Jakarta, TheStanceID - Presiden Prabowo Subianto menyetujui pemulangan 5 terpidana seumur hidup kasus narkoba ‘Bali Nine’ ke negara asalnya, Australia. Ini bakal menjadi yang pertama Indonesia memindahkan narapidana ke luar negeri.
Hal ini disampaikan Menteri Hukum Supratman Andi Agta, dalam keterangan tertulis, Minggu (25/11/2024). Kelima napi tersebut adalah Si Yi Chen, Michael Czugaj, Matthew Norman, Scott Rush, dan Martin Stephens.
“Presiden telah menyetujui secara prinsip [pemindahan lima napi tersebut ke negara asal] atas dasar kemanusiaan, dan menjaga hubungan baik dengan negara-negara sahabat," katanya.
'Bali Nine' adalah sebutan bagi sembilan warga negara Australia yang ditangkap saat menyelundupkan narkoba jenis heroin ke Bali pada 2005.
Dua pemimpin mereka yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, sudah dieksekusi mati di Indonesia pada 2015. Tiga tahun kemudian, satu terpidana mati akibat kanker sementara satu orang lainnya dibebaskan.
Perdana Menteri (PM) Australia, Anthony Albanese, mengangkat isu pemulangan terpidana narkoba ini saat bertemu Prabowo di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Peru pada 15-16 November lalu.
Australia bukan satu-satunya yang meminta pemulangan warga negaranya yang ditahan di Indonesia karena kasus narkoba. Filipina dan Prancis juga melakukan hal yang sama.
Dua pekan lalu, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. mengklaim telah mencapai kesepakatan dengan Indonesia untuk memulangkan terpidana mati kasus narkoba Mary Jane Veloso ke Filipina.
Sebagai informasi, Mary Jane, warga Filipina, ditangkap di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, pada 2010 karena kedapatan membawa 2,6 kilogram heroin di kopernya.
“Setelah lebih dari satu dekade melakukan diplomasi dan konsultasi dengan pemerintah Indonesia, kami berhasil menunda eksekusi matinya,” kata Marcos Jr. dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (20/11/2024).
Selain Filipina, Prancis juga telah meminta pemulangan seorang warga negaranya yang ditahan di Indonesia.
Permintaan Pemulangan Sudah Diterima
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengakui pemerintah sudah menerima surat dari para duta besar negara sahabat terkait pemindahan napi Warga Negara Asing (WNA) ke negara asalnya.
“Ini penting untuk menjaga hubungan baik dengan negara sahabat. Namun, kita juga harus memastikan bahwa negara mitra menghormati proses hukum di Indonesia,” katanya.
Politikus Partai Gerindra ini mengatakan Indonesia belum memiliki prosedur tetap mengenai pemindahan narapidana WNA. Namun, pemerintah akan memproses perumusan prosedur secepatnya.
Salah satu syarat yang diminta, negara asal napi WNA itu harus mengakui putusan pengadilan Indonesia. Sebab, pemerintah berwenang mengadili WNA yang melakukan tindak pidana di wilayah NKRI.
Dia juga mengatakan pemulangan ini akan bersifat resiprokal. Ketika Indonesia melepaskan seorang napi WNA kembali ke negara asal, Indonesia pun menginginkan WNI yang ditahan di luar negeri bisa diperbolehkan pulang.
Menurut data Kementerian Luar Negeri, ada 233 warga negara Indonesia yang terancam pidana mati di luar negeri per September 2022.
Syarat Pemulangan Napi WNA Dirumuskan
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan sedang merumuskan syarat dari pemerintah RI terkait pemindahan lima napi anggota Bali Nine ke negara asalnya.
"Secara internal, pemerintah RI sangat aktif merumuskan hal ini, baik pada jajaran Kemenko Kumham Imipas, Kementerian Hukum, maupun Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan," ujar Yusril seperti dikutip Antara, Selasa (26/11/2024).
Dia berharap dalam waktu dekat pemerintah Indonesia dan Australia segera bertemu guna merumuskan kesepakatan mengenai pemindahan lima napi tersebut.
Pertemuan itu nantinya juga akan membahas soal resiprokal, yaitu pemulangan napi warga negara Indonesia (WNI) yang ditahan di Australia.
