Jumat, 25 Juli 2025
Term of Use Media Guidelines

Melestarikan Militerisasi Sipil dengan Ormas Paramiliter

Kemendagri menegaskan organisasi kemasyarakatan (ormas) tidak diperbolehkan menggunakan atribut atau seragam menyerupai TNI/Polri. Ormas paramiliter berseragam loreng dinilai kerap meresahkan masyarakat.

By
in Headline on
Melestarikan Militerisasi Sipil dengan Ormas Paramiliter
Ilustrasi Anggota Pemuda Pancasila berpakaian lengkap

Jakarta, TheStanceID – Keberadaan organisasi massa (ormas) berseragam militer masih kerap ditemukan.

Padahal ormas berseragam ala Tentara Nasional Indonesia (TNI) jelas dilarang dalam Undang-undang.

Dua hari lalu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan bahwa organisasi kemasyarakatan (ormas) tidak diperbolehkan menggunakan atribut atau seragam yang menyerupai TNI, Polri, maupun Kejaksaan.

Ini disampaikan Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya. Ia menyebut larangan tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, Pasal 60 Ayat 1, yang mengatur tata kelola ormas.

“UU Ormas ini bukan hal yang baru. Jadi banyak yang tidak paham, terutama kawan-kawan ormas. Seharusnya sangat paham. Tidak ada aturan baru, ini bukan aturan baru,” kata Bima saat ditemui di Kampus IPDN Jatinangor, Selasa (24/6/2025).

Larangan Ormas Pakai Seragam Loreng Bukan Aturan Baru

Bima Arya Sugiarto

Mantan Wali Kota Bogor itu menjelaskan, dalam UU tersebut secara jelas disebutkan bahwa ormas dilarang memakai atribut yang menyerupai lembaga negara, termasuk TNI dan Polri.

“Pasal 59 ayat 1 menyatakan tidak boleh menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan lembaga pemerintah. TNI dan Polri itu lembaga pemerintahan, seragam itu termasuk atribut,” jelasnya.

Selain itu, Bima juga mengutip pasal lain yang melarang ormas bertindak seperti penegak hukum.

“Pasal 59 ayat 3 huruf d menyatakan ormas tidak boleh berfungsi seperti penegak hukum. Penyelidikan, pemaksaan, penyegelan, itu dalam hal fungsi,” ujarnya.

Kepala daerah diminta bertindak tegas sesuai ketentuan hukum agar tidak terjadi penyalahgunaan simbol negara.

“Kepala daerah wajib menertibkan ormas yang mengenakan atribut serupa aparat penegak hukum. Ini sudah diatur dalam Pasal 59 dan 60 UU Ormas,” tegas Bima.

Ormas Beratribut Militer Dapat Menyesatkan Publik

Bahtiar - Kemendagri

Senada, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar, mengingatkan meskipun kebebasan berserikat dan berkumpul dijamin oleh konstitusi, aktivitas ormas tetap dibatasi oleh hukum.

“Berserikat dijamin, tapi dibatasi oleh hak warga negara lain sebagaimana Pasal 28J UUD 1945 dan UU Ormas. Tidak boleh memakai pakaian mirip jaksa, polisi, atau TNI. Itu harus ditertibkan,” katanya Bahtiar.

Kemendagri menilai penggunaan atribut menyerupai aparat dapat menyesatkan publik, melemahkan kewibawaan institusi negara, dan membuka ruang penyalahgunaan otoritas oleh pihak-pihak yang tidak berwenang.

Larangan ini, menurut Kemendagri, bukan sekadar soal simbolik, tetapi langkah preventif untuk menjaga ketertiban umum dan melindungi marwah institusi penegak hukum.

“Kami ingin memastikan tidak ada ormas yang mengambil alih fungsi simbolik negara. Ini penting agar masyarakat tidak terkecoh dan institusi tetap dihormati,” tambah Bahtiar.

DPR Dukung Langkah Kemendagri

Ahmad Sahroni

Terkait hal ini, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mendukung langkah Kemendagri tersebut. Menurut dia, keberadaan ormas yang mengenakan seragam bercorak mirip TNI atau Polri meresahkan masyarakat.

"Lagian sudah lama praktik ini meresahkan masyarakat. Mereka yang bukan aparat negara, tiba-tiba hadir di ruang publik dengan seragam militeristik lengkap, memberi kesan seolah-olah mereka punya wewenang hukum. Jadinya malah seolah selevel dengan tentara dan polisi," kata Sahroni dalam keterangannya, Senin (16/6/2025).

