Jakarta, TheStanceID – Presiden Prabowo Subianto resmi meluncurkan 80 ribu Koperasi Desa Merah Putih (KMP).

Peluncuran digelar di Klaten, Jawa Tengah, pada Senin (21/7/2025) secara simbolis dengan memencet tombol usai menyampaikan pidato.

"Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, pada siang hari ini, Senin 21 Juli 2025, saya Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia meluncurkan kelembagaan 80 ribu Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, terima kasih," katanya.

Peluncuran itu dihadiri Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan, Menteri Desa Yandri Susanto, Menteri Koperasi Budi Arie, Mendagri Tito Karnavian, dan Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi. Selain itu, juga dihadiri 8.523 kepala desa dan lurah se-Jateng.

Dalam sambutannya, Prabowo mengibaratkan koperasi seperti lidi. Satu lidi menurutnya memang tidak berarti, namun jika ratusan lidi dijadikan satu maka akan menguatkan perekonomian.

"Konsep koperasi adalah konsep untuk mereka yang lemah," kata Prabowo.

Selain membangun konsolidasi ekonomi nasional, pemerintah, lewat Koperasi Merah Putih, juga ingin mengentaskan kemiskinan, membuka lapangan kerja, hingga meringkas rantai distribusi bahan-bahan pokok bagi masyarakat.

Khusus soal rantai pasok, harapannya peran tengkulak dapat ditekan dan konsumen mampu memperoleh produk dengan harga lebih terjangkau.

"Yang desa, nelayan punya pendingin lebih besar untuk bikin es dan menjaga ikan. Kemudian akan ada gerai-gerai untuk sembako. Ada gerai untuk simpan pinjam," kata Prabowo.

Tindak Lanjut Inpres No 9 Tahun 2025

Prabowo - resmikan koperasi

Peluncuran Koperasi Merah Putih ini merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang berlaku sejak 27 Maret 2025.

Pemerintah menyebut anggaran untuk pembentukan Koperasi Merah Putih mencapai Rp400 triliun.

Nantinya, setiap koperasi bisa mendapat pinjaman modal maksimal Rp3 miliar dari bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).

Sebanyak 80 ribu Koperasi Merah Putih diklaim telah terbentuk di tingkat desa atau kelurahan di seluruh Indonesia. Sebagian besar koperasi itu disebut pemerintah sudah berbadan hukum.

Secara umum, program KMP berdiri dengan berbagai fasilitas pendukung seperti kantor koperasi, gerai sembako, unit simpan pinjam, klinik serta apotek desa, ruang penyimpanan, hingga layanan distribusi logistik.

KMP dbentuk dengan tiga strategi, yaitu pembentukan koperasi baru, pengembangan koperasi yang sudah ada, dan revitalisasi koperasi yang belum optimal.

Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan menargetkan seluruh koperasi di Indonesia dapat beroperasi dalam jangka waktu tiga bulan ke depan.

"Gerakan ini sudah dimulai dari bawah, sudah berjalan. Saya pastikan 80.081 [koperasi] berdiri tegak. Satu juta pengelola siap mendampingi masyarakat desa membangun koperasi desa," katanya.

"Kita harus berdaulat. Kita harus berdikari memberdayakan petani melalui sistem yang adil dan berkelanjutan. Kita bangun ekosistem pertanian berbasis desa," tambah Zulkifli.

Langkah Cegah Korupsi

Koperasi merah putih

Selain menargetkan seluruh koperasi berjalan daam tiga bulan, pemerintah juga berusaha penyelenggaraan Koperasi Merah Putih (KMP) bebas dari korupsi.

Kementerian Koperasi, awal Mei 2025 lalu, menggandeng Kejaksaan Agung untuk mengawal Koperasi Merah Putih.

Lewat aplikasi Jaga Desa, Kejaksaan Agung membuka kanal pengaduan terhadap program di tingkat desa, termasuk Koperasi Merah Putih.

"Kejaksaan Agung siap mengawal program ini melalui pendampingan hukum, legal audit, dukungan skema pembiayaan, serta perlindungan terhadap unit usaha koperasi," kata Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin.

Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi juga mengajak partisipasi masyarakat mengawasi keuangan koperasi.

"Presiden (Prabowo) tidak mau terulang 'Ketua Untung Duluan', pelesetan dari Koperasi Unit Desa (KUD) dan itu harus diawasi oleh seluruh masyarakat," ujar Budi Arie pada wartawan usai peresmian.

Untuk diketahui, Indonesia punya riwayat dengan model top-down policy ketika meluncurkan Koperasi Unit Desa (KUD) pada masa pemerintahan Soeharto (1966-1998). Namun, kebijakan ini tidak berlangsung maksimal.

Tujuan pemerintah untuk memajukan desa-desa di Indonesia justru berbuah simalakama. Pendirian koperasi, ketika Orde Baru berkuasa, justru dipakai para predator ekonomi untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah.

Potensi Korupsi di Koperasi Merah Putih

Muhamad Saleh - Celios

Center of Economic and Law Studies (CELIOS), merilis hasil studi yang menjelaskan risiko korupsi dan kebocoran anggaran di program Koperasi Merah Putih mencapai Rp4,8 triliun, dari 80 ribu koperasi yang ditargetkan pemerintah.

