Jakarta, TheStanceID - Warganet menyorot pemberian gelar doktor kehormatan atau honoris causa Raffi Ahmad oleh lembaga pendidikan Thailand. Sayangnya, tak kunjung ada transparansi soal pemenuhan ketentuan terkait layanan mereka di Indonesia.

Lewat unggahan di sosial media Instagram pada Jumat (27/9) lalu, Raffi Ahmad yang didampingi istrinya Nagita Slavina dan dua putranya menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universal Institute of Professional Management (UIPM) di Thailand.

Gelar yang didapatkan merupakan gelar kehormatan di bidang ‘Event Management and Global Digital Development’. Prosesi pemberian gelar ini langsung diserahkan oleh Profesor Kanosak Likitpriwan, selaku Presiden UIPM Thailand.

Raffi Ahmad yang dikenal sebagai artis, presenter, dan juga pengusaha ini diketahui hanya menamatkan pendidikan formalnya di sekolah menengah atas (SMA).

Ia sempat bersekolah di SMA Negeri 3 Jakarta sebelum akhirnya pindah ke SMA Negeri 16 Jakarta. Setelah lulus, Raffi sempat berkuliah di Universitas Paramadina dan Universitas Terbuka. Sayangnya, tak sampai lulus.

Merespon gelar Raffi, netizen mempertanyakan asal kampus, dan kredibilitasnya sebagai pemberi gelar. Termasuk, mempertanyakan apakah Raffi Ahmad yang tak lulus S1 bisa mendapatkan gelar setara S3 ini.

Tak Lulus S1 Raih Gelar Doktor?

Untuk diketahui, bahwa di Indonesia, Pemberian gelar doktor kehormatan telah diatur melalui Peraturan Menristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan.

Dalam aturan tersebut, memang tidak ada aturan khusus yang mensyaratkan bahwa penerima gelar harus lulus S1 ataupun S2.

Pasal 1 hanya menyebutkan bahwa gelar kehormatan hanya bisa diberikan oleh perguruan tinggi yang mempunyai program doktor dengan peringkat terakreditasi A atau Unggul.

Sang penerima, disebutkan sebagai perseorangan yang layak mendapatkan penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan.

Kementerian pun benar-benar tidak melarang atau membatasi kategori penerima gelar Doctor Honoris Causa. Disebutkan bahwa “perguruan tinggi memiliki kewenangan penuh untuk menentukan siapa saja yang mendapat gelar ini.”

Pemberian gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) diusulkan oleh senat fakultas dan dikukuhkan oleh senat universitas/institut yang memiliki wewenang menyelenggarakan program pendidikan Doktor.

Adapun prosedur pengusulan, pemberian, dan penggunaan gelar Doktor Kehormatan diatur oleh Menteri. Sang penerima doktor kehormatan nantinya berhak mencantumkan gelar di depan namanya, dengan singkatan Dr. (H.C.).

Meski demikian, masih menurut aturan tersebut, Menteri dapat mencabut gelar doktor kehormatan seseorang apabila tidak memenuhi persyaratan berdasarkan Permenristekdikti.

Selain Raffi Ahmad, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga pernah mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Diponegoro (Undip) meski tak menyelesaikan pendidikan formal di perguruan tinggi.

Sementara di luar negeri, pemberian gelar ini kepada masyarakat umum yang tidak mengenyam pendidikan tinggi juga hal yang biasa. Musisi Taylor Swift pernah mendapatkannya.

Raffi diberi gelar Honoris Causa oleh UIPM karena dinilai “berkontribusi pada perkembangan entertainment di Indonesia selama puluhan tahun.”

Eksistensi Kampus Sempat Dicurigai

Di luar polemik kelayakan Raffi Ahmad mendapatkan gelar doktor kehormatan, warganet juga mencurigai eksistensi UIPM sebagai lembaga pendidikan.

Berawal dari warganet di akun X yang melakukan penelusuran alamat kampus UIPM di Thailand yang ternyata bukan berupa gedung perkuliahan melainkan sebuah hotel atau apartemen.

Selain itu, kantor UIPM di Indonesia yang berada di Plaza Summarecon Bekasi Jawa Barat juga hanya berupa ruangan kosong tanpa aktivitas.

Sementara penelusuran di website UIPM–yang saat ini sudah tidak bisa diakses, disebutkan bahwa kita bisa mengajukan gelar yang kita inginkan mulai dari S1 hingga profesor.

Kecurigaan akan kualitas kampus juga berusaha dituntaskan lewat pencarian di sejumlah situs basis data perguruan tinggi, baik dalam dan luar negeri.

Misalnya, saat dilakukan pencarian di situs Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), tidak ditemukan pencatatan akreditasi UIPM. Padahal data PTN maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang resmi, dipastikan tercatat di situs ini.

Saat menulis kata kunci "Universal", yang muncul hanyalah Akademi Manajemen Informatika & Komputer Universal, serta Universitas Universal.

Situs pemeringkatan perguruan tinggi dunia seperti Webometrics, QS World University Rankings, Times Higher Education (THES), dan Scimago Institutions Rankings (SIR) juga tidak menunjukkan data terkait UIPM.