"Makanya saya minta polisi harus memastikan semua ormas nurut agar tak ada lagi yang petantang petenteng sok jagoan," tambahnya.

Politikus NasDem ini juga berharap Kemendagri memberikan tenggat waktu kepada seluruh ormas yang masih mengenakan atribut menyerupai aparat, agar segera mengganti seragam mereka.

“UU-nya sudah ada, tinggal ditegakkan. Saya harap Kemendagri kasih batas waktu, misalnya 30 hari, untuk ormas-ormas itu mengganti corak seragam. Kalau masih belum berubah atau malah beralasan, langsung saja jatuhkan sanksi, sampai pencabutan SK. Mau itu ormas kecil atau besar, gak ada urusan," pungkasnya.

Daftar Ormas yang Beratribut Militer

ormas militer

Berdasarkan catatan TheStanceID, ada sejumlah ormas di Indonesia yang seragamnya sangat mirip TNI. Berikut ini daftar diantaranya :

1. Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PKRI)

Ormas ini berpusat di Sukabumi Jawa Barat. Mulai dari pakaian dinas harian (PDH) hingga pakaian dinas lapangan (PDL) 90 persen hampir menyerupai pakaian dinas anggota TNI. Selain itu, aktivitas keseharian ormas ini diisi layaknya anggota militer, mulai dari latihan, seperti baris berbaris dan latihan perang.

2. Pemuda Panca Marga (PPM)

Ormas ini dikomandoi oleh Mantan Wakil Ketua DPRD DKI, Abraham Lunggana alias Haji Lulung dan bermarkas di wilayah Tanah Abang, Jakarta Pusat. PPM sangat kental dengan Pasar Tanah Abang dan Haji Lulung. Seragam ormas ini mirip TNI dengan motif loreng hijau sebagai warna dasarnya.

3. Ikatan Pemuda Karya (IPK)

Seragam IPK loreng dengan biru sebagai warna dasarnya. IPK berdiri 28 Agustus 1969 dan berpusat di Medan. Dahulunya organisasi ini berdiri sesuai dengan pendirian Sentral Organisasi buruh Pancasila (SOB Pancasila). Ormas ini bergerak pada pemberdayaan anak muda.

4. Pemuda Pancasila (PP)

Pemuda Pancasila (PP) adalah organisasi paramiliter yang didirikan pada 28 Oktober 1959 oleh Jenderal Abdul Haris Nasution. Organisasi ini dibentuk untuk menangkal ancaman komunisme dan menegakkan ideologi Pancasila. Ormas ini menggunakan seragam motif loreng oranye.

5. GRIB Jaya (Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jaya)

Organisasi masyarakat ini yang didirikan oleh Hercules Rosario Marshal pada tahun 2011. GRIB Jaya dibentuk Hercules dengan tujuan untuk memobilisasi jaringannya untuk mendapatkan dukungan politik tingkat akar rumput, terutama bagi Prabowo Subianto. Ormas ini menggunakan seragam motif loreng hijau dan baret merah ala Kopasus.

6. Barisan Serbaguna atau Banser NU

Cikal bakal Banser adalah BANU, sebuah gerakan kepanduan yang dibentuk oleh Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) pada tahun 1937. Warna cokelat loreng pada seragam Banser dipilih sebagai simbol perjuangan rakyat pada masa Agresi Militer Belanda dan bukan untuk meniru TNI.

Respon Ormas dan Sikap Kontradiktf Pemerintah

Puan Maharani

Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) mengkritik balik pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), atas kebijakan larangan ormas mengenakan seragam mirip TNI/Polri dan Kejaksaan maupun lembaga negara lainnya.

Ketua Pimpinan Pusat GP Ansor, Dwi Winarno, menjelaskan bahwa motif loreng pada seragam Banser bukan sekadar gaya militer, melainkan warisan sejarah dari para kiai sejak era 1960-an.

Corak tersebut disetujui langsung oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjabat Ketua Umum PBNU.

Dwi pun mempertanyakan sikap pemerintah yang dinilai kontradiktif, terutama dalam penggunaan atribut militer oleh unsur sipil.

Sebab, Kemendagri justru menggelar acara pembekalan atau retret kepala daerah hasil Pilkada 2024 dan para menteri Prabowo Subianto di Akademi Militer (Akmil) Magelang dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Sumedang, dengan mengenakan seragam full ala militer TNI.

