Si Kabayan di Harvard (2): Refleksi Jelang HUT Kemerdekaan RI
Indonesia kehilangan Revealed Comparative Advantage (RCA) beberapa produk manufaktur yang dulu kompetitif. Tekstil, furnitur, elektronik dasar turun karena tak ada peningkatan kemampuan. Indonesia perlu pergeseran fundamental dari ekstraksi sumber daya, meski dimusuhi pemburu rente.

Oleh GWS, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah didapuk menjadi direktur utama sebuah BUMN dan kini memimpin sebuah perusahaan teknologi. Aktif menuangkan tulisan dan pemikirannya tentang isu keindonesiaan, kebangsaan, dan kemajuan negara, meski dengan nama samaran.
Hausmann kemudian menjelaskan konsep kedekatan (proximity)—seberapa dekat suatu produk dengan produk lain dalam hal kemampuan yang dibutuhkan.
"Korea melompat dari tekstil ke elektronik karena kedekatannya tinggi—sama-sama membutuhkan manufaktur presisi. Tiongkok melompat dari alat pertanian ke mesin karena kedekatannya masuk akal."
"Kepadatan (density) mengukur seberapa banyak produk kompleks yang dekat dengan kemampuan yang sudah dimiliki," lanjutnya.
Korea dan Tiongkok memiliki kepadatan tinggi—mereka bisa berdiversifikasi ke banyak produk kompleks. Indonesia kepadatannya rendah—terjebak di ekstraksi sumber daya.
Vietnam berhasil karena mereka secara strategis memilih produk dengan kepadatan tinggi untuk membangun batu loncatan ke produk yang lebih kompleks.
"Dari pertanian padi ke budidaya udang, dari perakitan tekstil ke perakitan elektronik. Setiap langkah meningkatkan kemampuan mereka dan membuka peluang baru."
Baca Juga: Si Kabayan di Harvard (1): Refleksi Jelang HUT Kemerdekaan RI
"Opportunity Gain Index (OGI) atau Indeks Perolehan Peluang mengukur nilai potensial yang bisa diraih negara dengan mengembangkan kemampuan baru," jelas Hausmann.
Korea di era 1970-an memiliki OGI tinggi karena mereka berposisi baik untuk melompat ke industri berat. Tiongkok di era 1990-an memiliki OGI sangat tinggi karena pasar domestik yang besar dan posisi strategis.
"Vietnam sekarang memiliki OGI menengah tetapi naik—mereka di posisi manis untuk naik ke manufaktur yang lebih kompleks," tambah Prof. Yuan.
"Indonesia?" tanya Kabayan dengan was-was.
"OGI rendah dan menurun," jawab Hausmann blak-blakan. "Indonesia semakin terspesialisasi di produk dengan peluang terbatas untuk naik kelas. Lintasannya mengkhawatirkan."
Keunggulan Komparatif Terungkap: Realitas vs Potensi
Hausmann menampilkan peta panas Revealed Comparative Advantage (RCA) yang menunjukkan keunggulan komparatif berbagai negara. RCA atau Keunggulan Komparatif Terungkap mengukur apakah pangsa ekspor suatu negara di produk tertentu lebih tinggi dari rata-rata global.
"Korea memiliki RCA tinggi di semikonduktor, kapal, mobil. Tiongkok memiliki RCA di hampir semua barang manufaktur. Vietnam memiliki RCA di tekstil, perakitan elektronik, makanan laut."
"Indonesia RCA-nya terkonsentrasi di produk berbasis sumber daya," katanya sambil menunjuk peta yang didominasi warna merah di sektor komoditas. "Minyak sawit, batu bara, karet, tembaga, nikel. Diversifikasinya minimal."
Yang membuat Kabayan panas dingin: "Indonesia sebenarnya kehilangan RCA di beberapa produk manufaktur yang dulu kompetitif. Tekstil, furnitur, elektronik dasar—semua turun karena tidak ada peningkatan kemampuan."
"Korea adalah praktik terbaik dari teori Hausmann," kata Hausmann dengan antusias. "Park Chung-hee secara intuitif memahami navigasi ruang produk meskipun teori ini belum ada saat itu."
Fase 1 (1960-an): Korea mulai dari tekstil dan manufaktur ringan—produk dengan kedekatan tinggi ke industri berat.
Fase 2 (1970-an): Dorongan Industri Kimia Berat—melompat ke baja (POSCO), petrokimia, mesin. Akumulasi kemampuan yang sistematis.
Fase 3 (1980-1990-an): Elektronik dan otomotif—memanfaatkan kemampuan yang ada untuk produk dengan kompleksitas lebih tinggi.
Fase 4 (2000-an-sekarang): Semikonduktor, layar, energi terbarukan—dominan di produk dengan PCI tertinggi.
"Korea berhasil karena mereka tidak melompat secara acak," jelas Hausmann. "Setiap langkah diperhitungkan berdasarkan kedekatan, kepadatan, dan perolehan peluang. Kebijakan industri pemerintah selaras dengan logika ruang produk."
Tiongkok: Pembangunan Kemampuan Paralel Masif
"Tiongkok melakukan sesuatu yang belum pernah ada," kata Prof. Yuan dengan bangga. "Akumulasi kemampuan bersamaan di berbagai sektor dengan skala yang belum pernah ada dalam sejarah."
