Selasa, 29 Juli 2025
Term of Use Media Guidelines

Memudarnya Dolar Amerika Serikat Bisa Lapangkan Dominasi Renminbi

Renminbi berpeluang menjadi mata uang utama dunia meski China tak beralih menjadi rezim devisa bebas dan nilai tukar mengambang.

By
in Big Shift on
Memudarnya Dolar Amerika Serikat Bisa Lapangkan Dominasi Renminbi
Ilustrasi mata uang China yakni renminbi dan mata uang yuan versi digital. (Sumber: https://fbf.eui.eu/)

Muhammad Syarkawi Rauf

Oleh Muhammad Syarkawi Rauf, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2015-2018, pernah menjadi Direktur Utama BERDIKARI dan Komisaris Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI/IX dan kini aktif sebagai Chairman of Asian Competition Institute (ACI).

Kantor berita internasional France 24 yang berbasis di Paris, Prancis menerbitkan artikel berjudul “Trump's tariff storm a threat to dollar's dominance?” pada 17 April 2025.

Tulisan tersebut mempertanyakan berapa lama dolar Amerika Serikat (AS) dapat mempertahankan statusnya sebagai mata uang dominan dalam perdagangan dunia dan cadangan devisa bank sentral global.

Pengalaman menunjukkan bahwa dolar AS dan surat utang pemerintah AS berjangka waktu 10 tahun selalu menjadi save haven asset (berisiko rendah) saat terjadi turbulensi perekonomian global. Investor portofolio yang bersikap risk averse mengalihkan investasinya ke instrumen safe haven.

Namun, sejak Trump mengumumkan Trade War 2.0, posisi dolar AS sebagai mata uang safe haven dipertanyakan. Hal ini disebabkan oleh indeks nilai tukar dolar AS yang menurun dari 104,2 pada 2 April 2025 menjadi 103,2 pada 4 April 2025.

Padahal, sebagai safe haven, nilai indeks dan kurs dolar AS seharusnya menguat pada saat turbulensi.

Demikian juga dengan imbal hasil obligasi pemerintah AS berjangka waktu 10 tahun yang turun dari 4,17% (2/4/2025), menjadi 3,96% (4/4/2025). Lalu, naik menjadi 4,34% (9/4/2025) setelah penundaan pemberlakuan tarif.

Hal ini kontras dengan statusnya sebagai safe haven asset yang imbal hasilnya seharusnya turun.

Memudarnya peran dolar AS juga tercermin pada proporsi kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah AS, yaitu dari sekitar 50% pada tahun 2008 menjadi hanya 30% pada awal tahun 2025.

Tantangan Renminbi

yuan

Tergerusnya peran dolar AS sebagai cadangan devisa global dan porsinya dalam transaksi valuta asing over-the-counter tidak lantas digantikan oleh Renminbi (RMB).

Hingga saat ini, cadangan devisa bank sentral global dalam dollar AS masih 58% dan transaksi valuta asing over-the-counter sebesar 88% dari total transkasi.

Ada dua tantangan yang dihadapi oleh RMB untuk menjadi mata uang utama dunia. Pertama, tantangan terkait kebijakan pengendalian lalu lintas devisa yang ketat (capital control regim) dan kebijakan nilai tukar tetap (fixed exchange rate regim).

Ekonom Harvard Kennedy School Jeffrey Frankel (2011) dan ekonom Cornell University Eswar Prasad (2021) mengulas bahwa tanpa kebebasan aliran modal dan penerapan regim nilai tukar fleksibel, peran RMB akan selalu lebih kecil dari dolar AS dan tidak akan mendominasi transaksi internasional.

Masalah utama RMB adalah rendahnya capital account convertibility, salah satunya karena kurangnya ketersediaan RMB di pasar offshore untuk setiap saat dikonversi ke mata uang asing lainnya.

Hingga saat ini, pemerintah China melakukan pembatasan lalu lintas devisa keluar dan masuk ke China.

Kedua, institusi politik China bersifat eksklusif. Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam buku Why Nations fail: The Origin of Power, Prosperity and Poverty (2012) menilai kemajuan ekonomi suatu negara dalam jangka panjang hanya dapat dicapai dengan dukungan institusi yang inklusif dan memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk berpendapat.

Dalam jangka pendek, pertumbuhan ekonomi tinggi dapat dicapai tetapi sampai batas waktu tertentu, tanpa keterbukaan institusi politiknya maka pertumbuhan ekonomi China akan melambat.

Fenonenanya mulai terasa dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi China menurun dan diprediksi oleh International Monetary Fund (IMF) hanya 4% pada tahun 2025.

Solusi bagi China

Barry Eichengreen

Namun menurut ekonom senior Barry Eichengreen dari University of California (AS), RMB masih berpeluang menjadi mata uang utama dunia tanpa harus beralih dari rezim lalu lintas devisa terkontrol menjadi bebas.

Tidak perlu juga mengubah rezim nilai tukar tetap menjadi mengambang bebas.

Pemerintah China dapat memaksimalkan pembayaran ekspor dan impornya dengan sejumlah negara menggunakan mata uang RMB, mengingat total nilai perdagangan China setara dengan 12,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia pada tahun 2024.

Nilai perdagangan internasional China melonjak dari US$476 miliar (2000) ke US$6,163 triliun (2024). Nilai eskpornya mencapai US$3,575 triliun dan impornya sekitar US$2,587 triliun. Dari situ, pembayaran yang dilakukan dalam RMB hanya 20% saja.

Untuk itu, bank sentral China yaitu People Bank of China (POBC) yang mengontrol nilai tukar RMB terhadap dolar AS dalam rezim nilai tukar tetap, harus memiliki cadangan dollar AS yang besar. Hal ini diperlukan untuk mengintervensi pasar dalam rangka menjaga kestabilan nilai tukarnya terhadap dollar AS.

Pilihan lain bagi China, menurut Frankel (2011) dan Prasad (2021), POBC harus meliberalisasi sistem lalu lintas devisa dan menghilangkan pengawasan ketat atas transaksi valas, termasuk pengaturan jumlah, tempat dan waktu transaksi.

Baca juga: TIPS KEBIJAKAN: Menjaga Rupiah di Tengah Memudarnya Peran Amerika

Selain itu, POBC juga harus mengubah rezim nilai tukarnya dari fixed exchange rate regime menjadi floating atau managed floating exchange rate regime, seperti yang diadopsi dan diterapkan oleh Bank Indonesia (BI).

Perubahan ini akan menghindari tuduhan currency manipulation dari AS yang memicu perang dagang dengan tarif resiprokal ekstra tinggi.

Pilihan kebijakan ini memang berat bagi China karena berarti liberalisasi sektor keuangan, menuju rezim lalu lintas devisa bebas dan rezim nilai tukar fleksibel akan menurunkan kontrolnya terhadap perekonomiannya.

Konsep sacrifice ratio berlaku di situasi ini: pengorbanannya adalah RMB akan tetap menjadi mata uang kelas dua secara global setelah dolar AS.***

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\