Normalisasi Penyimpangan
Normalisasi atas hal-hal buruk.

Oleh Basfin Siregar, jurnalis dengan pengalaman lebih dari 20 tahun. Bermula dari aktivis pers kampus di LPM (Lembaga Pers mahasiswa) Hayamwuruk, dia bergabung di majalah Gatra sebagai wartawan dan redaktur, dan kemudian di Belasting sebagai Redaktur Pelaksana. Kini dia aktif sebagai penulis buku dan penerjemah karya sastra.
Film Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982) karya sutradara Chaerul Umam adalah potret bagus mengenai masyarakat yang sakit.
Film itu berkisah tentang seorang guru agama bernama Ibrahim, muda dan idealis (diperankan dengan luar biasa oleh El Manik), yang ditugaskan ke sebuah desa terpencil.
Tapi dia kaget. Masyarakat desa itu seperti "layang-layang putus", terombang-ambing tanpa pegangan nilai. Norma-norma sosial jungkir balik.
Mereka mabuk-mabukan, berjudi, dan berzina. Korupsi, penyimpangan, menjadi norma. Semua kebejatan itu seakan normal dan menjadi "local wisdom."
Ibrahim yang datang dengan semangat perubahan justru dimusuhi, karena dianggap hendak merusak "tatanan sosial".
Bagaimana suatu masyarakat bisa sesakit itu?
Jawabannya ada pada kekuasaan. Penguasa desa itu, Harun, seorang pejudi, adalah pangkal masalah.
Dengan kekayaan dan pengaruhnya, dia mempengaruhi nilai-nilai di desa itu.
Oposisi dibungkam. Pemuka agama "dibeli." Norma sosial perlahan digeser. Mereka yang tetap sadar dibuat tak berdaya.
Sulaeman (diperankan Rachmat Hidayat), seorang guru agama yang lebih senior, dan lebih dulu bermukim di desa itu, adalah contohnya.
Ketergantungannya secara ekonomi kepada Harun membuatnya tidak mampu berbuat apa-apa terhadap kebejatan Harun dan pengikutnya. Dia larut, menyerah.
Dia akhirnya hanya diam dan menyaksikan saja semua penyimpangan itu, menjadi silent devil.
"Saya takut lapar," kata Sulaeman akhirya kepada Ibrahim, antara malu dan menyesal.
Titian Serambut Dibelah Tujuh --salah satu karya terbaik Chaerul Umam-- memang film religi yang muram, memberat, tapi juga indah.
Skenarionya, yang ditulis dengan sangat bagus oleh Asrul Sani (meraih Piala Citra untuk skenario terbaik pada 1983), terasa hampir puitis.
Film itu bicara tentang kebejatan moral yang disokong kekuasaan, yang memanipulasi, mengkooptasi, dan akhirnya mempengaruhi norma sosial di masyarakat.
Relevan di Masa Kini
Apakah Chaerul sedang menyindir situasi di Indonesia?
Mungkin tidak. Film itu dibuat di era Orde Baru yang opresif, karena itu ia tidak bicara politik, melainkan moralitas dan masyarakat.
Namun, pesannya bahwa masyarakat pun bisa "sakit", terombang-ambing seperti "layang-layang putus" karena pengaruh kekuasaan, adalah pesan yang akan terus bergema, apalagi di tahun politik seperti sekarang.
Karena kita tahu bahwa norma sosial yang bergeser, bahkan jungkir balik, tidak hanya terjadi di dalam fiksi, tapi juga di dunia nyata.
Politik uang, misalnya.
Tiap menjelang pemilu atau pilkada, "Harun dan pengikutnya" akan berusaha "membeli" masyarakat dengan hartanya, demi mempertahankan kekuasaan.
Praktik itu sangat marak hingga suap tidak lagi terasa seperti suap. Ia seakan normal, bukan hal buruk.
Ditambah jargon "terima uangnya, tapi pilih sesuai hati nurani", makin bergeserlah nilai-nilai. Penerima suap berilusi bahwa hal buruk belum terjadi sepanjang dia tidak mengikuti keinginan si pemberi suap.
Padahal hal buruk sudah terjadi, yaitu pergeseran nilai suap dari tadinya buruk menjadi normal.
Inilah normalisasi penyimpangan, yang saat ini di dunia politik Indonesia, makin sering terjadi.
Dulu di awal reformasi, nepotisme termasuk tiga setan besar yang dilawan gerakan mahasiswa --KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Tapi makin ke sini, nepotisme makin terasa lumrah. Politik dinasti di berbagai daerah mulai dilihat sebagai hal yang tak terelakkan, dan akhirnya menjadi normal.
Pilpres 2024 lalu, di mana anak seorang presiden yang masih menjabat bisa ikut berkontestasi, dan akhirnya menang, makin mengukuhkan normalisasi itu.
Seakan-akan tidak ada lagi yang tabu, semua nilai bisa digeser.
Lantas sejauh mana normalisasi penyimpangan bisa ditarik? Sayangnya, bisa dibilang nyaris tak terhingga.
Dalam kasus ekstrim seperti di Israel, masyarakat bahkan bisa diarahkan untuk menerima pembantaian 180 ribu jiwa--kebanyakan wanita dan anak-anak--sebagai hal normal.
Inilah layang-layang putus.
Barangkali karena itu juga, kita sempat melihat upaya untuk "menormalkan" pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU PIlkada. Bisa jadi, ada dugaan bahwa masyarakat Indonesia akan menerima penyimpangan itu.
Tapi siapa menyangka, respon yang muncul adalah demonstrasi besar-besaran. Tagar #PeringatanDarurat menggema.
Demonstrasi itu tidak hanya diikuti mahasiswa, tapi berbagai lapisan masyarakat, termasuk (di Jakarta), oleh kalangan emak-emak paruh baya.
Yang esensial dari perlawanan itu bukanlah keberhasilannya menggagalkan revisi UU Pilkada, yang terlihat diarahkan untuk mengakomodir sosok tertentu yang belum cukup umur untuk maju ke kontestasi politik.
Bukan, bukan itu. Perlawanan itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih mempunyai nilai yang tetap dipegang teguh terkait demokrasi, hukum dan keadilan. Tidak semua penyimpangan bisa ditolerir, tidak semua bisa diterima sebagai hal normal.
Kita belum jadi layang-layang putus, belum jadi masyarakat sakit.***