Si Kabayan di Harvard (1): Refleksi Jelang HUT Kemerdekaan RI
Indeks Kompleksitas Ekonomi mengukur kemampuan produktif suatu negara. Jepang peringkat 1 dengan skor 2,28, Tiongkok peringkat 21 dengan 1,16 dan Vietnam di peringkat 60. Indonesia di peringkat 84 dengan skor -0,41, bahkan di bawah Vietnam yang baru mulai industrialisasi 30 tahun lalu.

Oleh GWS, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah didapuk menjadi direktur utama sebuah BUMN dan kini memimpin sebuah perusahaan teknologi. Aktif menuangkan tulisan dan pemikirannya tentang isu keindonesiaan, kebangsaan, dan kemajuan negara, meski dengan nama samaran.
Coba, bayangkan sebentar: Anda adalah Kabayan yang duduk sendirian di kedai kopi Beijing sambil meratapi nasib sawah yang sudah terjual, tiba-tiba didatangi Profesor Yuan dengan wajah penuh simpati.
"老兄,看得出你很关心自己的国家" (lǎoxiōng, kàn dé chū nǐ hěn guānxīn zìjǐ de guójiā) - Sobat, terlihat Anda sangat peduli dengan negara Anda," kata Prof. Yuan sambil duduk di hadapan Kabayan.
"Saya terkesan melihat Anda memahami kesulitan Indonesia sebagai negara berkembang," lanjut Prof. Yuan dalam bahasa Indonesia yang fasih—ternyata ia pernah menjadi dosen tamu di Universitas Indonesia (UI) pada 2010.
"Anda berbeda dengan wisatawan Indonesia lain yang datang ke Tiongkok hanya untuk berbelanja dan berfoto. Anda benar-benar ingin belajar."
Kabayan benar-benar terharu. Selama tiga minggu di Tiongkok, baru kali ini ada orang yang memahami kegelisahannya.
"Pak, saya bingung. Negara saya memiliki segalanya, tetapi mengapa seperti berjalan di tempat?" keluh Kabayan sambil mengaduk kopi yang sudah dingin.
Prof. Yuan tersenyum. "Karena itu saya ingin mengajak Anda ke Boston. Bertemu langsung dengan Growth Lab di Harvard. Agar Anda mendengar teori Kompleksitas Ekonomi dari sumbernya—Prof. Ricardo Hausmann."
Di pesawat China Eastern menuju Bandar Udara Logan Boston, Kabayan merenungkan keberuntungannya.
"Saya menjual sawah satu petak, ujung-ujungnya bisa ke Harvard secara gratis," pikirnya sambil menatap awan. Prof. Yuan yang duduk di sebelahnya sibuk menjelaskan garis besar kuliah yang akan mereka hadiri.
Growth Lab Harvard: Katedral Kebijaksanaan Ekonomi
"Ricardo Hausmann adalah ekonom asal Venezuela yang sekarang menjadi profesor di Harvard Kennedy School," jelas Prof. Yuan.
Dialah yang menciptakan teori Kompleksitas Ekonomi yang telah diterapkan Korea, Tiongkok, bahkan Vietnam. Teorinya sederhana: negara maju bukan karena memiliki barang banyak, tetapi karena memiliki pengetahuan untuk membuat barang rumit.
Kabayan mengangguk-angguk. "Jadi seperti perbedaan antara pedagang es batu dengan ahli pembuat es krim gelato?"
"Nah, itu dia!" Prof. Yuan menyeringai.
"Anda sudah mulai memahami. Es batu bisa dibuat siapa saja, tetapi gelato membutuhkan kemampuan khusus—kontrol suhu, tekstur, keseimbangan rasa. Semakin rumit produk yang bisa Anda buat, semakin tinggi pendapatan Anda."
Harvard Kennedy School membuat Kabayan terpukau. Gedung-gedung bata merah klasik dengan tanaman merambat di dinding, mahasiswa dari seluruh dunia dengan diskusi yang intens di setiap sudut.
"Ini tempat di mana teori-teori yang mengubah dunia dilahirkan," bisik Prof. Yuan.
Mereka memasuki ruang seminar Growth Lab yang dipenuhi grafik ruang produk (product space), indeks kompleksitas ekonomi, dan peta-peta perdagangan global.
Teori Ruang Produk: Monyet dan Hutan Produk
Prof. Ricardo Hausmann—pria berambut abu-abu dengan mata yang tajam—sudah menunggu dengan presentasi PowerPoint yang sarat data.
"Selamat datang di dunia kompleksitas ekonomi," kata Hausmann dengan aksen Venezuela yang kental.
"Hari ini, saya akan menjelaskan mengapa beberapa negara makmur sementara yang lain tetap terjebak dalam kemiskinan, meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah."
Hausmann memulai dengan analogi yang membuat Kabayan langsung memahami.
