Misinformasi Makna Subsidi

Salah kaprah pemerintah mendefinisikan makna subsidi memicu rencana pengurangan subsidi tarif KRL.

By
in Social Podium on
Misinformasi Makna Subsidi
penumpang kereta rel listrik jabodetabek

Oleh Agus Supriyanto, jurnalis yang mengabdi di Tempo selama 17 tahun, hingga sempat ditugasi menjadi analis di PT Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT). Kini aktif di Surakarta sebagai pelaku agro-industri dengan bendera Tritunggal Farm.


Pemerintah hobi menciptakan polemik dalam pengambilan kebijakan, sehingga memancing pro dan kontra. Salah satunya adalah rencana pengaturan subsidi tarif kereta rel listrik (KRL) yang akan berbasis nomor induk kependudukan (NIK).

Kementerian Perhubungan tengah mengkaji skema subsidi KRL Commuter Line Jabodetabek berbasis NIK tersebut. Publik mengetahuinya setelah Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025 terungkap.

Dalam dokumen tersebut, belanja subsidi berskema Public Service Obligation (PSO) tahun 2025 untuk PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, ditetapkan sebesar Rp4,79 triliun. Anggaran ini untuk operasional Kereta Api (KA) ekonomi jarak jauh, KA ekonomi jarak sedang, KA ekonomi jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, KRD ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan LRT Jabodebek.

"Penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek," sebagaimana tertulis dalam Buku Nota Keuangan 2025, Kamis (29/8/2024).

Idenya dasarnya begini: masyarakat yang tergolong sebagai kelompok menengah ke bawah akan tetap menikmati tarif subsidi, sementara mereka yang tergolong sebagai kelompok menengah ke atas akan dikenai tarif lebih mahal.

Tujuannya, untuk menekan tingginya anggaran subsidi. Pemerintah mengasumsikan bahwa subsidi tarif KRL tidak tepat sasaran, karena banyak pengguna KRL adalah masyarakat yang tergolong mampu.

Subsidi, dengan kata lain, dianggap sebagai santunan untuk kaum miskin.

Subsidi Adalah Santunan?

Bila menengok data yang dipaparkan Kementerian Perhubungan, sejak 2016 KRL Commuter Line memang tidak pernah melakukan penyesuaian tarif. Yakni, Rp 3.000 untuk 25 kilometer pertama dan diakumulasi setiap 10 kilometer berikutnya sebesar Rp 1.000.

Akibatnya, angka subsidi PSO ke KAI Commuter untuk biaya operasional dan perawatan terus membengkak dari Rp388 miliar (2016) menjadi Rp2,4 triliun per 2023. Subsidi 2023 itu terhitung naik 38% jika dibandingkan dengan tahun 2022.

Sebanyak 331 juta orang menikmati subsidi tersebut dengan menjadi penumpang KAI Commuter Line. Tidak semuanya miskin, tentu saja. Namun karena moda transportasi umum adalah jasa yang sifatnya elastis, kenaikan tarif yang tak rasional dipastikan memicu perpindahan massal ke moda transportasi pribadi.

Khusus untuk Commuter Line Jabodetabek, jumlah penggunanya mencapai 291 juta atau hampir 90% dari seluruh pengguna. Artinya, saban hari hampir 1 juta rombongan kereta (roker) berjubel naik 1.090 perjalanan kereta listrik di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi.

KRL Commuter idealnya harus tetap disubsidi karena merupakan angkutan massal yang efektif mengurangi kemacetan, mengurangi emisi karbon, dan menggerakkan ekonomi. Nilainya pun hanya Rp1,6 triliun, dari total subsidi kereta secara keseluruhan.

Disebut "hanya," karena subsidi tersebut dinikmati oleh 331 juta pengguna, yang berarti per orang mendapat Rp4.880 setahun. Angka ini terbilang sangat kecil jika dibandingkan dengan manfaat yang diciptakan, mulai dari menggerakkan ekonomi, mengurai kemacetan, dan mengurangi polusi karbon.