Angka Rp4,8 triliun dikumpulkan dari risiko kebocoran anggaran di tingkat desa sebesar 20%, berdasarkan studi Bank Dunia dari total potensi pembiayaan bank milik negara (Rp3 miliar).

Dengan asumsi semua Koperasi Merah Putih mendapatkan pembiayaan yang sama, nilai risiko kebocoran per unit koperasi adalah Rp60 juta setiap tahunnya. Dikalikan dengan 80 ribu koperasi, maka diperoleh Rp4,8 triliun.

Celah korupsi, masih mengutip studi CELIOS, berpeluang ditemukan di semua tahapan koperasi.

"Misalnya, saat pencairan modal awal, yang berasal dari dana desa ataupun pinjaman bank, rawan korupsi berupa mark-up biaya pendirian ataupun koperasi fiktif. Di tahap ini, pelaku korupsi bisa berasal dari kepala desa, pejabat daerah, maupun notaris," jelas peneliti CELIOS, Muhamad Saleh, dalam keterangannya, Senin (21/7/2025).

Sementara di tahap penyelenggaraan, potensi korupsi bisa lebih banyak lagi yakni di delapan tahap. Mulai dari mark-up nilai proyek hingga penggunaan dana koperasi untuk kepentingan pemilu. Penyelewengan bisa melibatkan elite desa hingga elite partai.

Riset Celios KMP 1

Untuk diketahui, studi CELIOS ini melibatkan 108 kepala desa di 34 provinsi sebagai responden. Hasilnya, sekitar 65% responden mengindikasikan adanya celah besar di tata kelola Koperasi Merah Putih.

Pendeknya, program ini rentan disusupi praktik kecurangan serta korupsi terselubung.

"Kasus korupsi dana BUMDes sudah banyak, anggaran pendirian Kopdes MP yang besar justru akan menciptakan korupsi yang semakin besar," ujar salah satu Perangkat desa di Sulawesi Utara dalam survey CELIOS.

Studi CELIOS juga menemukan banyak sekali masalah hukum dalam koperasi Merah Putih. Misalnya, secara kelembagaan, koperasi Merah Putih melanggar UU Perkoperasian yang menegaskan bahwa koperasi harus dibentuk secara sukarela oleh anggota.

Namun, pada kenyataannya, Koperasi Merah Putih justru berdiri dari Instruksi Presiden (Inpres). Begitu pula dengan struktur, model usaha, dan mekanismenya juga seragam dari pusat.

Negara, dengan mengeluarkan instruksi presiden, surat edaran antarkementerian, serta pengkondisian kepala desa sebagai ketua koperasi, terlihat menjadikan koperasi perpanjangan tangan kebijakan pusat.

"Ini jelas menyimpang dari watak koperasi yang digagas pendiri bangsa, Mohammad Hatta," kata Saleh.

Potensi Konflik dengan Aturan Desa dan BUMDes

Riset Celios KMP 2

Dalam studinya, CELIOS juga mengungkap Koperasi Merah Putih berpotensi berkonflik dengan aturan tentang desa dan badan usaha milik desa (BUMDes).

Pasalnya, pemerintah desa dipaksa membentuk koperasi Merah Putih dengan cara berutang ke Bank sebesar Rp3 miliar dengan tenor pengembalian selama 10 tahun dan APBN sebagai agunan.

Lebih parah, pembayaran cicilan bukan berasal dari keuntungan koperasi, melainkan dari pemotongan dana desa.

"Artinya, dana yang semestinya untuk pembangunan desa malah dipakai untuk membayar cicilan pinjaman yang keuntungannya belum pasti," ungkap Saleh.

Kondisi inilah yang membuat 76% responden menyatakan menolak skema pembiayaan koperasi Merah Putih. Sebab, skema tersebut berisiko menciptakan korupsi terstruktur.

Pengurus koperasi tidak menanggung risiko, tetapi bisa menikmati dana besar tanpa pertanggungjawaban langsung kepada warga.

Untuk itu, CELIOS meminta Pemerintah meninjau ulang program koperasi Merah Putih. Upaya ini dapat dimulai dengan menyusun ulang kerangka hukum dan kelembagaan. Perlu ada ruang konsultasi publik serta pengawasan independen sejak awal perancangan kebijakan.

Ketimbang pendekatan top-down, pemerintah perlu mendorong pembentukan koperasi berbasis konteks lokal dan kebutuhan warga. Koperasi juga perlu mempertimbangkan kemitraannya dengan BUMDes dan organisasi komunitas desa.

Pendanaan koperasi Merah Putih pun tidak boleh mengandalkan utang yang dijamin dana desa.

"Skema ini berisiko mengganggu stabilitas keuangan Indonesia, mengingat koperasi saat ini menjadi unit usaha dengan angka kredit macet terbesar," ungkap Saleh.

Apalagi, CELIOS menemukan risiko gagal bayar koperasi selama enam tahun masa pinjaman mencapai senilai Rp85,96 triliun dimana pemerintah desa akan menanggung risiko ini secara langsung.

Alih-alih memberdayakan masyarakat melalui koperasi, menurut CELIOS, tanpa koreksi arah, koperasi Merah Putih bisa berubah menjadi bencana tata kelola, dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap narasi ekonomi kerakyatan. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.