Kata Yusril, proses pemulangan napi Bali Nine diharap bisa selesai pada Desember 2024, sebagaimana dikemukakan Presiden RI dengan Perdana Menteri Australia di Peru.
"Makin cepat selesai, makin baik," katanya.
Transaksional dan Menerobos Prosedur
Namun, dosen hubungan internasional Universitas Bina Nusantara, Dinna Prapto Raharja, menilai Prabowo mengambil pendekatan yang sangat transaksional dalam menyepakati pemulangan terpidana kasus narkoba ke Filipina dan Australia.
Pasalnya, kesepakatan pemulangan anggota “Bali Nine” itu dcapai hanya melalui pertemuan singkat antara Prabowo dan Albanese di sela KTT APEC di Peru.
“Ini juga bahaya. Masa urusan peradilan mau di-bypass oleh eksekutif lewat proses pembicaraan informal? [Pembicaraan] side meeting itu kan informal,” katanya.
Seharusnya, kata Dinna, ada pengajuan resmi untuk memulangkan terpidana narkoba atau melakukan penukaran tahanan (exchange of prisoners) antar dua negara.
Lalu ada proses perundingan formal di tataran teknis dalam beberapa pertemuan. Prosesnya pun mesti melibatkan pihak-pihak terkait, dari pejabat yang berwenang hingga masyarakat sipil yang terdampak.
Karena prosesnya yang instan, Dinna menduga ada manfaat lain yang didapat di balik aksi pemulangan napi WNA tersebut.
“Yang tidak terungkap tentu adalah permintaan di luar dari exchange of prisoners itu. Apakah memang cuma masalah prisoners? Saya sih ragu cuma sebatas itu,” katanya, seperti dilansir BBC Indonesia.
Kebijakan Hukum Suka-Suka
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai kesepakatan Prabowo dan Albanese tentang pemulangan Bali Nine menunjukan bahwa Prabowo tidak melibatkan para birokrat yang mengerti aturan yang berlaku.
Hikmahanto mengatakan, hingga saat ini belum ada Undang-Undang (UU) terkait pemindahan narapidana di Indonesia, ataupun perjanjian antara Indonesia dan negara lain mengenai hal tersebut.
Selain itu, instrumen bantuan timbal balik dalam masalah pidana atau Mutual Legal Assistance (MLA) masih belum memungkinkan diterapkan di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana disebutkan MLA tidak memberikan wewenang untuk pengalihan pidana.
Selain itu, Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan menyebut ketentuan mengenai pemindahan narapidana perlu diatur dengan undang-undang.
Hikmahanto mencontohkan di masa lalu, ketika Indonesia pernah menolak memulangkan terpidana narkoba Schapelle Corby dengan alasan ketiadaan UU terkait itu.
Ironisnya, Mary Jane yang sama-sama terjerat kasus narkoba kini justru mendapat perlakuan berbeda. Hal ini akan memunculkan opini di dunia internasional bahwa hukum di Indonesia tidak konsisten alias suka-suka.
“Dalam konteks demikian, kebijakan antara satu pemerintahan dan pemerintahan lain di Indonesia di mata negara lain jadi tidak ada konsistensi,” kata Hikmahanto kepada TheStanceID.
Oleh sebab itu, dia menekankan perlunya keberadaan UU yang mengatur pemindahan narapidana, hingga para petugas pemasyarakatan tidak berada dalam situasi yang berpotensi melanggar tugas, karena melepas narapidana tanpa dasar hukum.
Upaya Whitewashing Prabowo?
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menuding Prabowo ingin mencari peluang kerja sama lebih lanjut dengan negara-negara terkait, entah terkait ekonomi ataupun keamanan.
Atau, Prabowo ingin memoles citranya. Pasalnya selama ini Prabowo kerap dikaitkan dengan dugaan pelanggaran HAM-nya, dikenal berkarakter keras dan kerap menyampaikan narasi anti-asing dalam retorikanya.
Namun belakangan ia merangkul sejumlah aktivis 1998 dan kini ingin terlihat bermurah hati memulangkan para terpidana narkoba ke negara asalnya.
“Itu mungkin bagian dari politik whitewashing-nya,” kata Usman. (est)