Ini Kata Studi Bank Dunia

Asumsi bahwa subsidi salah sasaran dan dinikmati orang mampu adalah dalih yang ngawur. Sebab, KRL ini dipakai oleh semua golongan.

Di mana-mana, subsidi transportasi umum bersifat universal. Tidak ada pembedaan penumpang berdasarkan golongan ekonomi.

Kecuali, pemerintah memang berencana menggunakan KRL, entah bagaimana caranya, menjadi alat negara untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin seperti halnya Program Keluarga Harapan (PKH), atau Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Bank Dunia sewindu yang lalu telah mengulas soal ini.

Dalam laporan berjudul "Affordability and Subsidies in Public Urban Transport : What Do We Mean, What Can Be Done?", Nicolas Estupinan bilang bahwa semua subsidi transportasi publik saat ini ditujukan untuk membuat transportasi menjadi lebih terjangkau bagi publik.

Sampai sekarang, tidak ada alat ukur yang bisa dipakai untuk tahu apakah subsidi transportasi publik merupakan kebijakan yang "pro kaum miskin." Pun, tidak ada indikasi bahwa subsidi transportasi publik berdampak pada pengurangan kaum miskin.

Kalaupun hendak "dipaksakan" agar subsidi transportasi bisa sekaligus menjadi alat pengentasan kemiskinan, justru caranya sudah benar seperti sekarang: beri tarif murah kepada pengguna, dari sisi permintaan (demand side), dan bukan kepada perusahaan transportasi (supply side).

"Subsidi dari sisi suplai, di banyak bagian, cenderung netral atau regresif; sementara subsidi dari sisi permintaan menunjukkan kinerja lebih baik, meski kebanyakan di antaranya tidak memperbaiki distribusi pendapatan," tulis Nicolas dalam kesimpulan penelitian tersebut.

Pemakaian transportasi publik memang tak ditujukan mengurangi kemiskinan, melainkan mengurangi kemacetan dan polusi. Pengurangan subsidi KRL dengan dalih "tidak tepat sasaran" justru mencerminkan bahwa pemerintah tidak paham prinsip pengelolaan dan pengambilan kebijakan terkait transportasi publik.

Targetnya Bukan Cuma Kaum Miskin

Insentif, apresiasi dan subsidi ini seharusnya diperbanyak agar publik beralih dari kendaraan pribadi ke moda transportasi umum. Targetnya memang bukan melayani si miskin, melainkan menciptakan transportasi publik di ibu kota sehingga kualitas hidup masyarakat menjadi lebih baik.

Persoalan bakal kian pelik ketika bicara di tataran teknis pelaksanaan. Seleksi tarif KRL Commuter Line tahun depan akan menggunakan NIK. Bayangkan para roker yang berjubel di gerbong dan mengantri di pintu-pintu stasiun itu akan diharuskan melewati proses scanning tambahan.

Publik tentu masih ingat bahwa Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana menjalankan program makan siang gratis. Tujuannya bukan untuk mengentaskan kemiskinan, melainkan memperbaiki tingkat kesehatan anak-anak Indonesia dan mengurangi angka stunting.

Jika logika subsidi tarif KRL diberlakukan di sini, maka penerima makan siang harus menunjukkan NIK, sebelum dapat jatah ransum. Anak miskin akan mendapat porsi penuh, dan anak keluarga menengah dapat porsi setengah. Biar tidak salah sasaran, begitu?

Daripada membodohi publik dengan menyulap definisi subsidi seolah-olah hanya ditujukan untuk rakyat miskin, mestinya pemerintah jujur saja. Akui bahwa mereka tidak bisa lagi menanggung subsidi karena dana APBN tersedot ke alokasi lain, seperti makan siang gratis atau pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), misalnya.

Lalu, sampaikan ke publik bahwa tarif KRL harus dinaikkan. Sampaikan hitung-hitungan yang ciamik agar publik menerima. Dalam proses pengambilan kebijakan, hal ini bisa dijalankan dengan mudah, kecuali aparat pemerintah memang tak mampu menyusun kerangka kebijakan dengan logika sehat.***

\