"Pada saat retret kepala daerah justru sipil sekarang dimiliterisasi menggunakan seragam ala tentara. Ini logikanya menurut saya terlalu bermasalah pemerintah ini,” ujar Dwi.

Belum lagi adanya peraturan untuk seragam satpam yang diganti menjadi warna cokelat ala anggota Polri.

Menurut Dwi, hal itu menunjukkan pemerintah-lah yang sebenarnya mempengaruhi sipil untuk menggunakan atribut itu.

Memiliki Makna Historis

Banser

Senada, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pemuda Pancasila (PP), Arif Rahman, menekankan bahwa seragam loreng oranye milik PP memiliki makna historis tersendiri. Arif pun membantah bahwa seragam PP mirip TNI/Polri.

"Ya jadi gini, kita kan juga memakai seragam loreng itu kan ada sejarahnya, ada historisnya. Kalau dibilang mirip, mana ada tentara oranye warnanya. Itu sangat mencolok perbedaannya," ujar Arif dikutip dari Kompas.com, Kamis (19/6/2025).

Baik GP Ansor dan Pemuda Pancasila berharap ada ruang dialog untuk menjelaskan makna simbolik seragam ormas masing-masing yang sudah mengakar secara kultural dan historis. Mereka menyatakan siap mematuhi aturan Pemerintah.

“Kami tunggu arahan. Tapi penting juga membuka ruang komunikasi agar tidak salah tafsir terhadap sejarah dan simbol kami,” ujar Dwi.

Sementara, Arif berpandangan bahwa yang bermasalah adalah ormas-ormas lain yang seragamnya menyerupai TNI/Polri.

Ia pun mengakui, ada satgas dari ormas-ormas lain yang seragamnya mirip aparat.

"Kalau kita seragam memang loreng dari awal berdiri. Kita setuju saja kalau memang itu untuk kepentingan bangsa negara," ujarnya.

Maraknya Militerisasi Sipil

Edwin Partogi 2

Praktisi hukum Edwin Partogi mengkritik maraknya fenomena militerisasi di kalangan masyarakat sipil, terutama yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan (ormas), organisasi keagamaan, dan satuan tugas (satgas) partai politik.

Menurutnya, penggunaan seragam mirip militer oleh kelompok sipil mencerminkan semakin kuatnya pengaruh budaya militer dalam kehidupan sipil Indonesia.

“Sipilnya parpol dan ormas itu sekarang malah terjangkit militerisasi, dengan simbol-simbol pakaian loreng, pelatihan, pembaretan, hingga pernikahan pakai pedang pora seolah-olah mereka institusi militer,” ujar Edwin dalam podcast Expert Talk di kanal YouTube TheStanceID, dikutip Jumat (25/5/2025).

Edwin menyebut fenomena ini sebenarnya sudah terlihat sejak awal era Reformasi, ketika hampir setiap persimpangan jalan diwarnai dengan posko-posko ormas dan satgas partai. Ia melihat ini sebagai bentuk kebutuhan akan identitas dan penghormatan, yang tercermin dalam budaya seragam dan kepangkatan.

“Ada kultur feodal di masyarakat kita, di mana penghormatan diperoleh dari simbol-simbol tertentu. Dulu, profesi yang dihormati itu dokter, pilot, tentara atau polisi. Karena susah dicapai, yang paling ‘mentereng’ jadi tentara bisa jadi menteri, presiden, gubernur,” jelas Mantan Wakil Ketua LPSK ini.

Menurut Edwin, fenomena masyarakat sipil yang menggunakan atribut militer ini muncul karena ada paradoks identitas. “Dari yang bukan siapa-siapa, seperti petani, preman, atau warga biasa, begitu pakai seragam loreng, mereka merasa naik kelas. Seragam itu jadi simbol kekuasaan dan kehormatan,” imbuhnya.

Ia mengingatkan bahwa militer dan kepolisian adalah alat negara yang sah menggunakan kekerasan, dibekali senjata dan wewenang hukum. Ketika masyarakat sipil mulai meniru gaya dan simbol militer tanpa fungsi yang sah, justru berpotensi menimbulkan ancaman bagi ketertiban umum dan supremasi hukum.

“Militer itu dibentuk untuk perisai negara. Kalau semua orang merasa bisa bertindak seperti militer, lalu di mana batas legalitas dan otoritas?” katanya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.

\