Jakarta, TheStanceID - Dia terbunuh dalam serangan udara Israel di Beirut pada Jumat (27/9/2024) bersama beberapa komandan kelompok muslim Syiah di Lebanon. Namun sejarah membuktikan bahwa perlawanan bakal tetap hidup.

Lahir pada tahun 1960 di Beirut, Sekretaris Jenderal Hizbullah Sayyid Hassan Nasrallah adalah anak sulung dari 9 bersaudara yang dibesarkan oleh keluarga pedagang sayur.

Ayahnya memberi nama Hassan, nama cucu pertama Nabi Muhammad, dan Nasrallah yang berarti ‘kemenangan Tuhan.’

Keluarganya sempat mengungsi pada tahun 1975 di awal perang saudara Lebanon. Tiga tahun kemudian, Nasrallah bergabung dengan Gerakan Amal, sebuah kelompok politik dan milisi muslim Syiah yang didirikan oleh ulama Iran-Lebanon Musa al-Sadr.

Selama revolusi tersebut, Nasrallah bertemu dengan para pemimpin Syiah dan tokoh revolusioner dunia selama perjalanannya di Irak dan Iran pada tahun 70-an dan 80-an. Pertemuan itu membuatnya siap untuk menjalankan peran yang lebih besar.

Pada tahun 1982, Nasrallah beralih ke Hizbullah, milisi yang baru dibentuk oleh komunitas Syiah Lebanon dan didukung Iran untuk melawan invasi Israel ke Lebanon selatan. Karirnya menanjak dan dipercaya menjadi Kepala Dewan Eksekutif Hizbullah pada tahun 1985.

Pada tahun 1992, setelah Israel membunuh Abbas al-Musawi, pemimpin Hizbullah yang juga mentor Nasrallah, dia bersumpah melanjutkan jalan al-Musawi.

Pidatonya di awal mengemban mandat itu menegaskan bahwa kematian bukanlah kekalahan, melainkan bagian dari perjalanan untuk meraih kemenangan di mata Allah.

Dikenal sebagai orang yang menepati janji yang diucapkan dalam tiap pidato berapi-apinya, Nasrallah memang terbukti berhasil membawa Hizbullah berkembang selama lebih dari 30 tahun menjadi kekuatan politik dan militer utama di Kawasan.

Di bawah Nasrallah, Hizbullah tumbuh menjadi milisi paling tangguh di Timur Tengah. Mereka mengadopsi taktik perang gerilya sembari menyusun tim tempur elit, yakni Pasukan Radwan, dan memperluas kemampuan roket, rudal, dan drone jarak jauh.

Pada 2021, Nasrallah mengklaim kekuatan Hizbullah telah mencapai 100.000 pejuang. Dalam beberapa pidato dia bahkan mengindikasikan bahwa Hizbullah memiliki senjata pemusnah massal yang hanya akan digunakan jika organisasi itu di tubir kematian.

Memilih Merawat Kebinekaan

Nasrallah memainkan peran penting dalam memperkuat posisi Hizbullah di percaturan politik Lebanon.

Dia mereformasi aras pergerakan Hizbullah pada tahun 2009 dengan fokus pada perlawanan terhadap musuh eksternal, dan membatalkan tujuan menciptakan republik Islam di Lebanon.

Nasrallah memilih menghormati keragaman agama di negara itu. Lebanon adalah rumah besar bagi umat Kristen, Islam (syiah dan sunni), dan Druze.

Di bawah kepemimpinannya, partai ini memenangkan 12 kursi parlemen pada tahun 1992 dan 15 kursi pada tahun 2022, menjadikannya pemain penting dalam politik Lebanon.

Di tingkat internasional, Nasrallah juga sukses menjalin hubungan diplomatik dengan raksasa dunia seperti Rusia dan China, meski lembaganya adalah aktor non-negara dan bahkan dikategorikan sebagai teroris oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.

Warisan utama Nasrallah adalah kemenangan militer Hizbullah melawan Israel. Pada tahun 2000, Hizbullah memaksa Israel mundur dari Lebanon Selatan setelah bertahun-tahun perang gerilya.

Pada tahun 2006, selama Perang Lebanon, Hizbullah kembali menahan serbuan Israel, menjadikannya sebagai satu-satunya milisi atau organisasi militer non-negara di Arab yang pernah dan mampu memukul balik tentara Israel.

Dalam setahun terakhir hidupnya, Nasrallah turun mendukung Palestina sejak 8 Oktober 2023. Pidatonya menginspirasi banyak orang, khususnya umat Islam yang merindukan aksi nyata melawan kezaliman Israel di tengah diamnya poros muslim Sunni.

Menjaga Etika Konflik

Perjuangan Hizbullah juga menjadi contoh nyata akan adab atau etika perang dalam Islam. Meski terkendala teknologi, Hizbullah konsisten menyasar target militer di Israel manakala Israel membabi buta membombardir perkampungan Lebanon.

Selama melakukan perjuangan yang sulit itu, Nasrallah mengaku mendapatkan gaji US$1.300 atau sekitar Rp20 juta tiap bulan. Berangkat dari keluarga miskin, dia tak lantas silau akan kekayaan dan tetap hidup sederhana meski menjadi king maker di Lebanon.

Israel akhirnya berhasil membunuhnya setelah mengirim 83 bom penghancur bunker GBU-31, yang berharga Rp3,6 miliar per buah. Total, Israel merogoh kocek Rp300 miliar hanya untuk membunuh seorang Hassan Nasrallah.

Seolah sudah mengerti akan nasibnya, Nasrallah dalam pidato terakhirnya (merespon peledakan ribuan pager atau penyeranta oleh Israel) memberikan sinyal bahwa Tuhan akan segera memanggilnya:

Saya mungkin tidak akan tinggal lama bersama kalian. Prosedur telah dirancang agar kita siap. Kita akan melanjutkan jalan ini ... bahkan jika kita mati syahid, kita semua dan rumah kita dihancurkan di atas kepala kita, kita tidak akan meninggalkan pilihan Perlawanan Islam.

Nubuatnya terbukti.

Nasrallah kini bersama kawan seperjuangannya yang telah syahid yakni Presiden Iran Ibrahim Raisi, Ketua Biro Politik Hamas Ismael Haniyeh, serta Komandan Korps Garda Revolusi Islami (Islamic Revolutionary Guard Corp/IRGC) Qasem Soleimani.

Mereka sama-sama meninggalkan kefanaan jelang usia 63 tahun, usia dimana Nabi Muhammad kembali ke Sang Pencipta, untuk menjemput 'nasrallah.' (ags)