Kemudian, klaim UIPM telah dilindungi oleh Yayasan UIPM, sesuai dengan SK Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia -Republik Indonesia) Nomor AHU- 0004575.AH.01,04 - 2018 juga dipertanyakan.

Berdasarkan penelusuran TheStanceID, pencarian yayasan di website Administrasi Hukum Umum (AHU) milik Kementerian Hukum dan HAM RI tidak berujung pada keberadaan yayasan bernama UIPM.

Mengaku Terdaftar dan Diakui

Alih-alih berdiri sebagai perguruan tinggi yang tercatat di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), UIPM mengklaim telah diakreditasi oleh Asosiasi Universitas Perguruan Tinggi dan Universitas Profesional (UAPCU), yakni badan akreditasi untuk sektor universitas, lembaga, dan pendidikan akademik.

Deputy Legal Affairs UIPM Helena Pattirane menyatakan lembaganya adalah perguruan tinggi yang terdaftar dan diakui. Hal itu disampaikan melalui surat pernyataan nomor 01./SP.UIPM/IX/2024 yang diunggah di Instagram @Uipmun, Senin (30/9/2024).

Keberadaan UIPM dalam menjalankan Pendidikan Tinggi dengan format Pendidikan Tinggi Distance Education (Pendidikan Jarak Jauh) dan menggunakan sistem pendidikan Full 100 % Online Learning, Virtual Campus atau Non Real Campus secara Jelas dan dipublikasikan baik di website resmi UIPM

Helena menjelaskan sistem pembelajaran UIPM adalah 100% online. Dia membenarkan alamat UIPM di Bangkok, Thailand bukan berupa kampus yang besar seperti bayangan netizen ketika melihat kampus pada umumnya.

Dia menegaskan bahwa UIPM adalah perguruan tinggi internasional yang terdaftar pada 24 Desember 2012. UIPM memiliki perwakilan di 8 negara yaitu Singapura, Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, India, Afrika, dan Amerika Serikat (AS).

Di Indonesia, lokasi kampus UIPM berada di Bekasi.

Melalui pernyataan yang sama, pihak kampus mengklaim bahwa kampusnya sudah diakreditasi secara internasional. Penyerahan gelar kepada Raffi Ahmad juga sudah diakui secara sah oleh lembaga-lembaga pendidikan luar negeri.

"Prosedur gelar Doctor Honoris Causa (Dr. HC) dari UIPM yang diberikan kepada individu berprestasi diakui sah oleh QAHE (Quality Assurance Higher Education) sebagai lembaga akreditasi internasional dan juga oleh lembaga pendidikan dari Order of Kingdom Prussia," ujar Helena dalam surat pernyataan itu.

Apa Kata Peraturan Hukum?

Menanggapi keriuhan itu, Direktur Dewan Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Tjokorde Walmiki Samadhi, menegaskan bahwa UIPM tidak tercatat dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) Kemdikbudristek.

Artinya, lembaga ini tidak diakui secara formal oleh pemerintah Indonesia. “UIPM ini tidak terdaftar di PDDikti, yang berarti tidak berhak menerbitkan ijazah yang diakui oleh pemerintah,” jelas Tjokorde pada Selasa (1/10/2024).

Meski demikian, selama UIPM tidak mengeluarkan ijazah nasional atau menyelenggarakan pendidikan formal di wilayah hukum Indonesia, lembaga tersebut aman-aman saja atau tidak melanggar peraturan.

Johni Najwan, anggota Dewan Eksekutif BAN-PT menjelaskan bahwa gelar doktor honoris causa memang tidak selalu terkait dengan pendidikan formal. Namun ada peraturan yang harus dipatuhi oleh semua lembaga pendidikan ketika hadir di wilayah hukum Indonesia dan/atau memberikan layanan program pendidikan jarak jauh (PJJ).

Berdasarkan Permendikbud Nomor 53 Tahun 2018, universitas asing yang ingin mendirikan kampus fisik di Indonesia diwajibkan berstatus nirlaba, terakreditasi di negaranya, dan masuk dalam peringkat 200 perguruan tinggi terbaik dunia.

Kampus yang ingin menawarkan PJJ, menurut keterangan resmi BAN-PT, juga harus berizin menteri dan memenuhi standar nasional pendidikan tinggi. “Perguruan tinggi yang tidak mematuhi ketentuan bisa dikenai sanksi pidana, hingga denda maksimal Rp1 miliar,” kata Johni.

Hal-hal itulah yang dipertanyakan netizen, dan sayangnya belum dijawab UIPM.

Alih-alih menjawab soal status nirlaba, akreditas, urutan peringkat universitas, dan izin menteri, UIPM mengancam akan mengambil langkah hukum bagi pihak-pihak yang dianggap menyebarkan fitnah atau pencemaran nama baik.

"Bahwa apabila ada para pihak yang melakukan fitnah dan pencemaran nama baik melalui media elektronik bagi Lembaga UIPM UN ECOSOC cabang UIPM Thailand dan alumni UIPM Thailand, maka kami selaku Kuasa Hukum Lembaga UIPM UN ECOSOC akan mengambil langkah hukum bagi pihak-pihak tersebut,” tegas Helena. (est)