"Darah Itu Merah, Jenderal", Mengenang Sosok DN Aidit di Film G30S PKI yang Mengarang Tafsir Al Quran
Dia ulama yang mewariskan karya tafsir Al Quran, tapi lebih terkenal sebagai pemeran DN Aidit.

Jakarta, TheStanceID - Syu'bah Asa. Demikian namanya. Tiap tahun di era Orde Baru, Syu'bah selalu muncul di layar TV. Jutaan orang hapal wajahnya.
Betapa tidak. Dialah pemeran sosok DN Aidit di film Pengkhianatan G30 S PKI yang dulu selalu tayang di TV tiap 30 September.
Syubah agak gemuk, kulit sawo matang (di fillm), rambut ikal, dan digambarkan memimpin gerakan pengkhianatan itu.
"Darah itu merah, Jenderal," demikian kutipan terkenal dari film itu saat adegan penyiksaan terhadap para jenderal.
Citra Syu'bah sebagai DN Aidit sangat kuat di masyarakat gara-gara film itu. Karena itu tidak banyak yang tahu kalau Syu'bah Asa, si "DN AIdit" ini adalah seorang ulama: dia mengarang tafsir Al Quran.
Siapa Syu'bah Asa?
Syu'bah Asa adalah seorang sastrawan terkenal Indonesia. Ia menulis cerita pendek, puisi, novel, sekaligus penerjemah.
Syu'bah lahir di Pekalongan pada 21 Desember 1941, dan besar dalam tradisi keislaman yang sangat kuat. Ayahnya, kiai Ahmad Sanusi, adalah sosok yang sangat suka dengan syair Barzanji.
Barzanji adalah syair yang berisi puji-puji dan menceritakan kehidupan Nabi Muhammaad SAW. Syair ini sangat populer di Indonesia karena sering dibacakan dalam acara Maulid Nabi.
Barzanji berasal dari kitab Mawlid al-Barzanji, karya ulama Jafar Hasan al-Barzanji asal Madinah di abad 17.
Syu'bah misalnya pernah bercerita bahwa ia diberitahu ayahnya bahwa setelah lahir, ayahnya membacakan Barzanji kepada Syu'bah yang masih bayi selama 40 malam. Itu merupakan bentuk kasih sayang sekaligus doa dari seorang ayah pada anaknya.
Syu'bah sungguh beruntung karena besar di lingkungan keluarga para penghapal Quran. Ayahnya, ibunya, pamannya, mbah, adik mbah, semuanya adalah penghapal Quran.
Syu'bah pun digembleng dengan pendidikan Al Quran sejak kecil. Ia bahkan pernah menjadi juara kedua MTQ tingkat anak-anak se-kecamatan.
Lepas dari Pekalongan, Syubah lalu mengambil pendidikan guru agama di Yogyakarta sembari nyantri di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia lalu ia masuk IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Fakultas Ushuluddin jurusan Filsafat.
Syu'bah Sang Sastrawan
Saat di Yogyakarta, Syu'bah bergabung dengan bengkel Teater yang ketika itu bermarkas di rumah WS Rendra. Ketika itu Syu'bah lagi menerjemahkan syair Barzanji ke dalam bahasa Indonesia. Ia juga sering mendendangkan Barzanji.
Rendra yang mendengar pun tertarik. Oleh Syu'bah, Rendra pun diajak untuk mendengarkan syair Barzanji secara utuh, dengan mengajak Rendra ke sebuah acara sholawatan.
Rendra pun makin terinspirasi dan berniat menggubah Barzanji menjadi pentas teater. Tiga tahun kemudian, pada 1970, untuk pertama kalinya Barzanji dipentaskan oleh Bengkel Teater Rendra di Taman Ismail Marzuki.
Pementasan itu juga bisa dibilang salah satu titik awal penetrasi tradisi keislaman ke dalam seni teater di Indonesia --karena peran Syu'bah,
Syu'bah melakukan banyak pekerjaan sejak masih di Yogyakarta. Ia pernah jadi guru sastra Arab di PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas), berdagang batik keliling Indonesia, dan sebagainya.
Tapi Syu'bah paling lama bekerja sebagai wartawan. Ia menjadi redaktur majalah mingguan Tempo (1971-1987), mengasuh rubrik Seni dan Agama, lalu majalah Editor (1987-1988), lalu menjadi redaktur di majalah Panji Masyarakat (1989-1999).
Ia juga aktif menulis cerpen, sajak atau kritik seni. Karya-karya terutama banyak dimuat majalah sastra Horison. Ia juga pernah menulis novel remaja berjudul Cerita di Pagi Cerah yang diterbitkan Balai Pustaka (1960).
Dari aktivitas di dunia seni inilah sutradara Arifin C. Noer yang pada 1982 sedang menggarap proyek film propaganda G30S PKI jadi tertarik dan menawari Syu;bah untuk memerankan sosok DN Aidit.
Maka bekenlah Syubah sebagai DN Aidit.
Syubah Sang Mufassir
Tapi sayang sekali bila Syu'bah lebih terkeal karena sosok DN Aidit! Sebab, pengetahuan agama Syu'bah sudah mencapai level mufassir (penafsir) Al Quran.