"Bayangkan ekonomi global sebagai hutan raksasa. Setiap pohon adalah produk yang diperdagangkan—dari pisang sampai ponsel pintar. Perusahaan adalah monyet yang melompat dari pohon ke pohon. Pohon-pohon yang berdekatan membutuhkan kemampuan serupa, pohon yang berjauhan membutuhkan kemampuan sangat berbeda."
Dia menunjukkan peta ruang produk yang penuh titik-titik berwarna-warni.
"Korea Selatan berhasil melompat dari tekstil (pinggiran) ke semikonduktor (inti) karena mereka secara sistematis membangun kemampuan yang diperlukan. Tiongkok melompat dari pertanian ke hampir semua sektor manufaktur. Vietnam melompat dari beras ke elektronik."
Kabayan mengangkat tangan. "Pak, Indonesia di mana posisinya?"
Hausmann menunjuk area pinggiran yang dipenuhi titik-titik komoditas. "Indonesia masih di sini—pengekspor minyak kelapa sawit, batu bara, karet mentah. Produk-produk yang bisa dibuat banyak negara, kompleksitas rendah, nilai tambah minimal."
Peringkat yang Menyakitkan
"Economic Complexity Index (ECI) atau Indeks Kompleksitas Ekonomi mengukur kemampuan produktif suatu negara," lanjut Hausmann sambil menampilkan peringkat global.
Jepang peringkat 1 dengan skor 2,28, Korea Selatan peringkat 5 dengan 1,83, Tiongkok peringkat 21 dengan 1,16. Vietnam peringkat 60 tetapi terus naik.
"Indonesia?" tanya Kabayan dengan suara parau.
"Peringkat 84 dengan skor -0,41," jawab Hausmann tanpa basa-basi. "Bahkan di bawah Vietnam yang baru memulai industrialisasi 30 tahun lalu."
Prof. Yuan menepuk pundak Kabayan yang lesu. "Karena itu saya mengajak Anda ke sini. Agar Anda tahu persis di mana posisi Indonesia dan bagaimana cara naik dalam ruang produk."
Hausmann kemudian menjelaskan Product Complexity Index (PCI) atau Indeks Kompleksitas Produk yang mengukur seberapa rumit suatu produk.
"Komputer kuantum memiliki PCI tinggi karena hanya segelintir negara yang bisa membuatnya. Minyak sawit mentah memiliki PCI rendah karena banyak negara bisa memproduksinya."
Dia menampilkan grafik yang membuat Kabayan ngilu.
"Korea Selatan menguasai produk-produk dengan PCI tinggi: semikonduktor memori (PCI 2,1), panel layar (PCI 1,8), komponen kapal (PCI 1,6). Tiongkok menguasai spektrum luas dari PCI rendah sampai tinggi. Vietnam fokus pada perakitan elektronik dengan PCI menengah."
Kemampuan dan Pengetahuan: Kunci Transformasi
"Indonesia ekspornya didominasi produk PCI negatif," lanjut Hausmann. "Minyak sawit (-1,2), batu bara (-0,8), karet (-0,9). Produk-produk yang kompleksitasnya malah turun seiring waktu."
Kabayan menyeringai getir. "Jadi kami mengekspor barang yang makin mudah dibuat orang lain?"
"Tepat sekali," jawab Hausmann. "Sementara Korea dan Tiongkok bergerak ke produk yang makin sulit ditiru."
"Capabilities atau kemampuan adalah blok bangunan untuk membuat produk kompleks," jelas Hausmann sambil menampilkan diagram jaringan.
Korea berhasil karena mereka secara sistematis mengakumulasi kemampuan: dari tekstil ke baja, dari baja ke pembuatan kapal, dari pembuatan kapal ke elektronik, dari elektronik ke semikonduktor.
Prof. Yuan menambahkan, "Tiongkok melakukan hal serupa tetapi lebih masif. Mereka tidak hanya mengakumulasi kemampuan di satu sektor, tetapi bersamaan di berbagai sektor."
Investasi riset dan pengembangan, pengembangan sumber daya manusia, transfer teknologi—semuanya dilakukan secara paralel.
"Vietnam fokus pada manufaktur berorientasi ekspor untuk mengakumulasi kemampuan," lanjut Hausmann. "Mereka mulai dari perakitan pakaian, naik ke perakitan elektronik, sekarang mulai riset dan pengembangan. Langkah demi langkah, sistematis."
Baca Juga: Si Kabayan di Harvard (2): Refleksi Jelang HUT Kemerdekaan RI
Kabayan mengangkat tangan lagi. "Pak, Indonesia punya kemampuan apa?"
Hausmann menunjukkan matriks kemampuan Indonesia. "Indonesia kuat di ekstraksi sumber daya alam dan pertanian dasar. Lemah di manufaktur, teknologi, inovasi. Kesenjangan sangat besar antara bahan mentah dan produk olahan."***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.