Alat Pertanian → Mesin: Memanfaatkan kemampuan pengerjaan logam yang ada.
Tekstil → Elektronik: Membangun kemampuan manufaktur presisi.
Kimia Dasar → Material Canggih: Investasi riset dan pengembangan yang sistematis.
Perakitan → Inovasi: Transfer teknologi plus pengembangan mandiri.
"Keunggulan Tiongkok adalah pasar domestik yang besar yang memungkinkan skala ekonomi dan eksperimentasi," tambah Hausmann. "Mereka bisa menanggung kegagalan di beberapa sektor karena kesuksesan di sektor lain mengompensasi."
"Vietnam menunjukkan pemilihan produk yang cerdas," kata Hausmann. "Mereka tidak mencoba melompat terlalu jauh—memilih produk yang berdekatan dengan kemampuan yang ada."
Beras → Makanan Olahan: Memanfaatkan pengetahuan pertanian.
Tekstil → Perakitan Elektronik: Membangun disiplin manufaktur.
Budidaya → Pengolahan Makanan Laut: Meningkatkan rantai nilai langkah demi langkah.
Perakitan → Pusat Riset dan Pengembangan: Menarik investasi asing untuk transfer kemampuan.
"Lintasan Vietnam berkelanjutan karena setiap langkah membangun fondasi untuk langkah selanjutnya," jelas Prof. Yuan. "Tidak seperti negara kaya sumber daya yang sering melewati langkah-langkah perantara."
Indonesia dalam Lensa Hausmann: Diagnosis yang Pahit
Hausmann kemudian fokus pada Indonesia dengan analisis yang membuat Kabayan mulas.
"Indonesia adalah kasus klasik kutukan sumber daya dan jebakan pendapatan menengah. Meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah, lintasannya terjebak di produk kompleksitas rendah."
Masalah Akar:
Kesenjangan Kemampuan: Kesenjangan besar antara ekstraksi sumber daya dan manufaktur
Kepadatan Rendah: Sedikit peluang untuk naik kelas dari ekspor yang ada
RCA Menurun: Kehilangan daya saing bahkan di produk tradisional
Sistem Inovasi Lemah: Investasi riset dan pengembangan minimal, transfer teknologi terbatas
"Indonesia perlu pergeseran fundamental dari ekstraksi sumber daya ke pembangunan kemampuan," kata Hausmann tegas. "Tetapi transisinya akan menyakitkan karena struktur pencarian rente yang ada menolak perubahan."
Setelah seminar tiga hari di Harvard, Kabayan duduk di Sungai Charles sambil merenungkan semuanya. Prof. Yuan menemaninya sambil memakan sup kerang yang hangat.
"Yuan, saya merasa seperti orang buta yang tiba-tiba bisa melihat," kata Kabayan dengan suara serak.
"Selama ini saya kira Indonesia hanya butuh kehendak politik atau tata kelola yang baik. Ternyata masalahnya lebih fundamental—kami terjebak dalam ruang produk kompleksitas rendah."
Prof. Yuan mengangguk. "Teori Hausmann itu kuat karena menjelaskan mengapa beberapa negara dengan kondisi awal serupa bisa memiliki lintasan berbeda. Korea, Tiongkok, Vietnam—mereka memahami secara intuitif atau sengaja menavigasi ruang produk dengan cerdas."
Kebangkitan atau Kepunahan?
"Pertanyaannya sekarang," lanjut Prof. Yuan sambil menatap Kabayan, "apakah Indonesia bersedia melakukan transisi yang menyakitkan dari zona nyaman ekstraksi sumber daya ke zona ketidakpastian pembangunan kemampuan?"
Kabayan terdiam panjang. Sawah sudah terjual, tetapi pelajarannya tak ternilai. Dia sekarang tahu bahwa pembangunan ekonomi bukan tentang keberuntungan atau takdir, tetapi tentang navigasi strategis dalam ruang produk global.
"Saya harus pulang dan menceritakan ini kepada orang-orang," kata Kabayan akhirnya. "Mungkin mereka akan mengira saya gila karena menjual sawah untuk belajar teori ekonomi. Tetapi setidaknya saya tahu mengapa kami terjebak dan bagaimana cara keluar."
Prof. Yuan tersenyum. "Teori Hausmann memang pemeriksaan realitas yang keras. Tetapi pengetahuan adalah kekuatan. Dengan pemahaman yang tepat, Indonesia masih bisa mengubah lintasan—asal bersedia membayar harga transformasi."
Kabayan menatap langit Boston yang mulai gelap.
Di suatu tempat di luar sana, Korea sedang memproduksi semikonduktor, Tiongkok sedang membangun reaktor fusi, Vietnam sedang merakit ponsel pintar. Sementara Indonesia masih menggali batu bara dan menebang kelapa sawit.
Tetapi apakah masih ada harapan untuk perubahan navigasi? Ataukah Indonesia sudah terlalu dalam zona nyaman ekstraksi sumber daya untuk melarikan diri ke zona petualangan manufaktur?
Mungkin sudah saatnya Indonesia bersedia memanjat pohon kompleksitas ekonomi, meskipun tinggi dan berbahaya.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.