Selama di majalah Panji Masyarakat, Syubah mengasuh sebuah rubrik khusus bernama "Dalam Cahaya Al Quran". Rubrik itu berisi tafsiran Syu'bah terhadap ayat-ayat Al Quran yang kebetulan sesuai dengan fenomena yang lagi tren di masyarakat.
Misalnya, ketika terjadi penculikan dan pembunuhan aktivis oleh rezim Orde Baru pada 1998, Syubah membahas surat Al Maidah ayat 32, yang menegaskan bahwa barang siapa membunuh seseorang bukan karena ia melakukan kerusakan di muka bumi, maka itu seperti membunuh semua manusia.
Dengan fasih Syu'bah menjelaskan tafsir ayat tersebut, mengutip pendapat dari Kitab Al-Mughni.
Kitab Al-Mughni adalah kitab fiqih klasik karya Imam Muwaffaquddin Ibnu Quadamah, ulama besar abad 12. Kitab ini merupakan salah satu kitab fiqih yang dianggap berstatus ensiklopedia dari era para ulama salaf.
Dari sini saja sudah bisa terlihat luasnya pengetahuan ilmu agama sang pemeran DN Aidit ini.
Warisan Terbesar Syu'bah
Syu'bah meninggal dunia pada 2011, dalam usia 68 tahun, karena komplikasi penyakit stroke dan jantung.
Tapi ia sudah mewariskan suatu mahakarya. Mahakarya itu bukannya peran dia sebagai DN Aidit di film yang bikin trauma itu, melainkan sebuah kitab tafsir Al Quran.
Selama 10 tahun menjadi redaktur Panji Masyarakat (1989-1999), tiap pekan Syubah menulis tafsir untuk rubrik "Dalam Cahaya Al Quran", membahas fenomena sosial politik pekan itu, lalu mengaitkannya dengan ayat-ayat Al Quran.
Banyak tema dibahas, dari mulai kolusi, taubatan nasuha, hingga harta haram. Tema tafsir itu memang beragam karena menyesuaikan dengan tema sosial-politik yang lagi tren pekan itu (lazimnya majalah mingguan).
Dalam membahas ayat, Syubah selalu dengan lincah mengutip pendapat para mufassir terdahulu sebelum menyampaikan pendapatnya tersendiri. ia juga terkadang menjelaskan asbabun nuzul (asal-usul turunnya ayat) dalam kolomnya.
Pada tahun 2000, kumpulan tulisan tafsir Syubah di majalah Panji Masyarakat itu diterbitkan oleh Gramedia dengan judul Dalam Cahaya Al Quran: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik.
Apakah itu Kitab Tafsir?
Ya. Perlu ditegaskan bahwa Syubah tidak menganggap kolom-kolomnya di rubrik Dalam Cahaya Al Quran itu sebagai esai. Ia sendiri menyatakan kalau tulisan kolom itu memang tafsir Al Quran.
Kolom tafsir selama 10 tahun itu, ketika dibukukan menjadi 482 halaman., di tambah XX1 halaman berisi pendahuluan dan pengantar oleh Kuntowijoyo.
Di bagian belakang buku itu, ada indeks yang menjadi rujukan Syubah dalam menulis kolom tafsir mingguannya.
Ada 30 kitab tafsir yang jadi rujukan, terdiri dari 18 kitab tafsir berbahasa Arab, baik yang tergolong tafsir klasik maupun modern, 7 kitab tafsir berbahasa Indonesia dan Jawa, 2 kitab tafsir berbahasa Inggris, dan 3 terjemahan Al Quran berbahasa Indonesia.
Di buku itu, almarhum kiai Cholil Bisri (ayah KH Yahya Cholil Staquf, ketum PBNU saat ini), pengasuh pondok pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, memberi komentar sebagai berikut:
“Munculnya saudaraku Syu’bah Asa sebagai perhimpunan dan penafsir ayat-ayat ijtima’iyah tentu mengundang decak, sebab masih banyak ulama berpendirian bahwa Al-Qur’an yang Kalamullah itu ditempatkan pada posisi yang tidak boleh disentuh. Mudah-mudahan akan bermunculan tanggapan adil-kritis dari kiai-kiai muda, yang pasti akan memperlengkap temuan..."
Inillah identitas Syu'bah sebenarnya, seorang ulama yang telah mewariskan sebuah karya tafsir bagi dunia Islam di Indonesia.
Hingga kini, tafsir Cahaya ala Syu'bah yang dikategorikan tafsir tematik-kontekstual, masih sering jadi kajian terutama di jurnal-jurnal kajian tafsir Al Quran, dan ikut memperkaya khazanah tafsir Indonesia.
Jadi, bila nonton film G30S PKI dan melihat sosok DN Aidit, ingatlah pemeran sosok itu adalah seorang ulama.
Syubah memang beken di masyarakat karena perannya sebagai DN Aidit, tapi dia lebih layak dikenang karena karya tafsirnya. (bsf)
Sumber:
- Syu'bah Asa, Dalam Cahaya Al Quran, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik (Gramedia, 2000)
- Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Teraju, 2003)