Untuk membangkitkan semangat rakyat Jerman yang lagi terpuruk, Hitler memompa kebanggaan mereka dengan memuja muji ras mereka, sebagai “ras Arya” yang seharusnya superior di atas bangsa-bangsa lain.

Didukung Ultrakanan Lancarkan Perang

NaziHitler lalu membawa aspirasi itu ke Partai Buruh Nasional-Sosialis Jerman (Nazi) hingga kemudian menjadi ketuanya pada tahun 1921. Sempat dipenjara karena dituduh melakukan kudeta pada 1923, dia dibebaskan setelah ditahan kurang dari 1 tahun.

Butuh waktu 9 tahun sebelum akhirnya Hitler berhasil meraih dukungan rakyat Jerman, yang merasa menemukan harga diri dan kebanggaan nasionalnya kembali bangkit sejalan dengan pandangan Nazi.

Menang pemilu secara demokratis, Hitler pun menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1933, menandai transisi Pemerintah Republik Weimar menjadi Nazi Jerman atau Reich Ketiga.

Di bawah pimpinannya, dia berjanji menjadikan Jerman kuat lagi dengan menolak Perjanjian Versailles, mempersenjatai kembali angkatan perang Jerman, menghukum kaum Yahudi,dan menganeksasi Austria, Cekoslowakia, dan wilayah Rhineland.

Polandia selanjutnya menjadi target aneksasi. Kenapa Polandia? Ada beberapa alasan. Pertama, “melindungi” keturunan Jerman yang hidup di Polandia.

Kedua, melaksanakan kebijakan “Lebensraum” (ruang hidup) yang secara harfiah adalah politik ekspansionisme ke Eropa Timur dengan merebut wilayah “Koridor Polandia” demi menjaga "keutuhan warga Jerman."

Sebelum menyerang Polandia, Jerman dan Uni Soviet menandatangani “Pakta Molotov-Ribbentrop” pada 23 Agustus 1939. Intinya, kedua raksasa Eropa itu tak akan saling berperang dan sepakat membagi wilayah Polandia jadi dua, seperti kue.

Memulai Perang dengan Operasi Bendera Palsu

tentara PolandiaSeminggu setelah perjanjian dengan Jerman-Uni Soviet, sekelompok tentara berseragam Polandia merebut stasiun Gleiwitz di Polandia, dan menyiarkan pesan anti-Jerman.

Padahal, operasi pada 31 Agustus 1939 itu dipimpin oleh Alfred Naujock–anggota milisi Nazi yakni Schutzstaffel (SS).

Mereka bahkan menangkap dan membunuh Franciszek Honiok, kaum nasionalis Polandia, dan mendandani jenazahnya. Seolah-olah, petani lajang berusia 43 tahun ini adalah bandit Polandia yang tewas ketika menyerang kepentingan Jerman.

Sejarah mencatat insiden ini sebagai Operasi Himmler yang menciptakan Bendera Palsu (False Flag) bahwa seolah-olah Jerman diserang, sehingga memiliki pembenaran atau justifikasi untuk menyerang Polandia.

Intinya, teriak mengaku sebagai korban agar bisa menjalankan rencana kejinya. Mirip Israel di situasi politik dunia saat ini.

Pada 1 September 1939, sehari setelah Insiden Gleiwitz, Jerman melancarkan Fall Weiss, rencana penyerangan Polandia. Aksi militer mendorong Inggris dan Perancis sebagai sekutu Polandia mendeklarasikan keputusan membela Polandia

Namun rupanya Inggris dan Perancis tidak melakukan banyak hal, kecuali Perancis yang melakukan serangan kecil ke wilayah Saar, Jerman.

Seperti Ukraina di masa kini, Polandia dengan segala kekuatannya membendung serangan Jerman hingga akhirnya kalah jumlah, strategi dan senjata, ditambah dengan masuknya Uni Soviet menyerang Polandia bagian Timur pada 17 September 1939.

Dalam sebulan, Polandia akhirnya jatuh di tangan Nazi Jerman dan Uni Soviet pada 6 Oktober 1939. Jumlah korban jiwa tentara Polandia sekitar kurang lebih 875.000 pasukan, sementara jumlah tentara Jerman dan sekutunya berjumlah 59.000 jiwa.

Sesuai perjanjian Jerman dan Uni Soviet, Polandia akhirnya dibagi dua dan penduduknya mengalami persekusi selama 6 tahun. Invasi Jerman pada 1 September ini menandai dimulainya Perang Dunia II (1939-1945).

Baca Juga: Tren 2025: Kaum Sayap Kanan Kian Dominan, Waspadai Polarisasi Dunia

Di sinilah pesan Trump seolah menemukan kaitan. Didukung kelompok kanan di Amerika Serikat (AS), Trump mengikuti jejak Hitler dengan membangun sentimen chauvinisme yang secara ekstrim mementingkan bangsanya sendiri.

Trump memakai istilah Make America Great Again (MAGA), dan diyakini menggunakan false flag untuk menggali dukungan penuh rakyat Amerika melalui upaya penembakan yang sangat tipis menyerempet telinganya pada September tahun lalu.

Perlu diingat, Hitler melakukan false flag seolah-olah Polandia berencana membunuhnya dengan insiden bom di gedung opera Kroll pada 5 September 1939, yang rupanya adalah bagian skenario dari operasi Himmel.

Dengan memposting gambar dirinya jelang peringatan Perang Dunia 2, Trump seolah-olah mengirim pesan bahwa dirinya sedang menjalankan peran adikodrati untuk membawa dunia baru yang lebih menyala.

Apakah caranya seperti Hitler dengan memantik Perang Dunia 3, demi mengubah tatanan dunia? Waktu yang akan menjawab dan membuktikannya. (mhs/ags)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.